*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Terbitan Buku :

DIALEKTIKA HUKUM DAN KEKUASAAN, 
dalam pusaran kekuasaan negara
Bulan Juli Tahun 2009



Kata Pengantar Penulis
Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH., MH

Bentuk dan susunan negara menjadi obyek perdebatan sejak dahulu. Ajaran Jellinek mengetengahkan kriteria bagaimana cara kehendak negara itu dinyatakan, yang dikritik oleh Leon Duguit, dengan memberikan kriteria bagaimana caranya kepala negara itu diangkat. Sementara Plato dan Aristoteles melahirkan gagasan dalam “teori kwantitas dan teori kwalitas”, bahwa untuk menentukan bentuk negara harus didasarkan pada jumlah orang yang memerintah. Ajaran Aristoteles dianut juga Polybios, yang memperkenalkan “Teori Siklus Polybios” dalam menentukan bentuk negara. Sementara Machiavelli dalam gagasannya mengemukakan teori bentuk negara republik dan monarki. Sedangkan Kranenburg sependapat dengan Leon Duguit dan Otto Koelreulter, mengenai bentuk negara kesatuan dan negara federal.
Disisi lain, Kelsen penganut positivisme, memberikan klasifikasi bentuk negara : Heteronom, Autonom, Totaliter, dan Liberal. Mac Iver, memberikan klasifikasi negara, yaitu; “a tri partite classification of state”, dan “a bi partite classification of state”. Lain dengan Deverger memberikan klasifikasi negara : autokrasi dengan doktrin autoriter,  demokrasi dengan doktrin liberalisme, oligarkhi dengan doktrin campuran antara autokrasi dan liberalisme. Sedangkan Harold J. Laski, meletakkan fokus gagasan dua bentuk negara, yaitu : Pertama, bila rakyat mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan UU, maka disebut negara demokrasi. Kedua, bila rakyat tidak mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan UU, maka negara tersebut disebut autokrasi.
Disisi lain, Wheare, dalam gagasannya melihat negara yang bersusunan tunggal disebut negara kesatuan dan negara yang bersusunan jamak disebut negara federasi. Sementara Hans Kelsen menentukan dua kriteria, yaitu; sifat mengikatnya peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh penguasa, maka lahirlah klasifikasi negara heteronom dan negara autonom, dan sifat keleluasaan penguasa atau pemerintah dalam mencampuri atau mengatur kehidupan warga negara, maka lahirlah klasifikasi  negara totaliter atau etatistis dan negara liberal. John A.R. Marriot, memberikan klasifikasi susunan pemerintahan, yang bisa melahirkan bentuk negara kesatuan dan negara federasi. Sri Soemantri, memakai istilah bentuk negara yaitu : negara serikat dan negara kesatuan dan persatuan. Bintan R. Saragih, memakai istilah bangunan negara, yaitu; negara kesatuan, serikat, dan serikat negara-negara. Sementara Jellinek memberikan istilah negara kesatuan, federal dan Konfederal, yang dibedakan pada letak kedaulatan, wewenang kepada rakyat, dan wewenang membuat UU.
Pandangan pakar/ahli diatas, memperlihatkan persamaan yang mendasar walaupun dalam penekanan yang bersifat tekhnis (istilah) terkadang berbeda. Semua pakar mendasarkan gagasan pada aspek pendirian negara, siapa yang memerintah dan bagaimana cara pemilihannya, seberapa banyak orang yang memerintah dan bagaimana proses pembagiannya, siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara dan bagaimana melaksanakan kekuasaan, serta kekuasaan apa saja yang harus ada dan bagaimana metode pembagian kekuasaan tersebut.
Teori bentuk dan susunan negara yang berkembang di zaman modern, bermuara pada dua paham yang mendasar. Pertama, paham yang menggabungkan bentuk negara dan bentuk negara sama dengan bentuk pemerintahan, dibagi dalam tiga macam bentuk, yaitu : 1. Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif. 2. Terdapat pemisahan yang tegas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 3. Terdapat pengaruh atau pengawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislatif. Paham Kedua, membahas bentuk negara atas golongan demokrasi, dengan memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam demokrasi konstitusional dan demokrasi rakyat.
Kajian penentuan bentuk dan susunan negara serta bentuk pemerintahan, diawali oleh “staatidee” kelahiran (pembentukan) suatu negara, yang semakin berkembang seiring perkembangan peradaban manusia, antara lain; Pertama, Teori perseorangan (individu) yang diajarkan oleh Locke, Hobbes (abad ke-17), Rousseau (abad ke-18), Spencer (abad ke-19), dan Laski (abad ke-20). Inti dari ajaran ini adalah bahwa negara ialah legal society yang disusun atas contract social. Kedua, Teori Golongan (class theory) yang diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Inti ajarannya adalah negara sebagai alat dari sesuatu golongan. Ketiga, Teori Integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Muller, Hegel (abad ke-18 dan 19). Inti ajarannya adalah bahwa negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau kelompok tetapi untuk kepentingan seluruh masyarakat dalam bingkai persatuan.
Teori-teori bentuk negara yang berkembang, bermuara pada negara kesatuan (Unitarisme) dan Negara Serikat (federalisme). Negara Kesatuan dapat berbentuk sistem sentralisasi dan/atau desentralisasi apabila kekuasaan tidak terbagi, Negara Serikat apabila kekuasaan dibagi antara pusat dan negara bagian. Bentuk dan susunan negara, berkaitan dengan kekuasaan tertinggi yang merupakan kedaulatan sebagai esensi terpenting dalam menjalankan negara dan pemerintahan. Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang ini, antara lain; Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum.
Perdebatan tentang kekuasaan negara, terkait dengan sistem pembagian kekuasaan serta hubungan antar lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan negara. Teori pembagian (pemisahan) kekuasaan negara, sejak dahulu sudah dibahas oleh Locke (1690) dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”, dengan memisahkan kekuasaan negara dalam Legislatif, Eksekutif, dan Federatif. Senada dengan Locke, Montesquieu (1748) dalam bukunya “L’Esprit des lois” mengemukakan tiga jenis kekuasaan, yaitu; legislative powers, executive powers, dan (judicative powers).
Kekuasaan absolut raja di zaman kuno, terpola secara filosofis dalam  perspektif hukum alam, yang terpresentase dalam kekuasaan Tuhan di muka bumi. Menjelang abad pertengahan, dimensi absolut hukum alam semakin ditinggalkan secara evolusioner dan secara sistematis dilakukan pembatasan. Raja dipaksa berbagi kekuasaan dengan parlemen dan sumber kekuasaan tidak lagi dikonstruksikan sebagai kekuasaan Tuhan, tetapi berdasarkan suatu Social Contract menurut Hobbes dan Locke, sebagai peletak dasar fondasi baru tatanan bernegara.
Memasuki abad ke-17, dekonstruksi absolutisme kekuasaan raja, semakin intens dilakukan melalui pemikiran Rousseau dalam gagasan peguatan kontrak sosial, dimana kebebasan dan kesamaan setiap orang merupakan fondasi dari pembentukan masyarakat modern. Kontrak sosial bukan fakta historis, melainkan suatu postulat untuk melindungi kebebasan dan kesamaan dalam masyarakat. Disamping Rousseau, Montesquieu pada abad ke-18, berjasa meletakkan fondasi ide dasar organisasi kekuasaan negara dalam “Trias Politica”, yang bertujuan mencegah penumpukan kekuasaan dalam satu tangan dan terjadinya kesewenang-wenangan.
Pada abad ke-19, supremasi hukum bergeser menjadi supremasi UU dalam menguatkan pertumbuhan pemikiran positivisme. Pada bidang ketatanegaraan, kedaulatan rakyat semakin ditegaskan. Jean Bodin misalnya, menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat yang diadopsi ke dalam tubuh hukum dan  mengarah kesifat legalistik. Otoritas hukum disandarkan pada otoritas kekuasaan, yang dipisahkan secara tegas dari politik, moral dan keadilan. Konsep kedaulatan juga ditegaskan oleh Austin, mengenai keutuhan terhadap hukum, dimana otoritas politik yang dimiliki oleh negara, menentukan dan memaksakan keberlakuan hukum. Efektifitas sebuah norma hukum dalam suatu sistem hukum, ditentukan oleh sanksi yang dapat dipaksakan negara.
Disisi lainnya, efektifitas norma hukum disandarkan pada aspek keberlakuan hukum yang berkaitan dengan aspek demokrasi, keadilan, serta hukum yang berporos pada hati nurani rakyat. Keberlakuan hukum menyentuh pemahaman Rouscoe Pound mengenai tujuan dalam menerapkan hukum ditengah-tengah masyarakat. Pound hadir dengan konsep “law as a tool social enggenering”, yang memosisikan kondisi sosial masyarakat termanifestasikan dalam konteks kesejahteraan yang menyentuh perubahan-perubahan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Namun hukum yang didiskripsikan, belum menyentuh dimensi totalitas antara aspek hukum, karena lebih banyak menekankan fungsi sosial hukum.
Hukum dalam kekuasaan negara diharapkan menjadi penetrasi kesewenang-wenangan, yang dapat membawa andil menciptakan nilai demokrasi, keadilan, dan implementasi HAM. Perkembangan teori-teori zaman modern mengenai hukum, kekuasaan dan negara berdasarkan corak masyarakat. Tipologi suatu masyarakat, menjadi determinasi konsep kekuasaan dalam suatu negara. Durkheim, membangun teorinya dalam pandangan sosiologis, dan Weber mengaitkan struktur politik suatu masyarakat dan sistem hukum. Konsep dominasi dan legitimasi dikedepankan, yang dalam format hukum dibuat berdasarkan standar kehidupan sosial masyarakat. Pelaksanaan hukum yang dapat diprediksi oleh masyarakat, merupakan faktor yang menentukan kepatuhan dan pentaatan terhadap hukum.
Menjelang abad ke-20, faham demokrasi menjadi sandaran perkembangan tipologi negara modern, dimana hukum dan faham demokrasi menjadi elemen integratif dalam menata corak masyarakat plural diseluruh pelosok daerah. Kekuasan dalam suatu negara tersebar, baik antar lembaga negara maupun antara hubungan pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam suatu negara, dilandasi dalam dua teori. Pertama, teori secara vertikal, melahirkan garis hubungan pusat dan daerah yang berwujud dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Kedua, teori secara horisontal, didasarkan pada sifat tugas yang berbeda jenisnya, yang diwujudkan dalam kekuasaan berbagai macam lembaga dalam suatu negara.
Pembagian kekuasaan ini, diharapkan bisa mengantar dalam merubah kondisi pemerintahan dan sosial masyarakat, yang termanifestasikan dalam konteks kesejahteraan dan menyentuh dimensi perubahan-perubahan sosial yang terjadi ditenga-tengah masyarakat. Perubahan yang terjadi, mengaitkan elemen hukum, ekonomi dan politik dalam satu sistem, yang saling mempengaruhi dalam aplikatifnya, sehingga hukum dapat diposisikan sebagai elemen integratif dari elemen lainnya. Kekuasaan sebagai implementasi konsep kedaulatan yang ada dalam negara, diwujudkan melalui sejauhmana luas atau lingkup (scope of power) kekuasaan itu sendiri dan sejauhmana jangkauan yang dimilikinya (domain of power). Nagel membahas kedaulatan dalam pendekatan, bahwa luas atau lingkup kedaulatan menyentuh soal kegiatan yang tercakup dalam kedaulatan, sedangkan jaungkauan kedaulatan menyentuh soal siapa yang menjadi pemegang kedaulatan.
Lingkup kedaulatan meliputi proses pengambilan keputusan untuk mengukur seberapa besar kekuatan keputusan yang ditetapkan, sementara jangkauan kedaulatan terkait pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan apa yang menjadi objek sararan dalam pengambilan keputusan atau wewenang apa yang dimiliki pemegang kekuasaan. Pembagian kekuasaan dalam negara dibahas oleh Friedrich dalam paham konstitusionalismenya. Sedangkan Maass, melihat pembagian kekuasaan dalam dua hal, yaitu : Capital Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara horisontal atau sering dipersamakan dengan pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan Areal Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal.
Kewenangan pemerintah daerah dalam konteks negara kesatuan, bukan hanya berkenaan dengan pembagian kekuasaan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana proses dan mekanisme pendelegasian kewenangan itu. Beberapa teori yang menaruh perhatian terhadap kaitan antara elemen ini adalah, masalah legalitas kewenangan serta dari mana sumber kewenangan tersebut, dan bagimana proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan itu. Asas legalitas yang dimaksudkan adalah bahwa setiap tindakan badan atau pejabat tata usaha negara, harus berdasarkan dengan peraturan yang berlaku positif. Asas legalitas menjadi dasar kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan, baik ditingkat pemerintah pusat maupun ditingkat pemerintah daerah. Kewenangan pemerintahan bersumber dari UUD, UU dan PP yang diartikan sebagai kewenangan yang bersumber secara ”atribusi dan delegasi”.
Kewenangan pemerintahan dapat bersumber melalui “atribusi, delegasi dan mandat”, dimana pembentuk UU menentukan suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya baik kepada organ yang sudah ada maupun yang baru dibentuk. Delegasi kewenangan Atribusi (atributive), hanya dapat dilakukan oleh pembentuk UU orisinil. Sedangkan Delegasi (delegative) merupakan penyerahan wewenang dari badan atau pejabat yang satu kepada badan atau pejabat lainnya. Wewenang delegasi dapat disub-delegasikan kepada sub-delegataris, sama dengan proses delegasi. Sementara Mandat (mandaat) mengandung pengertian perintah, didalam pergaulan hukum dimaknai pemberian kuasa (lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht).

Tidak ada komentar: