*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Tulisan Artikel :


PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PEMERINTAHAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM KAJIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Oleh : Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH.,MH


Abstrak

Kewenangan adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik. Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Konsep “bestuur” membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas meliputi kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi dan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.



PENDAHULUAN
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats-en administratief recht”.[1] Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi.
Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.[2] (Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). “Bevoegdheid” dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang” dan “bevoegdheid”. Istilah “bevoegdheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan “wewenang” selalu digunakan dalam konsep hukum publik.[3]
Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas dalam wujudnya “nullum delictum sine lege” dewasa ini masih diperdebatkan asas berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya “wetmatigheid van bestuur” sudah lama dirasakan tidak memadai.[4]
Tidak memadainya asas “wetmatighid van bestuur” pada dasarnya berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir pendapatnya N.E. Algra bahwa : “pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan istilah “uitvoerende macht”, melainkan menggunakan istilah yang populer “betuur” yang dikaitkan dengan “sturen” dan “sturing”. “Bestuur” dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial”.
Konsep “bestuur” membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power). Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi; kewenangan untuk memutus sendiri, dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen). Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum.
Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen, pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara. Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum. Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dan negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dan warga negara berkaitan dengan hak-hak dalam (grondrechten). Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: bentuk negara, bentuk pemerintahan,dan pembagian kekuasaan dalam negara.
Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atau pembagian horizontal yang meliputi : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara horizontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun horizontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstribusi.
Untuk Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pembagian Kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemberian wewenang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 17, Pasal 18 dengan amandir Pasal 18 A dan Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 yang diamandar dengan Pasal 20 A, dan Pasal 24 yang diamandar dengan Pasal 24 A, Pasal 24 B, dan Pasal 24 C.
Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (“administratiefrecht” atau “bestuursrecht”) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (“improper legal” or “improper illegal”), sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara “improper illegal” maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggung jawabkan.[5] Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.
SUMBER DAN LAHIRNYA WEWENANG
Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadang-kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.[6]
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:
1.    Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk kontribusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.
2.    Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.[7]
Pada delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain. Dalam Hukum Administrasi Belanda telah merumuskan pengertian delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam Pasal 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.[8] Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut delegataris. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. [9]
Pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.    Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2.    Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan.
3.    Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4.    Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5.    Peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.[10]
Jika konsep delegasi seperti itu, maka tidak ada delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.
PENGGUNAAN WEWENANG MENURUT HUKUM DAN PRAKTIK
 Di dalam praktik acap kali terjadi penggunaan wewenang berupa penyelundupan hukum, yakni mandat dialihkan menjadi delegasi semu.  Misalnya di Kota Makassar, untuk urusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan surat yang berkepala kop “DINAS PENGAWASAN BANGUNAN DAERAH”, tidak lagi menggunakan surat dengan kop WALIKOTA MAKASSAR. Dengan perubahan tersebut seolah-olah wewenang telah dialihkan kepada Dinas Pengawasan Bangunan Daerah, tidak lagi menjadi wewenang Walikota. Kedudukan Dinas sebagai bawahan Kepala Daerah, konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak memungkinkan karena Kepala Dinas merupakan bawahan Kepala Daerah.[11] Hal ini berimplikasi hukum pada tanggung jawab, yakni bisa jadi  tanggung jawab ada pada Kepala Dinas berdasarkan wewenang delegasian. Dan juga, tanggung jawab pada Walikota berdasarkan wewenang mandat.
Delegasi semu dijumpai juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Pasal 5 dinyatakan :
(1)     Kepala Daerah selaku Kepala Pemerintah Daerah adalah pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
(2)     Dalam pelaksanaan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah bertindak selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
(3)     Pelimpahan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun 2005 dinyatakan: “Kewenangan yang didelegasikan minimal adalah kewenangan yang berkaitan dengan tugas sebagai Bendahara Umum Daerah”. Dilihat dari tugas dan kewajiban dari Sekretaris Daerah yang tercantum dalam Pasal 121 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan : Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewajiban kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengoordikasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Dari ketentuan tersebut, delegasi yang dilakukan oleh Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Negara tidak dapat diklasifikasikan sebagai delegasi karena Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah adalah bawahan/pembantu Kepala Daerah. Pada delegasi semu menimbulkan permasalahan dari segi hukum administrasi berkaitan dengan KTUN kepada siapa tuntutan diajukan, karena di dalam hukum administrasi Kepala Daerah sebagai pejabat yang mewakili pemerintah daerah baik eksternal maupun internal.
Hal tersebut berbeda dari aspek pidana, dalam hal terjadi mandat atau delegasi menurut hukum pidana yang bertanggung jawab adalah mandatoris atau delegatoris, karena dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Misalnya dalam pengelolaan keuangan daerah, Kepala Dinas melakukan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi tindak pidana korupsi maka Kepala Dinas tersebut yang harus bertanggung jawab secara pribadi, meskipun dilihat dari segi konsep delegasi wewenang hal tersebut keliru. Dalam hal pertanggungjawaban terhadap si pelaku perlu dibedakan pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility) sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.
Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, mandat itu oleh J.G. Brouwer berpendapat pada “atribusi”, kewenangan diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan legilatif yang independen. Kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang berkompeten. [12]
Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan yang mendasar dengan yang lain antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.
PERTANGGUNGJAWABAN WEWENANG
Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggungjawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responslibility”. Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.[13]
Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandans (pemberi wewenang).
Pada atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada di penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/ penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris.
Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris.
Dalam pengelolaan keuangan daerah (PP Nomor 58 Tahun 2005), Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran.
Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, apakah dalam delegasi? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak delegasi karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atas ke bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah.
Tidak dalam konsep delegasi pelimpahan wewenang Kepala Daerah kepada Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, pertanyaan yang muncul berkaitan dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (“melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan daerah atau perekonomian daerah (korupsi)?
Contoh kasus yang dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengolahan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan Kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya melainkan dengan cara melakukan penunjukan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan cara seperti yang berakibat merugikan keuangan negara. In casu siap saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban?
Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Kepala Dinas, Kepala Dinas kepada Kepala Seksi, Kepala Seksi kepada Panitia Lelang tidak pelimpahan wewenang dalam konsep delegasi, lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggung- jawaban menurut hukum pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru.[14] Pendapat tersebut didasarkan pada suatu argumen legalistic formal, seperti yang tertuang dalam Pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2005 dengan dinyatakan “delegasi”, dan juga tidak kalah pentingnya ditelaah secara teliti atas Surat Keputusan Kepala Daerah sebagai Sumber pelimpahan wewenang tersebut.
Di samping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip “personal responsibilitiy”, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Dari paparan di atas, dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang itu di dalamnya terkandung pertanggung-jawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang melaksanakan tugas dan atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum.
Selain itu tak kalah pentingnya dalam penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis yang didasarkan pada cara memperoleh wewenang/ kewenangan, perlu juga ada kejelasan tentang siapa “pejabat” tersebut dan yang kedua, bagaimana seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat? Dalam perspektif hukum publik, yang berkedudukan sebagai subyek hukum adalah jabatan (ambt) yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
Selanjutnya jawaban atau pertanyaan kedua, seseorang disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan “beleid”, hakim tidak dapat melakukan penilaian.[15] Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana.
Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: “Gubernur Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan “dana talangan” untuk menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau “Beleid” yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan BI, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh Gubernur BI tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi obyek pemeriksaan.  Dan apabila terbukti, dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan wewenang diskresinya.  
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM “DISKRESI”
Konsep bestuur (besturen), kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (discretionary power atau Feies Ermessen). Di samping wewenang bebas dan wewenang terikat, Indroharto menambahkan wewenang yang sifatnya fakultatif. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.[16]
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi kewenangan untuk memutus sendiri dan Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).[17]
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus Ir. AT telah keliru dalam memahami pengertian penyalahgunaan wewenang dengan menyamakan pengertian perbuatan sewenang-wenang (abus de droit/willekeur). Padahal dalam hukum administrasi kedua asas tersebut memiliki perbedaan pengertian dan makna yang signifikan. Pengertian perbuatan sewenang-wenang adalah jika saja suatu tindakan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan itu tidak sampai pada tindakan sewenang-wenang.
Pendapat Indiyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
1.    Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2.    Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.[18]
Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian.[19] Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Indriyanto Seno Adji,[20] memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1.    Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Pendapat Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutif oleh Indriyanto Seno Adji di atas pada point ke-3 mencampur adukan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur, padahal antara konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda konsep. Kesalahan prosedur terjai tidak selalu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Cacat prosedur yang in hearen dengan penyalahgunaan wewenang jika pelaksanaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.
Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau “detournement de pouvoir” adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tindakan sewenang-wenang “abus de droit” yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.[21] Pendapat dari Sjachran Basah terkandung pengertian yang sama untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai.[22]
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DAN “CACAT PROSEDUR”
Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.
Di atas telah dikemukakan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi). Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) mempergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Di dalam praktek peradilan sering dipertukarkan/dicampuradukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang.[23]
Sebagai illustrasinya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan pengadaan barang atau jasa oleh pemerintah. Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa oleh Instansi Pemerintah, yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir adalah Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, mensyaratkan bahwa pada prinsipnya pengadaan barang atau jasa tidak melalui tender, melainkan penunjukan langsung? Dalam kasus posisi itu jelas ada cacat prosedur dikarenakan menurut aturan hukum harus melalui ternder.
Adakah dalam kasus posisi tersebut ada unsur penyalahgunaan wewenang? Adanya cacat prosedur tidak secara mutatis mutandis penyalahgunaan wewenang terjadi, dengan kata lain terbuktinya cacat prosedur tidak serta merta penyalahgunaan wewenang terbukti. Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenang jika penggunaan wewenang tersebut menyimpang atau bertentangan dengan suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Ilustrasi lainnya adalah: pejabat administrasi tersebut melakukan penunjukan langsung (tidak tender) dikarenakan bertujuan untuk memenangkan salah satu rekanan tertentu, maka di situ sudah ada penyalahgunaan wewenang di samping terjadinya cacat prosedur.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas perlu dikemukakan contoh lain sebagai berikut: Walikota/Bupati telah menerbitkan IMB tetapi dalam permohonan IMB tersebut baru diketahui setelah adanya tuntutan oleh tetangga sekitar bahwa persyaratan pengajuan IMB tidak lengkap karena tidak disertai dengan persetujuan tetangga dekatnya (ijin H.O). Kasus posisi tersebut terjadi cacat prosedur, sehingga implikasi IMB yang telah diterbitkan/dikeluarkan dapat dicabut kembali atau dibatalkan.
Berbeda halnya diterbitkannya IMB dengan sudah mengetahui sebelumnya ada persyaratan yang tidak lengkap tetapi karena pejabat administrasi tersebut telah menerima suap, maka perbuatan tersebut sudah dapat diklasifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang mempunyai implikasi korupsi. Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara.


PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PEMERINTAHAN
Penyalahgunaan Wewenang/Kewenangan dalam tindak pemerintahan menurut konsep Hukum Tata Negara atau Hhukum Administrasi Negara selalu diparalelkan dengan konsep de'tomement de pouvoir. Dalam Verklarend \Noordenboek Openbaar Bestuur dirumuskan bahwa penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas spesialitas (asas tujuan).
Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah dibuktikan secara faktual bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.
Penyalahgunaan wewenang dalam tindak pemerintahan membawa implikasi kewenangan atau kekuasaan pemerintahan, tidaklah semata sebagai wewenang terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies Ermessen ,  discretionary  power ).[24]  Menurut Ten Berge, seperti  yang dikutip Philipus M. Hadjon, wewenang atau kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian.
Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kewenangan bebas atau kewenangan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kewenangan bebas atau kewenagan diskresi meliputi; Kewenangan untuk memutus sendiri, dan Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen). Kewenagan bebas (vrij bestuur) asas "wetmatigheid" tidaklah memadai. Kewenagan bebas di sini tidak dimaksudkan kewenagan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum.
Di samping wewenang bebas dan wewenang terikat, Indroharto menambahkan wewenang yang sifatnya fakultatif. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.[25]
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi Kewenangan untuk memutus sendiri, dan Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).
Dalam praktik di pengadilan tidak sedikit terjadi kekeliruan dalam memahami pengertian penyalahgunaan wewenang dengan menyamakan pengertian perbuatan sewenang-wenang (abus de droit/willekeur). Padahal dalam hukum administrasi kedua asas tersebut memiliki perbedaan pengertian dan makna yang berbeda. Pengertian perbuatan sewenang-wenang adalah jika saja suatu tindakan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan itu tidak sampai pada tindakan sewenang-wenang.
Pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dalam tindak pemerintahan dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara. Kriteria dan parametemya bersifat alternative.
2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan, ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun asas kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.[26]
Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang  -  undangan  memberikan    wewenang   tertentu   kepada   organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak)  menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Indriyanto Seno Adji,[27] memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya "detoumement de pouvoif dengan "frets Ermessen",[28] penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan  prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Pendapat Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutif oleh Indriyanto Seno Adji di atas pada point ke-3 mencampur adukan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur, padahal antara konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda konsep. Kesalahan prosedur terjai tidak selalu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Cacat prosedur yang in hearen dengan penyalahgunaan wewenang jika pelaksanaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.
Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau "detoumement de pouvoir" adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tindakan sewenang-wenang "abus de droif yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.[29]
Pendapat dari Jean Rivero dan Waline, Mariette Kobussen, serta Sjachran Basah terkadung pengertian yang sama untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas "wetmatigheid" tidaklah memadai.
Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup 3 (tiga) aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi atau tata usaha negara, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.
Telah terpaparkan di atas penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebs (diskresi). Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) mempergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas    "wetmatigheid "    tidaklah    memadai. Di  dalam   praktek   peradilan   sering dipertukarkan/dicampur adukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang.[30]
Sebagai illustrasinya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan pengadaan barang atau jasa oleh pemerintah. Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa oleh Instansi Pemerintah, yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir adalah Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, mensyaratkan bahwa pada prinsipnya pengadaan barang atau jasa tidak melalui tender, melainkan penunjukan langsung? Dalam kasus posisi itu jelas ada cacat prosedur dikarenakan menurut aturan hukum harus melalui tender.
Adakah dalam kasus posisi tersebut ada unsur penyalahgunaan wewenang? Adanya cacat prosedur tidak secara mutatis mutandis penyalahgunaan wewenang terjadi, dengan kata lain terbuktinya cacat prosedur tidak serta merta penyalahgunaan wewenang terbukti. Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenang jika penggunaan wewenang tersebut menyimpang atau bertentangan dengan suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
llustrasi lainnya adalah: pejabat administrasi tersebut melakukan penunjukan langsung (tidak tender) dikarenakan bertujuan untuk memenangkan salah satu rekanan tertentu, maka di situ sudah ada penyalahgunaan wewenang di samping terjadinya cacat prosedur. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas perlu dikemukakan contoh lain sebagai berikut: Walikota/Bupati telah menerbitkan 1MB tetapi dalam permohonan 1MB tersebut baru diketahui setelah adanya tuntutan oleh tetangga sekitar bahwa persyaratan pengajuan 1MB tidak lengkap karena tidak disertai dengan persetujuan tetangga dekatnya (ijin H.O).
Dalam kasus posisi tersebut terjadi cacat prosedur, sehingga implikasi 1MB yang telah diterbitkan/dikeluarkan dapat dicabut kembali atau dibatalkan. Berbeda halnya diterbitkannya IMB dengan sudah mengetahui sebeiumnya ada persyaratan yang tidak lengkap tetapi karena pejabat administrasi tersebut telah menerima suap, maka perbuatan tersebut sudah dapat diklasifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang mempunyai implikasi korupsi. Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara.
Aparat penegak hukum untuk membuktikan dan melakukan penilaian terhadap tindakan pemerintahan tersebut terjadi penyalahgunaan wewenang atau tidak, pertama-tama yang harus dilakukan adalah apakah peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tentang hal itu? Selanjutnya, langkah kedua adalah apakah perbuatan tersebut menyimpang dari tujuan wewenang itu diberikan.
MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Unsur menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi merupakan species delict dari unsur melawan hukum sebagai genus delict akan selalu berkaitan dengan jabatan pejabat publik, bukan dalam kaitan dan pemahaman jabatan dalam ranah struktur keperdataan. Delik menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), yang dinyatakan sebagai berikut : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara,dengan pidana seumur  hidup  atau  pidana  penjara  1  ( satu )  tahun dan paling lama 20 (dua  puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Rumusan tindak pidana korupsi tersebut, harus diartikan sebagai aparatur negara atau pejabat publik yang tentunya memenuhi unsur, yaitu: diangkat oleh pejabat yang berwenang, memangku suatau jabatan atau kedudukan, dan melakukan sebagaian daripada tugas negara atau atat-alat perlengkapan pemerintahan negara. Sehingga ketentuan makna "menyalahgunakan kewenangan" haruslah diartikan dalam konteks pejabat publik, bukan pejabat swasta meskipun swasta juga memiliki jabatan.
Indriyanto Seno Adji,[31] mengemukakan bahwa Tersoalan "menyalahgunakan kewenangan" dan korupsi bukanlah pada pemahaman "kebijakan", tetapi lebih kepada persoalan hubungan antara kewenangan dengan penyuapan (bribery). Kewenangan pejabat publik yang berkaitan dengan kebijakan, baik kewenangan yang terikat maupun kewenangan yang bebas, tidak menjadi ranah Hukum Pidana sehingga kasus-kasus korupsi yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia (Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, DPR/DPRD, dan tain-lain) yang berkaitan dugaan penyalahgunaan kewenangan dan perbuatan melawan hukum menimbulkan kesan adanya suatu "kriminalisasi kebijakan".
Berdasarkan pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003), di dominasi acuan korupsi itu adalah dalam kaitan dengan penyuapan (bribery), begitu pula dengan RUU Tipikor Tahun 2008 juga mengacu pada UNCAC 2003. Dengan acuan UNCAC 2003 yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, maka ketentuan rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yang berlaku sekarang ini sudah tidak dicantumkan lagi. Namun, ada beberapa pasal yang berkaitan, meskipun tidak memiliki kesamaan, dengan "menyalahgunakan kewenangan" dan "melawan hukum" tetapi semuanya selalu dalam kaitan perbuatan suap, dan bukan dalam konteks kewenangan.
Indriyanto mengemukakan, Perlu pula mendapat perhatian mengenai pemaknaan kembali dari suatu delik atau tindak pidana. Bila kita simak UU Tipikor sekarang, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3, haruslah diakui bahwa bentuk delik atau tindak pidana ini tidaklah dapat dikatakan sebagai delik formil ataupun delik materiel, tetapi merupakan gabungan dari delik formil dan delik materiel". Dalam hal delik formil, pemidanaan dapat terjadi apabila perbuatannya telah memenuhi unsumya, sedangkan delik materiel, adanya pemidanaan apabila timbul akibat dari perbuatannya yang terjadi. Dalam hal ini, Pasal 2 dan Pasal 3 tidak dapat dikatakan sebagai delik formil, karena meskipun terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum maupun menyalahgunakan kewenangan, tetapi perbuatan pelaku tidak dapat dipidana karena adanya unsur "merugikan keuangan negara" sebagai bentuk delik materiel.
Dari pendapat tersebut, menunjukkan adanya kendala penegakan hukum melalui pemberantasan tindak pidana korupsi yang seringkali terjadi, karena meskipun perbuatannya telah terbukti "menyalahgunakan kewenangan" dan karenanya merupakan perbuatan "melawan hukum", tetapi lembaga lainnya (BPK dan BPKP) seringkali berpendapat tidak ada kerugian negara. Sedangkan dalam Hukum Pidana, suatu perbuatan (actus reus) telah terbukti memenuhi rumusan delik, maka terbukti pula pelaku perbuatan/tindak pidana yang dilakukannya. Inilah dasar pertimbangan sehingga UNCAC 2003, tidak mensyaratkan kerugian negara sebagai bagian dari delik, dan karena itu pula dalam Draft RUU TIPIKOR 2008 tidak ditempatkan kembali "kerugian negara" sebagai unsur delik korupsi.
Di dalam UU PTPK, sifat melawan hukum secara materiel ini dikartkan dengan dampak dari korupsi yang dianggap telah merugikan hak-hak asasi masyarakat banyak, yaitu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Jadi tindak pidana korupsi bukan hanya mengakibatkan kerugian uang negara dan perekonomian negara saja, tepai juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi msyarakat secara meluas, maka tindak pidana korupsi di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang PTPK termasuk digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 UU PTPK yang disebutkan di atas, dalam Penjelasannya hanya disebutkan bahwa kata "dapaf dalam ketentuan tersebut diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2 UU PTPK. Untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh penjelasan Pasal 3 tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang disebutkan di dalam penjelasan Pasal 2 UU PTPK. Di dalam penjelasan Pasal 2 tersebut, dinyatakan bahwa "Dalam ketentuan ini, kata "dapaf" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik form//, yaitu adanya tindak tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan timbulnya akibat" Dengan demikian, ternyata maksud dari penjelasan Pasal 3 tersebut hanya menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 juga merupakan delik formil seperti halnya tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.
Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 UU PTPK ditentukan "setiap orang", sehingga seolah-olah "setiap orang" dapat melakukan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3. Tetapi, dalam Pasal 3 tersebut ditentukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu "jabatan atau kedudukan". Oleh karena yang dapat memangku suatu "jabatan atau kedudukan" hanya orang perseorangan, maka menurut hemat penulis tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 tersebut, hanya dapat dilakukan oleh "orang perseorangan", sedang korporasi "tidak dapat" melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, bila diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 UU PTPK sebagaimana disebutkan, akan ditemukan beberapa unsur yaitu: (1) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (2) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan; (3) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kaitan ini perlu diuraikan sebagai berikut:
Ad.1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi:
Pengertian apa yang dimaksud dengan "menguntungkan" adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan unsur "menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam Pasal 3 UU PTPK, unsur menguntungkan tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu menarik untuk dikemukakan pendapat Soedarto, pada waktu berlakunya UU Nomor 3 Tahun 1971, yang mengemukakan bahwa "Ini merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenagan dan sebagainya. Adnya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka". Senada dengan pendapat Soedarto tersebut, perlu dikemukakan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) tanggal 29 Juni 1989 Nomor 813 K/Pid/1987, yang pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan bahwa unsur "menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan " cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, karena jabatan atau kedudukannya.
Ad.2. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada, karena Jabatan atau kedudukan: Pengertian apa yang dimaksud dengan "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada kerana jabatan atau kedudukan" tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dan maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut. Untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tersebut, dalam Pasal 3 UU PTPK, telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh Pelaku tindak pidana korupsi, yaitu:
·         Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan "kewenangan" disini adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian yang dimaksud dengan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi" adalah serangkaian kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas atau pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut adalah kewenangan dari Pegawai Negeri seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (2) huruf a, b, c, d, dan e, UU PTPK sebagai berikut:
·         pegawai     negeri     sebagaimana     undang-undang     tentang kepegawaian;
·         pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
·         orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
·         (orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
·         orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pengertian kewenangan seperti tersebut di atas lebih luas dari pengertian kewenangan menurut konsep Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian pendahuluan, yang menurut R. Wiryono, hanya terbatas pada kewenangan dari Pegawai Negeri seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (2) huruf a, b, c, dan e, UU PTPK. Khusus terhadap pengertian kewenangan Pegawai Negeri yang dimaksud disini, perlu diberikan penjelasan iebih lanjut menurut konsep Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kewenangan atau wewenang adalah konsep dalam hukum publik . Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara. Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Oleh SF. Marbun, bahwa "menurut hukum administrasi negara, pengertian "kewenangan" (authority) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian "wewenang" (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis, wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang bertaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu. Berhubung wewenang adalah "kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melaksanakan hubungan hukum", maka "kewenangan" yang dimaksud oleh Pasal 3 UU PTPK, tentunya adalah kewenangan yang ada pada Jabatan atau Kedudukan yang dipangku oleh Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari sumber atau dan sudut perolehan kewenangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang menurut Hukum Administrasi Negara, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara atribusi, yaitu wewenang yang langsung diberikan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, disebutkan "Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, mempunyai wewenang untuk melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna Anggaran atas beban rekening kas umum negara;
2.    Wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara delegasi, yaitu wewenang diperoleh dari adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris). Oleh karena pada wewenang yang diperoleh dengan cara delegasi terdapat adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang, maka untuk mendelegasikan suatu wewenang, harus ada atau disertai dengan pemyataan yang berupa produk hukum, misalnya suatu keputusan bahwa wewenang tersebut didelegasikan. Karena wewenang telah didelegasikan, maka delegans sudah tidak lagi mempunyai wewenang tersebut dan karenanya tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan menjadi tanggung jawab dari delegate/is; 3. Wewenang yang diperoleh dengan cara mandat, yaitu wewenang yang diperoleh penerima mandat (mandataris) yang hanya terbatas melaksanakan wewenang tersebut atas nama pemberi mandat (mandans). Oleh karena itu pada wewenang yang diperoleh dengan cara mandat tidak sampai terjadi adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang dari mandans kepada mandataris, sehingga tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut masih tetap menjadi tanggung jawab dari mandans.
Untuk dapat membedakan apakah wewenang diperoleh dengan cara delegasi atau mandat, perlu diperhatikan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari wewenang tersebut. Hanya peraturan perundang-undangan yang didalamnya terdapat ketentuan bahwa wewenang dapat didelegasikan saja yang dapat menjadi dasar hukum dari wewenang yang diperoleh dengan cara delegasi. Sedang peraturan perundang-undangan yang didalamnya tidak terdapat ketentuan bahwa wewenang dapat dapat didelegasikan hanya dapat menjadi dasar hukum dari wewenang yang diperoleh dengan cara mandat.
Berkaitan dengan masalah kewenangan atau jabatan dan kedudukan seorang terdakwa, menurut putusan MA Nomor 572K/Pid/2003, yang di dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan hukum atau aspek Hukum Administrasi Negara, di mana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungan jawab jabatan yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggung jawab perseorangan atau individu atau pribadi sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.
Dari adanya pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Agung tersebut, dapat diketahui bahwa menurut Mahkamah Agung, harus dibedakan dan dipisahkan antara: pertanggungan jawab jabatan dengan,   pertanggung jawab  perseorangan  atau  individu  atau pribadi. Dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang dalam  surat  dakwaannya  dikaitkan  dengan  kewenangan  atau jabatan atau kedudukan dari terdakwanya sebagai Pegawai Negeri, menurut     Mahkamah     Agung     yang     diberlakukan     adalah pertanggungan    jawab    jabatan,    bukan    pertanggung    jawab perseorangan atau individu atau pribadi. Sayang sekali di dalam putusannya, Mahkamah Agung tidak sampai memberi penjelasan apa yang dimaksud dengan pertanggungan jawab jabatan.
Tetapi   jika   diingat   bahwa   didalam   pertimbangan   hukumnya, Mahkamah    Agung    membedakan    dan    memisahkan    antara pertanggungan jawab jabatan (liability jabatan) dengan pertanggung jawab perseorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi),maka tentunya    yang    dimaksud    oleh    Mahkamah    Agung    dengan pertanggungan     jawab     jabatan     (liability     jabatan) adalah pertanggungan jawab yang dibebankan kepada pemangku jabatan. Dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan "kesempatan" adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi peluang mana tercantum didalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Pada umumnya, "kesempatan" ini diperoleh atau didapat sebagai akibat adanya kekosonngan atau kelemahan dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja tersebut atau kesengajaan menafsirkan secara salah terhadap ketentuaan-ketentuan tersebut. Dengan meyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan "sarana" adalah syarat, cara, atau media. Dalam kaitannya dengan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 3, maka yang dimaksud dengan "sarana "adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 UU PTPK, terdapat kata "jabatan" dan "kedudukan". Apakah di antara kedua kata tersebut terdapat perbedaan atau apakah kedua kata itu mempunyai arti yang sama, karena di antara kedua kata terdapat kata sambung "atau"? Menurut E. Utrecht - Moh. Saleh Djindang, yang dimaksud dengan "jabatan" adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukanguna kepentingan negara/kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organises! sosial tertinggi yang diberi nama negara, sedang yang dimaksud dengan suatu lingkungan pekerjaan tetap adalah suatu Ilingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat teliti (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat "duurzaam" atau tidak dapat diubah begitu saja.
Khusus untuk Pegawai Negeri Sipil yang termasuk pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2, di dalam penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 antara lain disebutkan: yang dimaksud dengan "jabatan" adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil da/am satuan organisasi negara. Jabatan da/am lingkungan birokrasi pemerintah adalah jabatan karier. Jabatan Karier dapat dibedakan da/am 2 (dua) jenis, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Jabatan Fungsional adalah jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi dan sudut fungsinya diperiukan oleh organisasi, seperti Peneliti, Guru, Dosen, Dokter, Pustakawan, dan lain-lain yang serupa dengan itu...dan seterusnya."
Dari pendapat ahli dan penjeiasan peraturan perundang-undangan tersebut, jelaslah apa yang dimaksud dengan "jabatan" dalam Pasal 3 UU PTPK, sehingga dengan demikian kata "jabatan" tersebut hanya dipergunakan untuk Pegawai Negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang memangku suatu jabatan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Sedangkan, apa yang dimaksud dengan kata "kedudukan", Soedarto di dalam bukunya antara lain menulis:"...istilah "kedudukan" di samping perkataan "jabatan" adalah meragukan. Kalau "kedudukan" ini diartikan "fungsi" pada umumnya, maka seorang direktur bank swasta juga mempunyai "kedudukan". Dalam pnjelasan pasal demi pasal pembentuk undang-undang membandingkan jenis tindak pidana korupsi ini dengan Pasal 52 KUHP yang merupakan perbuatan pidana bagipejabat (Pegawai Negeri- ambtenaar) yang karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya. Di sini, tidak ada istilah kedudukan atau fungsi." Maka dapat disimpulkan bahwa yang bisa melakukan tindak pidana korupsi jenis kedua ini tidak terbatas pada pejabat.
Dari pendapat Soedarto tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah apa yang dimaksud dengan "Kedudukan" yang disamping dapat dipangku oleh Pegawai Negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi, dapat juga dipangku oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bukan Pegawai Negeri atau orang  perseorangan swasta. Pendapat Soedarto tersebut senada dengan Putusan Mahkamah Agung Rl tanggal 18 Desember 1984 Nomor 892 K/Pid/1983 yang didalam pertimbangan hukumannya menyebutkan bahwa terdakwa I,dan terdakwa II, dengan menyalahgunakan kesempatan, karena kedudukannya masing-masing sebagai Direktur CV dan pelaksana dari CV, telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b undang-undang Nomor STahun 1971.
Sebagai kesimpulan, dapat dikemukakan bahwa kata "kedudukan" dalam perumusan ketentuan tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 dipergunakan untuk pelaku tindak pidana korupsi bagi Pegawai Negeri dan bukan Pegawai Negeri, yakni: Pegawai Negeri sebagai pelaku tindak Pidana Korupsi yang tidak memangku suatu jabatan tertentu, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Pelaku tindak pidana korupsi yang bukan pegawai Negeri atau Perseorangan swasta yang mempunyai fungsi dalam suatu Korporasi.
Ad. 3. Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara:
Kata "dapat" sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK dinyatakan bahwa "dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Kata "dapat" yang menunjukkan sebagai delik formil diperkuat lag! dengan rumusan pada Pasal 4 UU PTPK yang dinyatakan sebagai berikut: "pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3." Konsekuensi delik dirumuskan secara formil yang dipentingkan adalah perbuatannya, bukan akibatnya seperti dalam perumusan delik materil. Pada delik formil tidak perlu dicari hubungan kausal (conditio sine  quanon) antara akibat dengan perbuatan, yang paling penting adalah perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak.
Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam penjelasan Umum UU PTPK yang dinyatakan sebagai berikut: "yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segaia hak dan kewajiban yang timbul karena:
·         Berada dalam penguasaan, pngurusan dan pertanggungjawaban , pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
·         Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan  Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
Pengetian perekonomian negara dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum UU PTPK, dinyatakan sebagi berikut: " perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat."
Rumusan pengertian "perekonomian negara" sangat fleksibel dan luas cakupannya. Misalnya, melakukan penimbunan beras, pupuk, BBM dan lain sebagainya dapat dikenakan UU PTPK karena mempunyai dampak terganggunya perekonomian negara. Bagaimana dengan berlakunya ketentuan Pasal 14 UU PTPK.?
Rumusan pengertian "perekonomian negara" yang sangat luas/elastis tersebut tidak menutup kemungkinan terhadap suatu jenis perbuatan dapat dikenakan beberapa peraturan pidana. Terkait dengan hal tersebut, untuk menjawab pertanyaan di atas harus kembali pada asas preferensi hukum yaitu:
Lex Specialis, Lex Superiori, atau Lex Posteriori. Dalam kaitan dengan unsur "merugikan perekonomian negara", unsur " kerugian keuangan negara" tidak selalu mesti harus ada, hal tersebut disebabkan penggunaan kata "atau" dalam Pasal 3 UU PTPK menunjukkan sifat alternatif. Artinya unsur "keuangan negara" atau "perekonomiaan negara" saling meniadakan.
Pengertian kerugian negara/daerah menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 adalah: "Kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai." Hal yang sama tentang pengertian kerugian daerah daerah dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 62 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (L.N.R.I Nomor 4578), adapun yang dimaksud kerugian daerah adalah sebagai berikut: "Kerugian daerah adalah kekuranngan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti, jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai."
Selanjutnya.dalam Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 dinyatakan sebagai berikut: "setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang beriaku." Tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku dapat dikenakan sanksi untuk mengembalikan ganti kerugian dan juga tidak menutup kemungkinan untuk dituntut pidana.
PENUTUP
Untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam tindak pemerintahan, harus dibedakan lebih dahulu apakah wewenang tersebut masuk dalam klasifikasi wewenang terikat ataukah wewenang bebas. Pada kategori wewenang terikat untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang menggunakan parameter asas legalitas atau wetmatigheid van bestuur), sedangkan pada kategori wewenang bebas (discretionary power) parameter yang dipakai adalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dikarenakan asas wetmatigheid tidaklah memadai.
Asas legalitas merupakan dasar legitimasi bagi pemerintah untuk bertindak dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Pemberian wewenang kepada pemerintah diberikan dengan sarana peraturan perundang-undangan. Penyalahgunaan wewenang terjadi jika tindakan pemerintah menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan dalam undang-undang, hal tersebut dikenal dengan asas spesialitas (specialisliteitsbeginsel).
Berkaitan dengan menyalahgunakan kewenangan atau tidak terhadap asas legalitas, maka argumen yang pertama menyatakan peraturan perundang-undangan, selain undang-undang dan peraturan daerah, dipakai sebagai landasan untuk membuktikan penyalahgunaan wewenang, Sedangkan, Pasal 3 UU PTPK dipakai sebagai landasan untuk menuntut pidana.
Cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 3, yaitu dengan cara "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan ", maka dapat ditegaskan: bahwa yang dapat melakukan tindak pidana korupsi dengan cara "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan", adalah Pegawai Negeri; Sedang pelaku tindak pidana korupsi yang bukan Pegawai Negeri atau perseorangan swasta hanya dapat dilakukan tindak pidana korupsi dengan cara menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada karena kedudukan saja.


DAFTAR PUSTAKA

E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, 1985. Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Brouwer J.G. dari Schilder, 1998. A Survey of Ductch Administrative Low, Ars Aequi Libri, Nijmegeo.
Henry Campbell Black, 1990. Black’S Law Dictionary, West Publishing.
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, diterbitkan Laksbang Mediatama, Palangkaraya.
Phillipus M. Hadjon, 1997. Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Jakarta.
________________, III. Lot.cit. Lihat pada pendapat dari F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, p. 40 menyatakan “Er bestaan slechts twee wijzen waarop een orgaan aan een bevoegdheid kan komen, nomelijk attributie en delegatie”.
Philipus Mandiri Hadjon, 2004. Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional “Aspek Pertanggung jawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Konsep”, Semarang 6-7 Mei 2004.
Sjachran Basah, 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung.
Tatiek Sri Djatmiati, 2004. Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 53 ) tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mengalami  dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Unndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 (Pasal 5) tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan “… Kepala Daerah mendelgasikan sebagian atau seluruhnya kewenangannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah…..”.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, h. 82-85.


[1] E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985, p. 26.
[2] Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary, West Publishing, 1990, p. 133.
[3] Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997, h. 1 (Philipus M. Hadjon III).
[4] Philipus Mandiri Hadjon, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional “Aspek Pertanggung jawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Konsep”, Semarang 6-7 Mei 2004, h. 1. (Philipus M. Hadjon IV).
[5] Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h. 62-63.
[6] Philipus M. Hadjon, III. Lot.cit. Lihat pada pendapat dari F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, p. 40 menyatakan “Er bestaan slechts twee wijzen waarop een orgaan aan een bevoegdheid kan komen, nomelijk attributie en delegatie”.
[7] Indroharto, Op.cit, h. 91.
[8] J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M.Hadjon I, Op.cit, h. 4.
[9] Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, diterbitkan Laksbang Mediatama, Palangkaraya, h.72.
[10] J.B.J.M. ten Berge, dalam Philipus M Hadjon.,  Op. Cit. h. 4-5.
[11] Nur Basuki Minarno, Op. Cit., h. 72-79.
[12] Brouwer J.G. dari Schilder, A Survey of Ductch Administrative Low, Ars Aequi Libri, Nijmegeo, 1998, p. 16-18.
[13] Nur Basuki Minarno, Op.Cit. h. 75-76.
[14] Lihat Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan “… Kepala Daerah mendelgasikan sebagian atau seluruhnya kewenangannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah…..”.
[15] Philipus M. Hadjon I, Op.cit, h. 124-125.
[16] Indroharto, Op.cit., h. 99-101.
[17] Philipus M. Hadjon III, Op.cit., h. 6.
[18] Indriyanto Seno Adji II, Op.cit., h. 35.
[19] Philipus M. Hadjon II, Op.cit., h. 2
[20] Indriyanto Seno Adji II, Op.cit., h. 26
[21] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, h. 223.
[22] Baca Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mengalami  dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Unndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 
[23] Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, h. 82-85.
[24] Philipus M. Hadjon, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pernerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional "Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi, Semarang, 6-7 Mei 2004, h.1
[25] Indroharto, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid), Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, Paper, Semarang, 6-7 Mei 2004., h. 9-10.
[26] Indriyanto Seno Adji II, Op.cit, h. 35.
[27] Indriyanto Seno Adji II, Op.cit, h. 26
[28] Lihat, Abdul Latif, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan  Daerah, Ull Press, Yogyakarta, 2005, h. 299-300
[29] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, h. 223.
[30] Lihat, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004.
[31] Indriyanto Seno Adji, 2010, Tindak Pidana Korupsi -UNCAC 2003: Beberapa Catalan Perubahan Dalam Perspektif (makalah), disampaikan dalam Acara Petatthan Hakim Angkatan IX , Pusdiklat Teknis Peradilan Badan Litbang Diktat Kumdil MA-RI, Magamendung 25 April - 12 Mei 2010, Bogor. h.5.

1 komentar:

r bazri hambakung mengatakan...

pak ini tulisan yang bagus karena cukup jelas dan detail. mohon izin membaca dan mengutip