*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Tulisan Artikel :


DIALEKTIKA HUKUM ALAM, POSITIVISME HUKUM
DAN RASIONALISME HUKUM DALAM
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT HUKUM
Oleh : Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH., MH

ABSTRAK
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai norma dan kaidah sosial. Di dalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup, sebagai pedoman (penuntun) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelaahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat. Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia), dan manusia (warga negara) dengan negara. Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara (pemerintah atau penguasa). Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat,  berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat.


PENDAHULUAN
Adanya kekuasaan “yang nyata” dapat memberikan suatu pedoman yang menyenangkan kepada para ahli hukum hanya karena ia menerima kesamaan antara kekuasaan dan kebenaran sebagai suatu dalil yang mutlak. “Ideologi” politik istilah itu terang hanya merupakan pernyataan nilai-nilai belaka; begitu pula relativisme yang menutupinya serta “pancaran emosionil” (emotional aura) yang mereka pupuk secara fundamentil merubah sifat moral atau immoralnya. Verum dan Certum dalam hukum, “Kebenaran” hukum adalah nilai moral yang dikandungnya, cahaya dan kegemilangan akal alamiah”. Tetapi unsur moral didalam hukum seharusnya jangan sampai membuat kita menutup mata terhadap aspek lainnya yang perlu, yakni nilai-nilai yang terkandung didalam perundang-undangan positif bila nilai-nilai “dikhususkan” atau dimasukkan kedalam suatu sistim peraturan-peraturan yang berkuasa. “Kepastian hukum mengakibatkan pengaburan akal, selama akal hanya dibantu oleh kekuasaan. Ini menyebabkan kita mengalami betapa sukarnya mentaati hukum, namun kita terpaksa mentaatinya, disebabkan sifat kepastiannya”.
Norma hukum yang menguasai (mengatur) tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi, disebut sebagai tata hukum. Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan aturan-aturan bagi masyarakat dalam berinteraksi. Tata hukum ini berisikan norma-norma (kaidah-kaidah) sebagai petunjuk, acuan, pedoman bagi seluruh anggota masyarakat, baik secara individual maupun berkelompok. Tata hukum ini dalam penerapannya, memuat ketentuan perintah (pemaksa) dan larangan (pengatur) berikut sanksi. Perintah dan larangan dimaknai sebagai wujud kesepakatan yang diciptakan, dalam mengatur interaksi yang bisa dijadikan sebagai pedoman secara menyeluruh dalam tata kehidupan bermasyarakat, supaya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang muncul dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.  Sementara sanksi dimaksudkan sebagai imbalan atau ganjaran (hukuman), kepada setiap orang atau kelompok yang tidak mentaati (mematuhi) aturan tersebut. Imbalan atau ganjaran ini, sebagai salah satu akibat yang muncul dari disepakatinya tata hukum tersebut, dan sekaligus sanksi yang terdapat dalam tata hukum tersebut merupakan motivasi psikologis dalam berbuat atau tidak berbuat.
Hukum adalah keadilan yang termanifestasikan dalam doktrin alam dan agama, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang berlaku mutlak dalam keberlakuan hukum ditengah-tengah masyarakat. Doktrin fungsi dan tujuan hukum ini, dikembangkan dalam sistem filsafat transcendental-mistis dan kesakralan religius dalam bingkai ruang metapisika. Aspek pembuktian akan keberlakuannya, senantiasa menarik diri dari sudut verifikasi akan kebenaran fakta-fakta sosial ditengah-tengah masyarakat, yang senantiasa berkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.[1] Hukum dalam keberlakuannya, tidak melibatkan apreasiasi kemampuan akal (rasio) manusia secara mandiri. Konsep hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi yang ideal dalam perkembangan doktrin ajaran Hukum Alam.[2] Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama.
GAGASAN DASAR PEMIKIRAN FILSAFAT HUKUM ALAM
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai norma dan kaidah sosial. Di dalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup, sebagai pedoman (penuntun) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelaahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat. Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia), dan manusia (warga negara) dengan negara. Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara (pemerintah atau penguasa). Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat,  berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat. [3]
Adanya kekuasaan yang ”nyata” dapat memberikan suatu pedoman yang menyenangkan kepada para ahli hukum hanya karena ia menerima kesamaan antara kekuasaan dan kebenaran sebagai suatu dalil yang mutlak. “Ideologi” politik istilah itu terang hanya merupakan pernyataan nilai-nilai belaka; begitu pula relativisme yang menutupinya serta “pancaran emosionil” (emotional aura) yang mereka pupuk secara fundamentil merubah sifat moral atau immoralnya. Verum dan Certum dalam hukum, “Kebenaran” hukum adalah nilai moral yang dikandungnya, cahaya dan kegemilangan akal alamiah”. Tetapi unsur moral didalam hukum seharusnya jangan sampai membuat kita menutup mata terhadap aspek lainnya yang perlu, yakni nilai-nilai yang terkandung didalam perundang-undangan positif bila nilai-nilai “dikhususkan” atau dimasukkan kedalam suatu sistim peraturan-peraturan yang berkuasa. “Kepastian hukum mengakibatkan pengaburan akal, selama akal hanya dibantu oleh kekuasaan. Ini menyebabkan kita mengalami betapa sukarnya mentaati hukum, namun kita terpaksa mentaatinya, disebabkan sifat kepastiannya”.
Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam dan manusia (warga negara) dengan negara. Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan/atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara.[4] Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (tidak dikodifikasi), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat.
Norma (aturan) hukum yang menguasai dan mengatur tata kehidupan masyarakat, disebut sebagai tata hukum (tertulis maupun tidak tertulis).[5] Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan tata keteraturan dan ketertiban.  Dalam penerapannya, tata hukum tersebut dimaknai sebagai wujud kesepakatan antara warga negara dengan pemerintah.[6]
Keberlakuan tata hukum sebagai tindakan kausalitas (sebab-akibat) antara alam, agama dan manusia dalam perkembangan ilmu hukum pada masa Yunani sampai Abad VI SM. Hukum dalam masa Yunani Kuno[7], dipersepsikan dengan gejala-gejala alam sekitar. Sementara pada Abad Pertengahan dengan berkembangnya Ajaran Agama (Kristiani), hukum di analogikan sebagai hukum Tuhan. Hukum berasal dari ajaran Agama, sehingga berkembang dalam doktrin saat itu bahwa hukum adalah agama, dan agama adalah hukum serta aparat hukum adalah wakil Tuhan di dunia dalam menerapkan hukum.
Perkembangan pemikiran hukum dalam Abad Pertengahan (menjelang Abad XIII-XVI),[8] banyak diwarnai oleh ketergantungan perkembangan ajaran agama. Pintu logika dan kemandirian akal manusia, terkooptasi dalam ajaran agama. Fungsi hukum di maknai sebagai sarana dalam mengatur tata pergaulan manusia, yang berasal dari doktrin alam dan agama. Tujuan hukum[9] diformulasikan untuk membimbing manusia dalam mengenali arti hidup, interaksi sesama, serta dalam hubungan yang lebih luas lagi. Sehingga konsep awal dari manusia memahami hukum, diorientasikan pada sisi keadilan dalam jiwa (roh) alam dan doktrin agama.[10]
Hukum adalah keadilan yang termanifestasikan dalam doktrin alam dan agama, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang berlaku mutlak dalam keberlakuan hukum ditengah-tengah masyarakat. Doktrin fungsi dan tujuan hukum ini, dikembangkan dalam sistem filsafat transcendental-mistis dan kesakralan religius dalam bingkai ruang metapisika. Aspek pembuktian akan keberlakuannya, senantiasa menarik diri dari sudut verifikasi akan kebenaran fakta-fakta sosial ditengah-tengah masyarakat, yang senantiasa berkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.[11] Hukum dalam keberlakuannya, tidak melibatkan apreasiasi kemampuan akal (rasio) manusia secara mandiri. Konsep hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi yang ideal dalam perkembangan doktrin ajaran Hukum Alam.[12] Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama.
Hukum dipersepsikan dengan simbol ke-alam-an dan lukisan kemutlakan religius, tanpa bisa tersentuh keutamaan dan kemandirian akan akal (rasio) manusia.[13] Stigma tujuan hukum untuk mencapai keadilan mutlak (absolute justice), kemudian dielaborasi pada sisi pencerahan pemikiran dengan mempergunakan akal dan rasio manusia.[14] Sisi pencerahan ini, berkembang pada Zaman Renaissance dengan mengutamakan kemampuan akal dan pikiran manusia, baik dalam mengenali diri maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia (termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran hukum).[15]
Memasuki Zaman Renaissansce (mulai pertengahan Abad XVII), perkembangan pemikiran hukum memasuki babakan baru, dengan berkembangnya doktrin (filsafat) Rasionalisme dan Empirisme.[16] Filsafat rasionalisme dan empirisme merupakan antithese ketidakpuasaan rasio manusia, akan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak nyata.[17] Kemandirian akal (rasio) manusia diperkenalkan, sebagai antithesa kejenuhan akan keterkungkungan nilai abstraksi logika.[18] Abstraksi logika manusia yang menyangkut keangkeran alam dalam dekapan pesan-pesan religius kitab suci (ajaran agama) mulai terpinggirkan. Logika manusia menuju pada nilai konkritisisme dan rasionalisme, terhadap penyelidikan makna hidup dan alam kehidupan manusia. Keterkungkungan akal (rasio) manusia dilepas dengan evolusi pikir dengan mempergunakan logika, yang berasal dari pemberdayaan akal (rasio) untuk mengenali diri dan alam semesta. Pusat kajian (penelitian) sumber-sumber ilmu pengetahuan mengalami pergeseran, dari kemutlakan alam dan doktrin agama kepada pemberdayaan kemampuan dan keutamaan akal (rasio) dan keberadaan manusia dalam mengenali jati diri dan alam semesta.
Filsafat baru ini,[19] mereduksi dan mengelaborasi sebagian konsep dasar ajaran filsafat transendental-mistis. Kemutlakan alam-religius dan keabstraksian pemikiran terpinggirkan, oleh kemampuan evolusi akal (rasio) dalam mengenali diri dan alam kehidupannya. Evolusi pikir dalam pengembangan kemampuan mempergunakan logika akal (rasio), mengiringi lahirnya filsafat empirisme, rasionalisme, idealisme, dan konkritisisme, Kemampuan logika akal (rasio) manusia dijadikan sebagai salah satu sumber, untuk memahami dan menyelidiki manusia dan alam kehidupan semesta.
Awal evolusi pikir dalam kehidupan manusia ditandai dengan lahirnya Zaman Renaissance,[20] sebagai awal pencerahan dan penyegaran rasio dalam memaknai hidup. Kajian tentang norma atau tata hukum diilhami filsafat empirisme,[21] yang menghendaki adanya suatu aturan yang nyata dan konkrit. Tujuan hukum bukan lagi semata-mata mengejar sisi keadilan yang abstrak, tetapi dielaborasi dalam mencapai suatu kepastian hukum yang tetap, nyata dan konkrit.[22]
Hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersipat tetap, yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat.[23]  Kodifikasi aturan hukum dalam bentuk tertulis, mulai diperkenankan secara resmi dalam keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat.[24]
 Hukum dijadikan sebagai roh kekuasaan dalam pelaksanaannya, karena kekuasaan tanpa adanya justifikasi dari aturan hukum yang tertulis, akan memberi dampak ketidakpercaryaan masyarakat terhadap penguasa yang ada[25] atau kekuasaan yang cenderung melahirkan tirani (kesewenang-wenangan). Sementara aturan hukum  dalam implementasinya, memerlukan kekuasaan sebagai pengawal dalam penerapannya. Setiap stigma kebijakan[26] yang dikeluarkan oleh penguasa, memerlukan landasan aturan hukum yang positif, sebagai alat paksa untuk memonopoli masyarakat dalam keterikatan.
Monopoli penguasa dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban, dijelmakan melalui kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam aturan hukum. Aturan hukum sebagai alat paksa penguasa, bertujuan untuk menata signifikansi antara interaksi  masyarakat dengan negara yang sesuai dengan cita dan tujuan bernegara.[27] Akhirnya, cita dan tujuan bernegara, diharapkan sinkron dengan makna kehidupan manusia, yang terbingkai dalam kemakmuran, keamanan, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia dalam bernegara.
ESENSI MORAL DALAM PEMIKIRAN FILSAFAT
Kant dalam Metafisika Kesusilaan (1797) membuat distingsi antara legalitas dan moralitas. Legalitas  (Legalitat/Gesetzmassigkeit) dipahami Kant sebagai kesesuaian atau ketidak sesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini pada dirinya sendiri belum bernilai moral, sebab dorongan batin (Triebfeder) sama sekali tidak diperhatikan. Nilai moral baru diperoleh di dalam moralitas. Yang dimaksudkan Kant dengan moralitas (Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan kita atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
Kata moral mengandung arti ganda. Pada satu sisi, moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai yang berkenaan dengan ikhwal “baik” atau perbuatan baik manusia. Pada sisi yang lain moral berarti  teori tentang moral sebagai keseluruhan kaidah dan nilai[28]. Aspek pertama menempatkan moral sebagai aturan prilaku bagi setiap manusia, sedangkan aspek kedua memposisikan moral sebagai suatu cabang filsafat atau suatu disiplin ilmu. Padanan istilah moral sebagai aturan tingkah laku  adalah kesusilaan. Oleh karena itu, kaidah moral atau norma moral identik dengan kaidah kesusilaan atau norma kesusilaan, dan perbuatan amoral sama dengan perbuatan asusila. Dalam ilmu hukum, istilah yang sering digunakan adalah kesusilaan, sedangkan dalam filsafat moral, terminologi yang banyak dipakai adalah “moral atau etika”.  
Moral sebagai suatu cabang  filsafat disebut filsafat moral atau filsafat etika dan sebagai disiplin ilmu disebut etika. Filsafat moral merupakan bidang filsafat yang mengkaji tingkah laku manusia dari sudut baik (kebaikan) dan buruk (keburukan) menurut pertimbangan akal pikiran manusia. Filsafat moral berbeda dengan ajaran moral karena ajaran moral membicarakan hakekat moral sebagai kaidah tingkah laku. Adakalanya istilah moral dianggap sinonim etika, khususnya dalam bidang etika profesi. Etika profesi memuat kaidah-kaidah moral yang menjadi acuan bagi anggota profesi dalam menjalankan profesinya. Misalnya, etika profesi advokat, etika profesi hakim, dan etika profesi dokter. Pengertian etika dalam konteks ini sama dengan pengertian moral sebagai kaidah. Untuk menghindari kerancuan semantik dalam tulisan ini, maka istilah moral yang digunakan di sini adalah moral dalam arti kaidah.
Ukuran moralitas suatu perbuatan, baik atau buruk, ditentukan oleh dua faktor, yakni ukuran subyektif dan ukuran umum atau obyektif. Ukuran subyektif berdasarkan suara hati  nurani manusia, sedangkan ukuran obyektif  berlandaskan kepada norma-norma tertentu. Hati nurani seseorang secara subyektif memberitahukan kepada dirinya mana yang baik dan mana yang buruk. Norma-norma secara umum memberitahukan kepada semua orang tentang perbuatan yang baik dan buruk.
Ukuran moralitas perbuatan tersebut disebut Immanuel Kant sebagai prinsip-prinsip yang melandasi tindakan manusia. Ada dua prinsip tingkah laku, yaitu : pertama, prinsip maksim (maxime), yakni  prinsip yang berlaku secara subyektif dan berfungsi sebagai pedoman untuk bertindak secara personal. Prinsip ini sama dengan  ukuran subyektif. Kedua, prinsip kaidah obyektif, yaitu kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana orang harus bertindak di dalam hidupnya.[29] Prinsip kedua itu sama dengan ukuran umum atau obyektif.
Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika sebagai bagian sosiologi, yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Emile Durkheim dan John Stuart Mill termasuk kelompok pemikir yang menyetujui pandangan moralitas berdasarkan tradisi masyarakat.
 Menurut Durkheim, moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Ia takkan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial. Dengan kata lain, moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat. Moral masyarakat berkuasa terhadap individu. Dalam artian kewajiban misalnya, yang berbicara adalah suara masyarakat, dalam arti masyarakatlah yang menentukan dan menekankan segala peraturan-peraturan kehidupan itu berlaku.[30]
Melalui tatakrama keluarga, agama dan ekonomi, ikatan tradisi dan kelompok, masyarakat adalah satu-satunya badan yang memiliki wewenang mutlak yang berhak memberi arti kepada sesuatu yang patut, yang seharusnya (the ought), diperbuat oleh manusia. Seseorang dianggap tidak susila kalau tindakannya itu merugikan kehidupan bersama.Kesusilaan pada Durkheim bersifat duniawi kemasyarakatan tidak bersangkut pautnya dengan sesuatu yang adikodrati (supranatural).
 John Stuart Mill mengungkapkan bahwa, dasar moralitas yang pokok adalah perasaan-perasaan sosial manusia, yang berkembang karena pengaruh pendidikan dan peradaban yang maju. Semakin berkembang perasaan-perasaan tersebut, semakin tampaklah kebahagiaan umum itu sebagai sesuatu yang harus dikejar. Selain itu perasaan-perasaan sosial juga berakar dalam kodrat manusia itu sendiri.[31]
Di samping ukuran moralitas berdasarkan agama, idiologi, dan kebiasaan, ada pula yang mendasarkan  tolok ukur moralitas kepada negara atau masyarakat politik Orang-orang yang mengajarkan pandangan tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Mereka berkata bahwa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam masyarakat politik, tidak terdapat hal yang baik dan buruk. Jadi, tidak ada perbuatan yang baik dan buruk menurut hakikatnya, tetapi hanya karena diperintahkan atau dilarang oleh negara. Pandangan  tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality. Negara melalui aturan hukum memerintahkan kepada anggota masyarakat untuk melakukan kewajiban-kewajiban hukum (perintah) dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan kriminal (larangan).
Penentuan semua bentuk moralitas perbuatan, baik berdasarkan agama-agama, idiologi-idiologi, kebiasaan-kebiasaan, dan hukum, terlepas dari nilai intrinsik yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri atau pada hakikat manusia, disebut positivisme moral.   Disebut begitu karena, menurut aliran tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau salah berdasar kebiasaan manusia, hukum-hukum negara, dan pemilihan bebas Tuhan.
Positivisme moral tidak hanya berarti bahwa tolok ukur moralitas berdasarkan kepada otoritas yang mempunyai wewenang untuk menentukan moralitas perbuatan manusia, tapi juga berarti kaidah-kaidah moral yang secara sosiologis berlaku dalam masyarakat. Kaidah-kaidah moral yang berlaku dalam masyarakat adalah kaidah-kidah yang diakui keberadaannya dalam masyarakat dan digunakan untuk mengatur hubungan sosial di antara mereka. Positivisme moral yang berlandaskan realitas sosiologis ini sering dipertentangkan dengan doktrin moral yang bersifat idealistik.
Di samping pandangan yang positivistik tersebut, ada pandangan lain yang menyebutkan bahwa tolok ukur baik buruk tidak berdasarkan kepada lembaga yang punya otoritas untuk menentukan ketetapan hukum perbuatan, tapi berdasarkan hakikat perbuatan atau hakikat manusia. Menurut pandangan ini, ada perbuatan yang secara intrinsik menurut hakikatnya baik atau buruk, dan ada pula perbuatan yang pada hakikatnya netral.[32]
Kant membedakan moralitas dalam dua kategori, yakni moralitas heterenom dan moralitas otonom. Moralitas heterenom adalah sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi kewajiban itu. Sikap macam ini, menurut Kant, menghancurkan nilai moral.” Tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang yang harus takluk kepada kehendak pihak lain”, demikianlah sabda Kant.
Adapun  moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik. Di dalam moralitas otonom, orang mengikuti dan menerima hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun lantaran takut terhadap penguasa pemberi hukum itu, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik. Bagi Kant, moralitas macam ini –yang pada lain kesempatan disebutnya juga sebagai otonomi kehendak (Autonomie des Willens)- merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab ia jelas berkaitan dengan kebebasan, hal yang sangat hakiki dari tindakan makhluk rasional atau manusia.           
LINGKUP BERLAKUNYA KAIDAH MORAL
Mengenai ruang lingkup berlakunya kaidah moral tidak ada kesepahaman di kalangan para ahli. Pandangan mereka terbelah menjadi dua, yaitu golongan ethis/ahli moral yang menganut universalisme moral dan  kelompok yang menyetujui  relativisme moral. Di samping itu, dari pertentangan kedua pandangan tersebut muncul paham ketiga yang mengakui relativisme moral terbatas, bukan relativisme moral absolut.
Relativisme moral menolak  norma-norma moral yang berlaku umum. Menurut pandangan ini, norma-norma moral hanya berlaku relatif dalam lingkungan atau wilayah tertentu. Hal ini dapat ditunjukkan dari fakta norma-norma moral yang berlaku dalam pelbagai masyarakat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu,  percuma  mencari tolok ukur umum bagi kelakuan moral manusia, karena tolok ukur itu di mana-mana berbeda adanya. Friederich Paulsen, penganut relativisme moral, menegaskan bahwa pada konkretnya tidak terdapat moralitas yang universal sifatnya.[33]
Menghadapi pertentangan pandangan antara univesalisme moral dengan relativisme moral melahirkan sintesis atau pandangan ketiga. Inti pokok pemikiran ini adalah suatu relativisme moral terbatas atau moderat memang harus diterima. Akan tetapi kenyataan itu tidak membuktikan suatu relativisme moral absolut. Norma-norma moral konkret hanya berlaku relatif, tidak universal dan tidak mutlak. Akan tetapi kenyataan itu tidak membuktikan suatu relativisme moral absolut, belum ditemukan dalam masyarakat yang norma-normanya tidak dapat dikembalikan pada prinsip-prinsip dasar moral yang sama dengan yang mendasari sistem-sistem moral di masyarakat-masyarakat lainnya. Kiranya hidup umat manusia memang berdasarkan faham-faham dasar moral yang sama.
Sintesis tersebut dapat menyelesaikan paradok pemikiran yang muncul di antara pandangan universalisme moral dengan relativisme moral dalam tataran prinsip-prinsip. Artinya, ada persamaan pemikiran antara kedua pandangan tersebut dalam konteks prinsip-prinsip moral, namun memiliki perbedaan yang tajam dalam tataran kaidah prilaku. Keadilan adalah prinsip-prinsip moral universal yang dapat diterima/diakui oleh semua agama, idiologi, dan kebudayaan. Tapi dari prinsip yang sama itu muncul perbedaan dalam penjabarannya, di mana sosialisme menolak hak milik, sementara kapitalisme sangat mengagung-agungkan hak milik pribadi. Namun dalam kehidupan praktis tata pergaulan global sekarang ini, perbedaan kaidah itu justru dapat menjadi sumber konflik antar kebudayaan dan masyarakat karena masing-masing ingin mempertahan dan membela norma-norma yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing masyarakat.
Struktur normatif kaidah moral dapat digambar secara hierarkis dalam satu sistem nilai moral. Struktur normatif itu terdiri dari  1) prinsip moral pertama, 2) prinsip-prinsip moral yang sangat umum atau aksioma-aksioma moral, 3) kesimpulan yang dipikirkan, dan 4) penerapan khusus. Struktur normatif yang dikemukakan tersebut bukan hanya struktur kaidah, tapi juga dihubungkan dengan orang melakukan kaidah-kaidah tersebut.[34] Disisi lainnya, struktur normatif kaidah moral dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pendeskripsian kaidah-kaidah moral saja, dan pendeskripsian kaidah moral dalam hubungannya dengan manusia yang melaksanakan kaidah itu. Penggambaran struktur normatif kaidah moral dilihat dalam konteks sistem norma terdiri dari nilai-nilai moral, prinsip-prinsip moral, doktrin moral, moralitas positif, dan prilaku moral masyarakat.
Meskipun hukum merupakan ilmu  pengertian (begriffen wessenschaft), namun tidak mudah untuk membuat suatu pengertian hukum yang dapat merepresentasikan keberadaan hukum secara utuh. Para yuris telah bergulat mencari pengertian hukum sejak jaman Yunani hingga hari ini, dan sudah cukup banyak pengertian atau definisi yang dihasilkan/dikemukakan. Namun tetap saja tidak ada definisi yang memuaskan dan diterima semua kalangan hukum. Kenyataan ini mendorong Hart dan Apeldorn memberikan batasan bahwa hukum tidak bisa didefinisikan sebagaimana halnya benda yang bersifat eksak.
H.L.A. Hart menyimpulkan bahwa ciri-ciri menonjol sebuah hukum yang bisa dilihat oleh “setiap orang berpendidikan” adalah sebagai berikut: “(i) peraturan-peraturan yang melarang jenis-jenis perilaku tertentu dengan ancaman hukum; (ii) peraturan-peraturan yang mengharuskan orang memberikan ganti rugi kepada orang lain yang dia rugikan dengan cara-cara tertentu; (iii) peraturan-peraturan yang merinci apa yang harus dilakukan untuk membuat surat wasiat, kontrak, atau pengaturan-pengaturan lainnya yang memberikan hak-hak dan menciptakan kewajiban-kewajiban; (iv) pengadilan-pengadilan yang memutuskan peraturan-peraturan manakan yang telah dilanggar dan kapan pelanggaran itu dilakukan, dan menetapkan hukuman atau ganti rugi yang harus dibayar; (v) sebuah badan pembuat undang-undang untuk membuat peraturan-peraturan baru dan menghapuskan peraturan-peraturan lama.”[35]
Kesulitan mendeskripsikan hukum dalam suatu pengertian terletak pada ruang lingkup hukum yang begitu luas, meliputi hampir semua aspek kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum mengatur kehidupan manusia sejak dalam kandungan sampai dia masuk ke liang lahat. Hukum bukan hanya mengatur interaksi individu dengan individu (interaksi personal) dan interaksi individu dengan kelompok masyarakat, tapi juga mengatur interaksi individu dengan masyarakat dan negara, dan interaksi antar masyarakat dan antar negara. Untuk itu, dalam perkembangan kharakteristik hukum sebagai sarana kontrol sosial formal, menurut James F. Davis meliputi : 1) aturan-aturan prilaku yang eksplisit, 2) adanya sanksi yang digunakan untuk mendukung aturan-aturan, dan 3) para aparatur yang dirancang untuk menginterpretasikan dan menegakkan aturan-aturan tersebut, dan sering pula untuk membentuknya.[36]
Sementara menurut Karl Llewelyn dan E, Adamson Hoebel, ada empat macam kharakteristik hukum sebagai kontrol sosial, yaitu pertama, hukum merupakan kumpulan aturan yang berisi kewajiban-kewajiban atau perbuatan-perbuatan yang dilarang. Kedua, aturan itu disertai dengan ancaman sanksi hukum, baik yang berupa hukuman atau pidana. Ketiga, jika terjadi konflik antara norma hukum dengan norma-norma lainnya, maka yang mesti diikuti adalah aturan hukum. Meskipun hal itu melanggar norma-norma lainnya. Dan akhirnya keempat, aturan hukum adalah bagian dari sistem hukum yang lebih besar, yang meliputi suatu konsep dasar pemikiran atau filsafat, suatu kumpulan prosedur untuk menerapkan dan menegakkan hukum, dan para aparatur yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan prosedur hukum. Setiap kharakteristik ini harus ada bagi suatu sistem normatif yang disebut hukum.[37]
Sedangkan Edwin M Schurr menyebutkan macam kharakteristik norma hukum, yaitu: pertama, hukum biasanya bersifat spesifik, dinyatakan dalam terminologi  yang jelas mengenai apa yang diharapkan dari individu. Perintah yang samar-samar dn larangan yang berarti ganda dihindari, sekurang-kurangnya dalam teori. Dengan demikian, hukum diharuskan menjadi eksak, disiapkan secara sungguh-sungguh dalam pernyataan kata seperti yudisial, keputusan yudisial, konstitusi, dan undang-undang legislatif. Kedua, dasar otoritas hukum secara formal adalah untuk pengawasan masyarakat. Tidak seperti norma-norma lain yang biasanya tergantung pada kebiasaaan yang tidak diucapkan untuk memberi mereka bobot, hukum berakar dan memerlukan bantuandari kekuasaan pemerintah.[38]  
LINGKUP BERLAKUNYA KAIDAH HUKUM
Hubungan antara hukum dan moral adalah pokok semua teori hukum alam. Teori itu tidak hanya membutuhkan suatu perluasan tentang pengertian hukum, tetapi juga mengandung suatu pandangan yang pasti mengenai luasnya. Tidak lagi merupakan pandangan tentang bentuk atau susunannya, melainkan suatu masalah tentang isinya. Isi hukum adalah bersifat moral. Hukum bukan hanya suatu ukuran perbuatan. Ia adalah penjelasan tentang nilainya. Hukum adalah petunjuk tentang apa yagn baik dan apa yang buruk. Sebaliknya, baik dan buruk merupakan syarat-syarat kewajiban hukum.   Ahli-ahli hukum positif, menunjuk kepada “latar belakang sosiologis” sebagai suatu bagian penting dari pengalaman hukum. Ahli-ahli teori hukum alam tidak akan pernah mengakui bahwa hukum hanyalah pernyataan dari ukuran-ukuran suatu golongan atau masyarakat tertentu. Mereka percaya kepada nilai mutlak dan mereka memahami hukum sebagai suatu alat untuk mencapainya. “Hukum adalah kelanjutan dari apa yang baik dan adil”. “Tidak ada hukum kecuali yang bersifat adil”.”Tujuan dari semua perkumpulan politik adalah memelihara dan mempertahankan hak-hak manusia yang azasi dan tak dapat dipindahkan tangan”.[39]
Salah satu sifat teori hukum alam yang khas adalah menempa hukum dan moral sedemikian rupa, hingga tidak mungkin diperbedakan lagi. Yang pertama-tama dan lebih menarik adalah moralisasi hukum, tunduknya hukum terhadap moral. Ini adalah aspek yang lebih lazim dipertimbangkan, dikecam dan diselidiki. Memang sering dinyatakan sebagai salah satu argumen pokok terhadap hukum alam dan sebagai sebab ditinggalkannya. Jadi Blackstone berbicara tentang “ethika hukum alam” sebagai sinonim, dan tentang hukum alam sebagai ukuran utama dari kewajiban menurut mana semua peraturan-peraturan hukum harus diuji dan dari mana berasalnya seluruh kekuatan dan kekuasaannya.  Perubahan pandangan terhadap tradisi pikiran Barat yang telah berurat berakar, bahwa hukum tujudk kepada moral samasekali tak terbatas sampai negara-negara yang berbahasa Inggris.
Dikalangan ahli-ahli hukum di benua Eropa kecenderungan untuk membuat teori hukum dari segala implikasi hukum alam lebih jelas berkembang dan dibawa kepada kesimpulan-kesimpulannya yang logis. Teori hukum alam adalah hasil suatu keyakinan yang sngat tua yang berasal dari sumber-sumber peradaban kita: keyakinan bahwa tujuan hukum bukan saja membuat orang menjadi taat melainkan membantunya menjadi bajik. Masuknya penilaian-penilaian hukum kedalam bidang moralitet dapat menimbulkan kecemasan yang sangat. Meskipun demikian pada saat kita memahami nilai-nilai moral sebagaimana dinyatakan dalam istilah-istilah hukum, sulitlah untuk mengetahui bagaimana dapat dicegahnya kecemasan-kecemasan ini. Sebab ini hanya dapat berarti, bahwa dalam memberikan penilaian tentang kwalitet moral dari perbuatan tidak lain kita hanya menjelaskan tentang sesuainya perbuatan itu dengan pola hukum.
Sebagaimana halnya moralisasi hukum dirasakan bertentangan dengan bukti pengalaman hukum, legalisasi hukum dirasakan sebagai hal yang membahayakan dan merusak intisari moralitet. Jadi dengan generalisasi yang amat luas, boleh dikatakan bahwa penulis-penulis abad pertengahan berkehendak mencegah pelanggaran moral terhadap hukum, penulis-penulis abad ke-XVII dan keXVIII mencegah pelanggaran hukum terhadap moral. Tetapi pada dasarnya masalahnya tetap sama, dan hasil-hasil usahanyapun anehnya sama juga. Sangatlah menarik untuk membandingkan hasil-hasil ini dengan teori tentang “sifat-sifat yang membedakan” dari hukum dan moral yang lazimnya dipandang sebagai salahsatu tiang filsafat hukum modern.[40]
 Di dalam karyanya Fundamenta Iuris Naturale et Gentium (1705) dan dalam sejumlah karangannya yang lain, Thomasius mengembangkan pendapat bahwa hukum negara, sebagai suatu tata memaksa, tercegah oleh sifatnya sendiri dari sesuatu perbuatan dan wewenang dalam bidang moral. Keadilan (iustum) terdiri dari menentukan serta menghormati syarat-syarat yang memungkinkan pergaulan manusia.  Peraturannya yang pertama ialah: “janganlah berbuat sesuatu terhadap orang lain apa yang tidak kau kehendaki orang lain berbuat demikian terhadapmu”. Akan tetapi moral, dalam arti yang paling luas (decorum dan honestum) menghendaki lebih daripada itu. moral mengandung juga: berbuat terhadap orang lain apa yang kita kehendaki orang lain juga berbuat terhadap kita; moral mengandung kewajiban terhadap kata batin kita sendiri. Pembedaan antara kewajiban ekstern dan intern, antara forum externum dan forum internum bukanlah penemuan Pufendorf atau Thomasius, tetapi jika saja tidak keliru, berasal dari hukum Canon.
Thomas Aquinas dan Hooker sangat sependapat tentang hal ini, dan menandaskan bahwa hukum-hukum Tuhan berlakunya berlainan dengan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia : “Manusia sebagai pembuat hukum kemanusiaan, hanya dapat melaksanakan peradilan terhadap perbuatan ekstern, karena manusia melihat hal-hal yang nampak, seperti tercantum dalam kitab Raja-raja. Hanya Tuhanlah, sebagai pembuat hukum suci, yang dapat menimbang gerakan-gerakan kehendak jiwa, seperti dikatakan ahli mazmur “Pencoba hati dan kekang adalah Tuhan”. Lama sebelum Aquinas dan Hooker, penulis besar lainnya dengan khidmat mengatakan pikiran yang sama itu sebagai berikut: “Hukum Tuhan mengajarkan kepada kita apa yang kita harus percaya hal mana tak dapat diajarkan oleh hukum-hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum-hukum itu dapat menghendaki tingkah laku yang berlainan dari mereka yang takut kepadanya. “Tetapi hukum-hukum itu tidak dapat mengilhami kepercayaan
Pada dasarnya teori tentang sifat-sifat yang membedakan tidak lain daripada suatu teori politik, suatu teori tentang hakekat dan batas-batas tindakan negara yang merupakan hasil dari suatu keadaan sejarah tertentu atau merupakan ekspresi dari suatu cita-cita tertentu yang minta diakui.
Sifat-sifat yang membedakan antara hukum dan moral adalah berubahnya suatu cita-cita menjadi program politik, yang pada permulaannya sudah interen dalam peradaban barat. Kita hendaknya jangan melupakan segala pengorbanan dan jerih payah untuk menyelamatkan apa yang kemudian disebut sebagai suatu “dalil filsafah yang rapi”. Sifat sosial dari hukum dibandingkan dengan sifat individual dari moral.  Hukum dipandang dalam artinya yang paling luas sebagai “suatu peraturan atau ukuran perbuatan”. Paksaan bukanlah penjelasan yang utama dari ketaatan kepada hukum, begitu juga paksaan jasmaniah tidak merupakan satu-satunya jenis paksaan. Sebaliknya, terdapat sejumlah hukum-hukum yang seorang ahli hukum positif sekalipun tidak akan menyangkalnya sebagai hukum, yang tidak mempunyai sanksi-sanksi selayaknya.
Pembedaan antara hukum dan moral hendaknya jangan didasarkan semata-mata pada suatu generalisasi dari pengalaman kita sekarang, melainkan pada suatu analisa yang lebih dalam dari hakekat yang terdalam dari hukum dan kewajiban moral. Tetapi bahkan lebih penting lagi untuk mengetahui, bahwa ahli-ahli teori hukum alam telah meninggalkan bagi kita beberapa bukti yang berharga untuk menilai dengan betul hubungan timbal balik mereka, karena mereka menganggap bahwa hubungan antara hukum dan moral tak dapat diputuskan, mugnkin mereka tidak tepat memberikan tekanan kepada aspek moral dari hukum atau aspek hukum dari moral. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan, mereka sungguh menyadari adanya perbedaan-perbedaan diantaranya dan menunjukkan suatu pandangan yang jernih sekali terhadap hakekatnya yang sebenarnya.
Pembedaan antara moral dan hukum, mereka cari bukan dalam peraturan-peraturannya sendiri melainkan dalam berlakunya. Hukum-hukum yang baik harus dipatuhi “demi kepentingan batin”. Karena, hanya orang jahatlah menganggap hukum itu sebagai paksaan. Illustrasi Kant dalam “sifat-sifat juga membedakan” akhirnya bebas dari semua impliasi yang empiris. Deduksi Kant tentang intisari hukum yang “ekstern” dan “yang bersifat memaksa”, merupakan kesimpulan dan puncak dari usaha yang lama untuk beroleh suatu pembedaan antara hukum dan moral. Akan tetapi deduksi itu juga memberikan syarat-syarat pemeriksaan masalah-masalah filsafah hukum yang baru dan kritis sekali.
KAIDAH MORALITAS DALAM PENERAPAN HUKUM YANG IDEAL
Kemungkinan menguji berlakunya semua hukum dengan menilainya berdasarkan suatu ukuran utama, yakni suatu hukum ideal yang dapat diketahui dan dinilai bahkan dengan kepastian yang lebih besar daripada segala perundang-undangan yang ada. Hukum adalah hasil penyelidikan manusia akan suatu standar mutlak tentang keadilan. Ia didasarkan atas suatu pengertian khusus tentang hubungan antara yang ideal dan yang real. Itu adalah suatu teori dualistis yang mengambil sebagai pangkal suatu jurang, meskipun tidak perlu merupakan pertentangan antara apa yang sebenarnya dan apa yang seharusnya.
Pengakuan terhadap adanya hukum yang ideal tidak perlu mengandung arti, bahwa hukum positif hendaknya dikuasai olehnya dalam perkara-perkara perselisihan. Hukum alam dapat digunakan untuk menyokong tuntutan-tuntutan revolusioner maupun untuk membenarkan tata hukum yang ada. Ia bahkan dapat menyebabkan orang mengagung-agungkan sesuatu sistim hukum istimewa, sebagaimana halnya ketika Hukum Romawi, setelah diterima dibenua Eropa sebagai hukum “umum” di Eropa, dianggap sebagai ratio scripta”.
Mempelajari hukum yang ideal tidak lagi dipandang bersangkut-paut dengan ahli hukum. “Ilmu pengetahuan hukum dalam abad kesembilanbelas dn keduapuluh tegas-tegas menyatakan dirinya tidak mampu untuk memasukkan masalah keadilan kedalam bidang penyelidikannya”. Ditinggalkannya   hukum  alam   menandakan  munculnya  ilmu  hukum   modern. Akan tetapi pengertian hukum alam sebagai perwujudan dari keadilan dan sebagai dasar utama kekuatan berlakunya semua hukum, telah dikecam orang lama sebelum timbulnya ilmu hukum positif.
Sudah tentu mereka perlu diperbaharui lagi jika akan disesuaikan dengan suatu pengertian baru tentang hukum sebagai pernyataan dari kehidupan organis masyarakat. Juga harus diingatkan Sir Ernest Barker,[41] adalah pembelaan hukum “nasional” (khusus mengenai Jerman, hukum Jerman) terhadap hukum Romawi, yang pengaruhnya makin lama makin ditentang karena bersifat asing.       Dalam Vocation, Savigny telah mengemukakan, bahwa kehidupan hukum itu bersegi dua. Hukum mempunyai “kehidupan politis” karena ia menyatakan kenyataan-kenyataan dari sesuatu struktur masyarakat tertentu. Tetapi hukum juga mempunyai suatu kehidupan “teknis”, yang mulai pada saat digarap secara “ilmiah” oleh para ahli hukum.[42] Hukum pasti merupakan hasil dari Volksgeist dan sejarah. Tetapi ia hanya dapat dinilai dan dihargai dengan pekerjaan para ahli hukum profesional.
Sementara Stahl dalam “Tiada hukum kecuali hukum positif”[43] mengatakan bahwa, aturan-aturan hukum alam ”tidak memiliki kepastian yang diperlukan ataupun kekuatan meningkat hukum”. Tetapi Berebohm “penyelidik hukum alam yang rajin”, betul-betul benar untuk mengemukakan bahwa dari sudut pandangan positivisme hukum, digunakannya sifat “positif” bertalian dengan hukum tidak lain hanya merupakan pleonasme.[44]
Jadi pembatasan semua hukum sampai hukum positif dan penyelidikan terhadap suatu susunan yang sistematis dari tatahukum adalah sejalan. Mereka memang merupakan dua aspek dasar bagi ilmu hukum modern. Kecenderungannya untuk makin bersifat “formil” adalah hanya akibat dari tujuannya untuk menjadi suatu ilmu pengetahuan “positif”, yakni berjalan bebas dari setiap kriterium kekuatan berlakunya hukum seperti hukum alam diluar sistim.
Ilmu hukum positif dimulai dari identifikasi hukum dengan perintah, dan berakhir dengan penghapusan kehendak dari lapangan hukum samasekali. Hal ini jelas tidak saja dalam bidang “hukum publik”, dalam usaha-usaha yang tak kenal lelah dari ilmu hukum Jerman “Klasis” (Jellinek, Laband, dsb.), untuk menyatakan Negara sebagai suatu Rechstaat.
Kelsen mempertahankan, bahwa ini mungkin bagi sesuatu materi hukum tertentu; sebab menetapkan norma dasar “tidak mengandung pernyataan kategoris mengenai nilai metode pembuatan hukum atau tentang nilai orang yang berfungsi sebagai penguasa hukum positif: nilai ini adalah suatu anggapan hipotetis”. Jadi norma dasar hukum nasional dalam Negara modern yang berdaulat adalah bahwa pemerintah penguasa yang berdaulat (perseorangan atau badan) harus dipatuhi; norma dasar tata hukum internasional adalah pacta sunt servanda, dan sebagainya. Setiap dan masing-masing tata akan timbul sebagai suatu sistim hierachis, yang masing-masing bagiannya memperoleh dasar utama kekuatan berlakunya dari norma dasar.[45]
Norma dasar sistim hukum nasional, bahwa perintah penguasa yang berdaulat harus dipatuhi bagi ahli hukum yang lalu dapat menyatakan bahwa sistim itu adalah sistim positif mempunyai arti hanya karena perintah itu sungguh-sungguh ditaati.        Sifat khusus dari apa yang disebut positivisme hukum ialah bahwa ia tidak memerlukan pembenaran tata hukum dari segi agama. Norma dasar hanyalah pangkal pandangan setiap penafsiran positivistis hukum.[46]
Hukum adalah sebagian dari etika, fungsi pokoknya hanyalah dapat tampil sebagai fungsi perantara antara bidang moral dan bidang hukum murni. Pengertian hukum dapat mengandung sifat hukum maupun sifat moral. Masalah ini  merupakan suatu masalah “moral” dan bahwa dihubungkannya suatu sistem hukum tertentu dengan adanya kekuasaan yang nyata atau dengan pengakuan kepada ideologi politik yang khusus, adalah menjadi jaminan yang paling baik terhadap dihapuskannya unsur “moral” dan pandangan “metafisis” pengertian hukum dari teori hukum positip.
Adanya kekuasaan “yang nyata” dapat memberikan suatu pedoman yang menyenangkan kepada para ahli hukum hanya karena ia menerima kesamaan antara kekuasaan dan kebenaran sebagai suatu dalil yang mutlak. Dan mengenai “ideologi” politik istilah itu terang hanya merupakan pernyataan nilai-nilai belaka; begitu pula relativisme yang menutupinya serta “pancaran emosionil” (emotional aura) yang mereka pupuk secara fundamentil merubah sifat moral (atau immoralnya).
Verum dan certum dalam hukum, “Kebenaran” hukum adalah nilai moral yang dikandungnya, cahaya dan kegemilangan akal alamiah”. Tetapi unsur moral didalam hukum seharusnya jangan sampai membuat kita menutup mata terhadap aspek lainnya yang perlu, yakni nilai-nilai yang terkandung didalam perundang-undangan positif bila nilai-nilai “dikhususkan” atau dimasukkan kedalam suatu sistim peraturan-peraturan yang berkuasa. “Kepastian hukum mengakibatkan pengaburan akal, selama akal hanya dibantu oleh kekuasaan. Ini menyebabkan kita mengalami betapa sukarnya mentaati hukum, namun kita terpaksa mentaatinya, disebabkan sifat kepastiannya”.
Bahwa hukum adalah suatu perbuatan intelek disamping dan sebelum perbuatan kehendak. Bila pikiran memerlukan bahasa, maka nilai memerlukan norma-norma. Akhirnya diatas dasar inilah manusia menentukan pilihannya dan menentukan perbuatannya. Berubahnya suatu norma menjadi suatu perintah pada pokoknya merupakan soal penghargaan subjektif. Dan sudah barang tentu tidak ada perintah apabila tidak ada yang mentaatinya.
“Suatu kehendak yang sungguh-sungguh baik, …(tidak dapat)….difahami sebagai hal yang diperlukan untuk berbuat sesuai dengan hukum, karena kehendak itu sendiri, selaras dengan susunannya, yang bersifat subjektif, hanya dapat ditentukan oleh pengertian kebaikan. Sebab itu bagi kehendak Tuhan (divine will) dan pada umumnya bagi kehendak Suci, tidak ada bentuk perintah (imperatif): disini pada tempatnya “saja seharusnya”, oleh karena “saya mau” sudah dengan sendirinya mesti sesuai dengan hukum. Imperatif-imperatif oleh karenanya hanya merupakan formula buat menyatakan hubungan hukum-hukum objektif kehendak dengan ketidak-sempurnaan kehendak yang subjektif dari makhluk itu yang berakal-misalnya, dari kehendak manusia”.
GAGASAN DASAR PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai aturan-aturan dan kaidah-kaidah sosial. Didalamnya termasuk kaidah-kaidah (norma) yang berbentuk aturan hidup,[47] yang menjadi pedoman (penuntun) dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini berdasarkan penelahan akal budi praktis dan gejala-gejala social masyarakat,  yang berasal dari norma moral.[48] Norma moral dalam keberlakuannya pada interaksi antara masyarakat dengan alam dan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, berkembang menjadi norma hukum, setelah diformulasi secara formalistik oleh negara.[49]
Norma hukum yang menguasai (mengatur) tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi, disebut sebagai tata hukum.[50] Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan aturan-aturan bagi masyarakat dalam berinteraksi. Tata hukum ini berisikan norma-norma (kaidah-kaidah)[51] sebagai petunjuk, acuan, pedoman bagi seluruh anggota masyarakat, baik secara individual maupun berkelompok. Tata hukum ini dalam penerapannya, memuat ketentuan perintah (pemaksa) dan larangan (pengatur) berikut sanksi.[52] Perintah dan larangan dimaknai sebagai wujud kesepakatan yang diciptakan, dalam mengatur interaksi yang bisa dijadikan sebagai pedoman secara menyeluruh dalam tata kehidupan bermasyarakat, supaya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang muncul dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.  Sementara sanksi dimaksudkan sebagai imbalan atau ganjaran (hukuman), kepada setiap orang atau kelompok yang tidak mentaati (mematuhi) aturan tersebut.[53] Imbalan atau ganjaran ini, sebagai salah satu akibat yang muncul dari disepakatinya tata hukum tersebut, dan sekaligus sanksi yang terdapat dalam tata hukum tersebut merupakan motivasi psikologis dalam berbuat atau tidak berbuat.[54]
Perkembangan keberlakuan tata hukum ini, mengalami perdebatan yang alot diantara kaum juris dan non-juris sampai sekarang. Perdebatan yang muncul bisa berupa sisi formalistik dan bentuk materialistik.[55] Sisi formalistik terperikan dalam konteks : apakah tata hukum itu, bagaimana menentukan bentuknya, siapa yang berkuasa membuatnya, berapa macam bentuknya, bagaimana bentuknya supaya ditaati. Sementara sisi materialistik (substansi) terformulasi dalam : bagaimana isi perintah dan larangannya, bagaimana sanksinya, siapa yang berhak memberikan sanksi, kepada siapa diberlakukan, darimana diperolehnya aturan itu.
Pertanyaan yang muncul dalam perdebatan tersebut, harus dijawab sendiri oleh aturan hukum. Hal ini berkenaan dengan pertanggungjawaban kaidah, yang berbentuk aturan hukum dalam keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat.[56] Menjawab pertanyaan tersebut, tidak bisa hanya dengan argumentasi sederhana, tetapi memerlukan analisa dan kajian yang mendalam. Salah satunya adalah dengan memasuki pintu filsafat yang mampu memberikan alasan apa, kenapa dan darimana sesuatu diperoleh (diperkenalkan).[57] Refleksi terhadap kajian filsafat diperlukan, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut berimplikasi terhadap tata hukum yang seharusnya dalam sosial kehidupan masyarakat, baik interaksi individual maupun kelompok. Refleksi filsafat hukum ini, dengan sendirinya diawali pada aspek pemikiran teori hukum, yang mempersoalkan hukum seharusnya dan hukum dalam kenyataan.[58] Sistematik teori hukum berkaitan dengan filsafat dan politik.
Teori hukum diilhami oleh manifestasi keinginan manusia dalam keteraturan hidup. Keinginan ini tidak terformulasi secara formal semata, tetapi juga harus berisikan penilaian moralitas. Keinginan formal terbingkai dalam hukum yang tetulis (positif), sementara penilaian moral merupakan wujud kaidah tidak tertulis, yang senantiasa hidup dan berkembang dalam nurani masyarakat. Teori Hukum memikirkan latar belakang hubungan konsepsi tentang manusia, dan interkasi manusia dengan lingkungan.[59]
Tugas teori hukum adalah menformulasi usaha untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya, sampai dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Sementara disisi lain, berusaha memberikan suatu lukisan sistematis tentang hukum positif sebagai suatu gejala umum dalam masyarakat. Begitupun dalam pencarian hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara masing-masing gejala hukum yang ditimbulkan dalam masyarakat, asas-asas dasar suatu tertib hukum postif.
 Keberlakuan hukum sebagai tindakan kausalitas (sebab-akibat), menggiring untuk memahami arti fungsi dan tujuan hukum dalam pergaulan hidup. Tujuan hukum[60] diformulasikan untuk membimbing manusia dalam mengenali arti hidup, interaksi sesama, serta dalam hubungan yang lebih luas lagi. Awal dari manusia memahami hukum, diorientasikan pada sisi keadilan dalam jiwa (roh) alam.[61] Hukum adalah keadilan, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang dikembangkan dalam sistem filsafat transendental mistis dalam ruang metapisika. Metapisika senantiasa dalam aspek pembuktian, menarik diri dari aspek verifikasi kebenaran fakta-fakta.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.[62] Hukum dalam keberlakuannya tidak melibatkan akal (rasio) secara mandiri. Hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi ideal dalam ajaran Hukum Alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama. Hukum dipersepsikan dengan simbol ke-alam-an dan lukisan kemutlakan religius, tanpa bisa tersentuh keutamaan dan kemandirian akan akal (rasio) manusia.
Stigma tujuan hukum untuk mencapai keadilan mutlak (absolute justice), kemudian dielaborasi pada sisi formalisitk.[63] Formalistik bergerak dalam ruang kepastian hukum sebagai tujuan hukum. Tujuan untuk mencapai kepastian hukum, diajarkan dalam sistim filsafat rasionalisme dan empirisme. Filsafat rasionalisme dan empirisme merupakan antithese ketidakpuasaan rasio manusia, akan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak nyata.[64]
Kemandirian akal (rasio) manusia diperkenalkan, sebagai antithesa kejenuhan akan keterkungkungan nilai abstraksi logika. Abstraksi logika menyangkut keangkeran alam dalam dekapan pesan-pesan religius kitab suci (ajaran agama) terhadap hidup dan alam kehidupan manusia. Keterkungkungan dilepas dengan evolusi berpikir yang mempergunakan logika, yang berasal dari pemberdayaan akal (rasio) untuk mengenali diri dan alam.
Kemandirian (kebebasan) akal dari keterkunkungan moral dan agama, menyambut kelahiran sistim filsafat baru. Filsafat baru ini, mereduksi sebagian konsep dasar ajaran filsafat transcendental-mistis. Kemutlakan alam-religius dan keabstraksian pemikiran terpinggirkan, oleh kemampuan evolusi akal (rasio) dalam mengenali diri dan alam kehidupannya.[65] Evolusi dalam pengembangan kemampuan mempergunakan akal (rasio), mengiringi lahirnya filsafat empirisme, rasionalisme, idealisme, dan konkritisisme, Kemampuan akal (rasio) manusia dijadikan sumber, dalam memahami dan menyelidiki alam kehidupan. Sementara norma hukum, dibingkai dalam formalisme aturan. Formalisme aturan, tidak menyerah pada sistim filsafat yang pasrah akan gejala alam dan ke-stagnasian ajaran religius.
Awal evolusi berpikir ditandai dengan lahirnya Zaman Renaissance,[66] sebagai awal pencerahan dan penyegaran rasio dalam memaknai hidup. Norma (tata hukum) diilhami filsafat empirisme,[67] yang menghendaki adanya suatu aturan yang nyata dan konkrit.[68] Tujuan hukum bukan lagi semata-mata mengejar sisi keadilan yang abstrak, tetapi dielaborasi dalam mencapai suatu kepastian hukum yang tetap, nyata dan konkrit.[69]
Kepastian hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersipat memaksa,[70] dan lahir dari suatu tatanan organisasi sosial yang berdaulat.[71] Hukum sebagai roh kekuasaan,[72] dalam mengimplementasikan stigma kebijakan[73] yang dikeluarkan sebagai alat paksa untuk memonopoli masyarakat dalam keterikatan. Monopoli melalui alat paksa ini, bertujuan untuk menata signifikansi interaksi antara masyarakat dengan cita dan tujuan bernegara.[74] Akhirnya cita dan tujuan negara, sinkron dengan makna kehidupan manusia, yang terbingkai dalam kemakmuran, keamanan, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia dalam bernegara.
KONSEP DASAR AJARAN POSITIVISME HUKUM.
Diawali pada abad XIX sebagai abad perkembangan dalam evolusi berpikir, berdasarkan bertambahnya kesadaran manusia atas kekuasaan (kekuatan) akan kemampuan rasio (akal) sendiri.[75] Akal manusia lepas dari ikatan faham religius semata, dan tidak lagi dilihat sebagai penjelmaan dari akal Tuhan (dijelmakan dalam ajaran agama). Akal (rasio) manusia dianggap sebagai sumber dari satu-satunya ilmu pengetahuan (hukum) dalam berevolusi.[76] Evolusi berpikir ini, sebagai awal dimulainya penyelidikan empiris dalam memikirkan asas-asas (norma) hukum dalam tataran filsafat idealisme. Filsafat Idealisme merupakan kesinambungan rasionalisme Kant, yang memandang teori hukum idealistik mendasarkan pada prinsip manusia sebagai makhluk rasional dan beretika serta perkembangan manusia sebagai subyek rohani.
Filsafat idealisme dalam konsep pengembangannya, menghargai akal (rasio) dan jati diri manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan. Disamping itu, filsafat idealisme menjadi salah satu peletak dasar dalam menjembatani lahirnya aliran Positivisme Hukum. Positivime Hukum[77] lahir (Abad XIX) atas jawaban akan ketidakpuasan konsep Hukum Alam (Abad XVII-XVIII) yang mengungkung dan memenjarakan rasio (akal) manusia dalam ekspresinya. Kelahirannya di awali pada zaman Renaissance (pada akhir Abad XVIII),[78] dimana rasio (akal) manusia menjadi pusat penyelidikan dalam perkembangan peradabadan manusia dan penyelidikan terhadap alam semesta.[79] Fositivisme sebagai aliran filsafat abad XIX, diilhami oleh filsafat Kant[80] yang mempunyai tiga cabang (sosiologis, yuridis, dan aliran hukum umum).[81]
Prinsip dasar ajaran Filsafat Positivisme, memandang bahwa ilmu positif adalah ilmu yang hanya dapat mengajarkan kenyataan (realita dalam kehidupan masyarakat); ilmu pengetahuan yang ditujukan pada pengamatan (melalui penyelidikan empiris) untuk mengenal keteraturan hukum; menolak semua pengetahuan yang tidak dapat diselidiki secara inderawi (berusaha menjauhi aspek abstraksi yang tidak dapat diverifikasi secara ilmiah). Konsep dasar filsafat posivisme dalam perkembangannya, menyentuh perkembangan ilmu hukum.
Filsafat Postivisme disini,[82] bukan secara lansung merupakan  aliran positivisme hukum yang lazim dikenal dalam Filsafat Hukum dan Teori Hukum, tetapi positivisme dalam suatu aliran filsafat bagi semua bidang kajian ilmu. Secara konseptual dan metodologis, ajaran Filsafat Positivisme belum mengkhususkan untuk mengkaji dan mengembakan ilmu hukum secara positif.[83] Filsafat Positivisme dalam implementasinya, menyelidiki perkembangan peradaban manusia maupun ilmu-ilmu yang menyelidiki alam semesta. Auguste Comte, sebagai salah satu peletak dasar Filsafat Positivisme memperkenalkan konsepsi tiga tahap. Konsepsi tiga tahapnya meliputi, pemikiran teonom (teokrasi), pemikiran hukum kodrat (falsafi), pemikiran hukum positif. Konsepsi ini diperkenankan menyelidiki ilmu pengetahuan dalam sistem filsafat,[84] untuk  memaknai pemikiran manusia dalam ber-evolusi akal (rasio).
Sistem filsafat positivisme memunculkan doktrin, bahwa hanya pengalaman yang benar, karena dapat dipastikan dalam kenyataan melalui ilmu pengetahuan, sehingga dapat ditentukan bahwa sesuatu itu adalah suatu kenyataan (kebenaran). Demikian pula dalam penyelidikan ilmu pengetahuan, kecenderungannya didasarkan pada fakta yang dapat diamati oleh pancaindera. Keteraturan hukum yang dapat ditemukan dalam fakta-fakta, menjadi satu-satunya obyek dalam ilmu pengetahuan. Teori hukum positivistik, berdasar pada pokok (dasar) aturan (kaidah) hukum itu sendiri, tanpa melibatkan kaidah-kaidah diluar non-hukum (etika, politik, ekonomi). Teori ini beranggapan, bahwa hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif. Metode yang dipergunakan dalam pengimplementasiannya, tidak menyentuh niali baik atau buruk, nilai efektifitas, serta diterima atau tidaknya keberlakuan aturan tersebut dalam masyarakat.
Dari perkembangan Ilmu Hukum pada abad XIX, yang didukung oleh berkembangnya Filsafat Idealisme dan Aliran Legisme, memberikan nuansa tersendiri, berbeda dari pada doktrin yang diajarkan oleh Aliran Hukum Alam. Implementasi konsep ilmu hukum (aturan hukum) dalam menata interaksi masyarakat, cenderung meninggalkan ajaran tentang keangkeran alam, kesakralan religius, dan kestagnasian akal. Nilai keadilan yang  akrab dengan nilai abstraksi dalam tujuan hukum absolut dari doktrin Aliran Hukum Alam, mulai ditinggalkan karena tidak dapat memberikan kepuasan perasaan hukum masyarakat. Masyarakat mulai mencari formula lain (baru), baik dari sisi metode implementasi maupun substansi tujuan penerapan hukum itu sendiri.
Implementasi hukum di dalam masyarakat, bukan untuk mencapai keadilan semata tetapi juga harus memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman masyarakat, dan pedoman tetap bagi aparat penegak hukum dalam mengambil suatu keputusan. Hukum mulai diperkenalkan (dipersepsikan) secara resmi dalam bentuk formalistik, seirama dengan berkembangnya (kemajuan) teori kedaulatan negara dalam bernegara. Konsepsi (bentuk) formalistik hukum ini, meresepsi ajaran Positivisme yuridisnya Comte. Ajaran Comte ini, dibingkai dalam Aliran Positivisme Hukum dalam lintasan sejarah perkembangan Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Teori Hukum.[85]
Aliran ini lahir dari beberapa sebab musabab, antara lain : Pertama, perkembangan doktrin Hukum Alam yang dijadikan penuntun manusia dalam berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, manusia dengan negara semakin tidak terpuaskan. Hukum Alam dalam doktrinnya mengedepankan ajaran yang bersifat sangat abstrak, sehingga sangat sulit untuk memberlakukan aturan hukum dalam ralitas kehidupan masyarakat.
Kedua, doktrin keadilan absolut sebagai tujuan hukum semata-mata, sangat sulit untuk diterapkan karena tidak dapat menjamin suatu kepastian dalam memutuskan atau menyelesaikan masalah-masalah (perkara-perkara) yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, sehingga perasaan hukum masyarakat seringkali tidak terpuaskan. Penerapan aturan hukum, dari satu kasus ke kasus lainnya tidak mendapatkan suatu kepastian hukum yang bersipat tetap. Jadi dari segi konsepsi, doktrin Hukum Alam sangat ideal, tetapi dari segi implementasi sangat sulit karena mempunyai kaidah-kaidah yang sangat abstrak.
Ketiga, konsep ajaran Hukum Alam yang akrab dengan keangkeran alam dan kesakralan religius, tidak memberikan tempat bagi manusia dalam mengembangkan ide dan pemikiran dalam memaknai diri. Akibatnya akal (rasio) manusia dalam mengenali diri dan alam semesta, tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Keinginan dalam ber-evolusi pikiran tertutupi oleh doktrin alamiah dan agama. Aturan hukum yang dikedepankan dalam pemberlakuannya ditengah-tengah masyarakat, berasal dari alam dan doktrin (ajaran) agama, yang tidak memberi tempat kreasi akal (rasio) manusia dalam menentukan (membuat) aturan hukum yang bisa dijadikan pedoman atau penuntun bagi masyarakat dalam berinteraksi.
Keempat, bersamaan dengan keinginan rakyat (manusia) dalam membatasi kesewenang-wenangan raja (penguasa) yang mempunyai kekuasaan mutlak. Seperti yang sering tercermin dalam ungkapan, ucapan raja adalah hukum, titah raja adalah undang-undang, raja mempunyai kekebalan hukum yang berlaku mutlak. Dari kondisi demikiran, maka kehadiran positivisme hukum, memberikan batasan terhadap kekuasaan raja dalam pengelolaan negara (pemerintahan), serta memberikan perlindungan kepada rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa.
Kelima, seiring dengan perkembangan doktrin teori-teori bernegara, yang pada abad XIX berkembang teori kedaulatan negara. Teori Kedaulatan Negara memberikan justifikasi bagi penguasa untuk membuat aturan hukum yang bertujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat, disamping untuk memberikan pedoman kepada seluruh lapisan masyarakat dalam berinteraksi, sehingga tata interaksi yang ideal tercipta dalam bingkai aturan yang berlaku secara menyeluruh.
Dari beberapa hal yang mendasari tersebut, lahirlah Aliran Positivisme Hukum, yang merupakan hasil elaborasi dari konsepsi Aliran Hukum Alam. Aliran Postivisme Hukum mengembangkan dua sub-aliran utama dalam konsep dasarnya,[86] yaitu : Aliran Analitikal Jurisprudence dipelopori John Austin yang dituangkan dalam hasil karyanya (buku) The Province of Jurisprudence Determined dan Lectures on Jurisprudence (dikembangkan lebih lanjut oleh H.L.A. Hart), dan Ajaran Hukum Murni yang dipelopori Hans Kelsen dalam karyanya Pure Theory of Law (dikembangkan lebih lanjut oleh Dworkin).
Konsep dasar ajaran Analitikal yang dikembangkan oleh John Austin dalam Aliran Positivisme Hukum,[87] dapat dipahami (dimengerti) dalam beberapa konsepsi dasar ajarannya. Pertama : hukum dikonsepsikan (diartikan) sebagai “Law is A Command Of The Law Giver” atau sebagai perintah (teori perintah-bevelstheory) dari penguasa yang memegang kekuasaan tertinggi dan berdaulat (berwenang). Hukum sebagai perintah yang memaksa, dapat saja bersifat adil (bijaksana) atau sebaliknya.[88]
Kedua : hukum dari segi sifatnya, dikonsepsikan (dianggap) sebagai suatu sistem yang logis, bersifat tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). [89] Keputusan-keputusan hukum yang tepat dan benar, diperoleh dari peraturan yang ditetapkan sebelumnya dan tanpa memperhatikan (melibatkan) unsur diluar hukum, sehingga secara tegas memisahkan hukum dari moral (yang berkaitan keadilan), karena secara yuridis moral tidak penting bagi hukum walaupun mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Hukum tidak mempertimbangkan dan menilai mengenai hal yang baik dan buruk, karena diluar bidang kajian hukum.
Ketiga : hukum yang baik dan sesungguhnya, adalah hukum yang memuat kaidah perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.[90] Norma-norma hukum dasar adalah seperti yang disusun oleh pembuat Undang-Undang, sebagai sesuatu yang harus diterima oleh masyarakat.[91]
Sementara konsepsi hukum yang diperkenalkan Hans Kelsen dalam ajaran Hukum Murni-nya, bisa dipahami (dimengerti) dalam tiga konsep utama. Pertama : [92] konsepsi hukum secara metodis. Konsep penerapan hukum harus dengan pendekatan metode normatife dan bersih dari anasir non-yuridis, seperti : sosiologis, politis, histories, dan etis. Memisahkan hukum dari unsur etika, berarti menjauhkan hukum dari soal penilaian baik dan buruk. Pemisahan hukum unsur sosiologis,  berarti hukum positif memandang bahwa hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tidak begitu penting. Hukum adalah selalu merupakan hukum positif, yang terdapat dalam berbagai peraturan yang ada, karena yang dipersoalkan apa sebenarnya hukumnya, dan bukan bagaimana hukum itu seharusnya. Ilmu hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan, sifatnya lahir dari hipotesis kemauan dan akal manusia.
Kedua : konsepsi hukum positif adalah hukum yang seharusnya (sollenkategoris/ius constituendum) bukan hukum sebagai kenyataan (sein kategoris/ius constitutum).61 Ilmu Hukum adalah ilmu normatif, yang terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia. Seorang ilmuan hukum tidak bisa bekerja dalam bidang sollen (yang seharusnya ada) dengan konstruksi pemikiran dari dunia sein (yang ada) atau sebaliknya. Dunia sein berlaku aturan yang tidak bersifat kausalitas (sebab akibat) tetapi pertanggungjawaban.
Ketiga : konsepsi hukum dalam ajaran “Stufentheorie”.Norma dasar suatu tata hukum adalah peraturan tertinggi dari tata hukum sebagai peraturan fundamental dari berbagai norma tata hukum positif. Disamping ajaran hukum murninya, Kelsen berjasa dalam mengembangkan “Stuffentheory” yang dikembangkan lebih lanjut oleh Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu system yang terdiri dari sustu susunan norma-norma (kaidah-kaidah) yang berbentuk piramida.[93] Sesuatu aturan dianggap berlaku, karena berlandaskan pada aturan lain yang lebih  tinggi. Aturan yang lebih tinggi, berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi disebut sebagai “grundnorm” (norma dasar) yang tidak dapat dialihkan lagi kepada aturan yang lebih tinggi lagi. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma maka makin semakin abstrak, dan semakin rendah suatu norma maka semakin konkrit (nyata)
Keberlakuan Postivisme Hukum dalam konsep dasarnya, mengenal hukum dari bentuk hukum positif  yang dibuat oleh penguasa (yang berdaulat). Hukum lepas dari norma (kaidah) diluar norma hukum, karena akan mengganggu makna hukum yang sesungguhnya.[94] Hukum dipelajari dari bentuk yuridisnya, sebagai bentuk formal yang dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum materil. Kaidah hukum materil dipandang sebagai bukan ilmu pengetahuan hukum.[95]
Norma hukum (tata hukum) dipersepsikan sebagai suatu aturan yang mengikat, karena berasal dari penguasa (yang berdaulat).[96] Jadi formulasi keberlakuannya adalah sein atau ius constitutum (aturan yang nyata) bukan sollen atau ius constituendum (aturan yang seharusnya). Norma yang nyata dan konkrit dalam pengalaman manusia di sebut hukum yang di bingkai dalam formalistic. Postivisme Hukum mendapatkan formulasi yang lebih konkrit dari Hart. Hart sebagai penerus teori perintah Austin.
Menurut Hart,[97] bahwa ciri-ciri positivisme yang terdapat dalam hukum dewasa ini, yaitu : a) hukum adalah perintah dari manusia (penguasa yang berdaulat);  b) tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dengan kesusilaan atau hukum yang berlaku (sein/ ius constitutum) dengan hukum yang seharusnya (dicita-citakan/sollen/ius constituendum); c) hukum sebagai system logika yang tertutup dan tidak memperhatikan tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moralitas; d)  unsur diluar dari non-hukum dikesampingkan karena tidak dapat dibuktikan berdasarkan argumentasi logika (rasio).
PERKEMBANGAN DAN KRITIK TERHADAP POSTIVISME HUKUM.
Konsep dasar positivisme hukum merupakan antithesa dari perkembangan hukum alam yang berkembang dan mencapai puncaknya pada abad XVII – XVIII, yang mengalami penurunan pada saat memasuki zaman renaissance. Konsep Keadilan[98] sebagai tujuan dan fungsi utama dalam penerapan hokum, yang diketengahkan oleh para penganut Ajaran Hukum Alam, sangat berbeda dengan Konsep Kepastian Hukum yang diketengahkan oleh para penganut Positivisme Hukum pada abad XIX.[99] Konsep Kepastian Hukum, dari doktrin (ajaran) Aliran Positivisme Hukum yang senantiasa berusaha memisahkan konsep hukum dari anasir-anasir lainnya yang dibahas diluar hukum.
Walaupun konsep tujuan dan fungsi utama kepastian hukum dari Positivisme Hukum, pada dasarnya merupakan salah satu apresiasi dari konsep hukum sebelumnya, yang dipopulerkan (diketengahkan) aliran Hukum Alam. Namun, dalam perkembangannya Aliran Postivisme Hukum, juga menyentuh perkembangan konsep keadilan, tetapi konsep keadilan yang keluar dari roh keadilan itu sendiri. Keadilan yang tidak mampu mengikuti rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Konsep hukum yang dikembangkan adalah hukum yang tertulis (kodifikasi) sebagai hukum positif, sehingga tidak dapat diubah setiap saat. Sementara perasaan keadilan dan kebutuhan masyarakat akan kegunaan aturan hukum dalam penerapannya menjadi mutlak. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat membawa serta secara lansung perubahan fungsi dan tujuan hukum yang diinginkan oleh masyarakat.
Dari ketidakpuasan tersebut, orang (masyarakat) berusaha menjari  formulasi yang tepat sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, serta kebutuhan akan tatanan hukum yang biasa bersesuaian dengan dasar kebutuhan aturan hukum dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Perubahan-perubahan ini dalam perkembangan ilmu hukum masuk dalam doktrin akan kebangkitan hukum alam yang tidak memisahkan hukum dari unsure-unsur non-hukum. Kebangkitan hukum alam ini, dengan sendirinya tidak dalam bentuk dan corak hukum alam yang konvensional.
Formulasi doktrin ajaran hukum baru sebagai jawaban atas ketidakpuasaan konsep dasar Positivisme Hukum, diklasifikasikan dalam ajaran Mazhab Sejarah dan Utilitarianisme, yang cenderung memadukan antara sebagian konsep hukum alam dan sebagian konsep positivisme hukum. Makna ketidakpuasan tersebut, melahirkan beberapa kritikan terhadap konsep dasar Ajaran Positivisme Hukum dalam perkembangannya.
Pertama : Thomas Aquino memandang, bahwa walaupun Aliran Positivisme hukum lahir dari evolusi akal (rasion manusia), namun tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh Aliran Hukum Alam. Hukum positif buatan manusia lahir atau diciptakan (diturunkan) dari lex naturalis, yang merupakan bagian dari lex aeterna yang dapat ditangkap dan dimengerti oleh manusia sebagai makhluk yang mempunyai rasio. Hukum positif akan kehilangan kekuatannya, kalau bertentangan dengan Hukum Alam. Hukum Positif merupakan wahana justifikasi Hukum Alam, dalam keberlakuannya secara positif ditengah-tengah masyarakat.
Kedua : John Chipman Gray sebagai penganut Aliran Pragmatic Legal Realism mengeritik pandangan Kelsen tentang Teori Hukum Murninya. Hukum bukan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang, tetapi melainkan apa yang terdapat atau dilakukan dalam praktek diperadilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Hukum tercitrakan dari perilaku aparat (polisi, jaksa, hakim dan aparat penegak hukum lainnya), dan hukum tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh diluar non-hukum, seperti politik, sosiologis, psikologis, dan unsur lainnya.[100]
Ketiga : Austin sebagai salah satu pelopor (penganut) positivisme hokum, terkadang tidak konsisten dalam konsepnya menurut Thomas Aquino. Menurutnya, hokum bisa berasal dari Tuhan untuk manusia dan  dibuat manusia sendiri, yang disebut Hukum Positif yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang dan hokum yang dibuat oleh rakyat secara individual. Indikator yang dipergunakan untuk mengukur kualifikasi suatu aturan hokum adalah penguasa yang berdaulat, sehingga bisa dibedakan hokum yang sebenarnya dan hokum yang tidak sebenarnya.
Keempat : Teori Perintah Austin yang diteruskan oleh Hart, mendapat kritikan yang tajam. Hukum disini dipersamakan dengan konsep Thomas Hobbes, bahwa siapa yang kuat maka itulah yang menang (berkuasa) dalam konteks bermasyarakat. Penguasa dalam mengeluarkan aturan yang bersipat memaksa untuk ditaati, dipersamakan dengan seorang perampok (penyamun) yang memaksa korbannya untuk menuruti kehendaknya.
Kelima : Sementara Fichte[101] mendukung teori perintah Austin yang berasal dari negara, dan menganggap bahwa kewajiban moral adalah kewajiban hukum, sementara Austin menganggap bahwa kewajiban hukum berasal dari sipat perintah dan memaksanya hukum itu sendiri.
Keenam : Disamping itu, Hart juga kurang sependapat dengan beberapa dalil yang dikemukakan Kelsen. Pertama, bahwa suatu aturan hokum dapat berisi apasaja asal sesuai dengan stelsel Grundnorm, menurut Hart bahwa suatu atauran mempunyai syarat pinggir keharusan lamiah yang tidak dapat disingkirkan ketika membentuk peraturan. Kedua, berlakunya Grundnorm itu diterima dalam ilmu hukum, tetapi tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan menurut Hart. Cara berpikir pada zaman modern selama masa pencerahan, bersifat rasionalistis[102] dan individualistis. Dalam rasionalisme bertolak dari ide-ide umum yang berlaku bagi semua manusia, untuk kemudian diterafkan pada manusia secara individual. Cara berpikir demikian, memberikan keleluasan penyelidikan empiris dan mendapat kedudukan yang tetap dalam memikirkan asas-asas hukum, yang akhirnya dikembangkan dalam filsafat idealisme.[103] Filsafat idealistis (idealisme) mengkaji hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki rasio (akal) dan etika, yang berbeda dengan filsafat fositivistik dalam melihat hukum yang didasarkan pada pokok-pokok persoalan hukum itu sendiri, tanpa melibatkan aspek non-hukum.[104]
Ketujuh : Menurut L. Fuller, bahwa dalam pandangan positivisme hukum, hukum yang lebih tinggi boleh dipercaya pada keadilan, tetapi seseorang tidak boleh mencampurkan kepercayaan itu di dalam pelaksanaan hokum, karena akan keluar dari kaidah menurut ilmu pengetahuan hukum. Jadi apa yang dipahami sebagai hukum, adalah yang diakui, dibuat dan diumumkan oleh negara sebagai hukum. Dari pandangan ini jelas memperlihatkan, kedudukan hukum mutlak adanya tanpa bisa diganggu gugat, dan semuanya berlaku secara defenitif tanpa adanya keragu-raguan. Aspek inilah yang menimbulkan perdebatan, jika dipersandingkan antara Hukum Alam dengan Postivisme Hukum, mengenai sisi keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat. Hukum Alam yang rasionalistis, menganggap bahwa berlakunya hukum positif berdasarkan nilai dari isi aturan hokum, apakah isi dan norma suatu aturan hukum sesuai dengan hokum yang ideal berasal dari norma (moral) yang hidup dimasyarakat.
Kedelapan : Pandangan hukum alam ini ditentang oleh penganut positivisme, bahwa  pandangan yang demikian tidak benar dan tidak baik, karena akan menyalahi suatu putusan yang bernilai tetap (pasti). Berlakunya suatu aturan hukun positif, merupakan pelaksanaan peraturan secara nyata oleh penguasa dan bersesuai dengan system hokum yang berlaku. Dari bentuknya yang paling murni, positivisme hokum itu adalah suatu aliran dalam teori hokum yang ingin memahami hokum yang berlaku semata-mata untuk dirinya sendiri, dan menolak sedikitpun penilaian atas putusan mengenai peraturan hokum.
Kesembilan : Kant dalam dalil Kategorische Imperativenya,[105] menentang konsep dasar positivisme mengenai pemisahan mutlak hukum dan moral. Kant menganggap bahwa tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara Hukum dan Moral, karena hanya terletak pada ruang geraknya manusia, yaitu hukum bersipat ekstern dan moral bersipat intern.
 Kesepuluh : Sementara mengenai kajian hukum, Kant tidak sepakat dengan Austin dan Kelsen. Kant melihat hukum dalam kajiannya adalah hukum yang seharusnya, dan tidak mempersoalkan hukum yang seharusnya dan hukum dalam kenyataan.[106] Lain dengan Austin dan Kelsen yang melihat, bahwa hukum dalam hokum yang ada bukan hokum yang seharusnya. Neo-Kantianisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran positivisme pada abad ke.19, yang mendasarkan pandangannya pada filsafat idealisme dengan metode kritis yang dikembangkan oleh Kant, setelah mengalami reduksi metode analisisnya.[107]
Kesebelas : Sementara Stamler mendukung konsep tertutup dan tetapnya ajaran positivisme hukum. Menurutnya, hukum harus bersipat formal (bentuknya) dan universal, artinya harus terlepas dari pengalaman atau kenyataan social yang berubah-ubah.
Kedua belas : Unsur Kedaulatan dan Perintah dari konsep dasar ajaran Positivisme hokum, mendapat kritikan tajam dari Mazhab Sejarah dan Sosiological Jurisprudence.[108] Hukum ditaati (dipatuhi) oleh manusia karena dari hukum itu sendiri yang berdaulat (teori kedaulatan hokum), dan manusia tidak diperintah untuk mematuhi hokum, tetapi berdasar kemauan nurani sendiri karena berkenaan dengan nilai moral. Jadi hokum terlepas dari nilai kedaulatan dan perintah.
Ketiga belas : Von Savigny mengkritik Positivisme Hukum dalam konsep  bentuk formalnya (kodifikasi). Kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek yang negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Sejarah peradaban manusia jaran terus, tetapi hukum sudah dikodifikasi yang sulit untuk dirubah mengikuti perkembangan.
Keempat belas : Utrecht[109] mendukung kepastian hukum sebagai tujuan dalam konsep dasar positivisme hukum. Menurutnya bahwa hanya keputusan dapat membuat kepastian hukum sepenuhnya, maka hokum bersipat sebagai alat untuk mencapai kepastian hokum. Hukum sebagai suatu gejala kekuatan untuk mencapai kedudukan tertentu dalam menerapkan hokum yang pasti dan tetap.
Usaha dalam memaham konsep dasar ajaran Positivisme Hukum, tidak terlepas dari sudut pandang ideaolgi, aliran serta paham yang dianut. Penganut (pelopor) Positivisme Hokum dalam Filsafat Hukum dan Teori Hukum, sangat sulit menempatkannya secara pas. Hal ini disebabkan oleh inkonsistensi masing-masing ajaran dari aliran (mazhab) dalam memegang teguh prinsip dasar yang dianutnya. Baik dari segi metodologis, substansi, maupun dalam aspek fungsionalnya.
Seperti dalam konsep bagaimana manusia (orang) mematuhi hokum?, dari mana norma hukum itu, sehingga bisa mengikat setiap orang?, siapa yang berhak membuat dan memberikan sanksi?, bagaiamana tujuan dan fungsi hokum yang ideal?. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sangat sulit memilah yang mana pendapat (pandangan) pakar hokum yang tepat dan aliran mana yang dapat memecahkan (menjawab) pertanyaan tersebut secara konprehensip, sehingga dapat memuaskan setiap orang, dan dapat berlaku secara universal.
Jadi dalam perkembangan ilmu hokum, yang menjadi objek analisis Filsafat Hukum dan Teori Hukum kembali pada ungkapan, bahwa tidak ada suatu ajaran yang bersipat permanen. Permanen dimaksudkan disini adalah, bahwa konsep dasar suatu aliran (mazhab) maupun para pakar, berkembang seiring dengan perkembangan alur berpikir, lingkungan atau tempat diterapkan, kematangan kualitas analisis dan dari sudut pandang mana mereka melihat hokum itu
Formulasi thesa mengakibatkan antithesa yang akhirnya lahirlah sinthesa, senatiasa juga berlaku dalam perkembangan pemikiran dalam Filsafat Hukum dan Teori Hukum. Dari zaman purbakala sampai zaman modern sekarang ini, belum ada satupun konsep dasar masing-masing mazhab (aliran) yang dapat diterima secara mutlak. Begitupula dengan pendapat (pandangan) para ahli hokum, belum ada seorangpun yang dapat memberikan (mengemukakan) suatu teori yang dapat dijadikan pegangan semua orang, semua negara, dimana dan kapanpun.
Akhirnya, perkembangan ilmu hukum ber-evolusi sesuai dengan poros peradaban dan kebutuhan umat manusia, yang bermuara pada kebutuhan akan suatu aturan hokum yang tidak pernah terpuaskan. Perkembangan pemikiran ilmuan hokum, senantiasa berakselerasi pada gejala alam, dorongan nurani, serta dalam pencarian model (bentuk) aturan ideal yang tidak pernah tertemukan. Akhirnya akan menggiring pada metode mencari, mencari, dan mencari dengan mempergunakan metode dan analisis ilmiah untuk memecahkan kemisteriusan nilai jati diri manusia dan alam yang tidak pernah ditemukan.

GAGASAN DASAR PEMIKIRAN RASIONALISME HUKUM
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai norma-norma dan kaidah-kaidah sosial. Di dalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup[110], sebagai pedoman (penuntun) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelaahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat.[111] Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia), dan manusia (warga negara) dengan negara.
Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara (pemerintah atau penguasa).[112] Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat,  berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat.
Norma (aturan) hukum yang menguasai dan mengatur tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi, disebut sebagai tata hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis).[113] Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan tata keteraturan dan ketertiban bagi masyarakat dalam berinteraksi. Dalam penerapannya, tata hukum tersebut dimaknai sebagai wujud kesepakatan antara warga negara (masyarakat) dengan pemerintah (penguasa), yang dibuat atau diciptakan untuk mengatur tata kehidupan sosial masyarakat. Pertanyaan dan masalah-masalah sering muncul dalam pemaknaannya. Pemaknaan yang cenderung tidak terselesaikan sampai sekarang ini, harus dibedah, dikaji, dan ditelaah secara mendalam dan dijawab sendiri oleh ilmu hukum dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal ini berkenaan dengan pertanggungjawaban kaidah ilmiah, yang berkenaan dengan keberlakuan dan penerapan hukum ditengah-tengah masyarakat.[114]
Menjawab dan menyelesaikan pertanyaan serta masalah-masalah yang muncul, tidak bisa hanya dengan argumentasi dan analisa yang sederhana, tetapi memerlukan kajian yang mendalam. Salah satunya adalah dengan memasuki pintu kajian filsafat, yang mampu memberikan alasan apa, kenapa dan darimana sesuatu diperoleh (diperkenalkan).[115]
Refleksi terhadap kajian filsafat diperlukan, karena pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah tersebut, berimplikasi terhadap keberlakuan tata hukum yang seharusnya dalam sosial kehidupan masyarakat, baik interaksi individual maupun kelompok.[116] Kajian filsafat dengan sendirinya diawali pada aspek pemikiran yang tidak mampu dijawab dalam kajian ilmu hukum pada umumnya.[117]
Jadi filsafat hukum sebagai bejana (wadah) bagi kaum juris, dalam mengapresiasikan ide dan pemikiran dalam menyelesaikan masalah-masalah dan pertanyaan yang berkenaan dengan perkembangan ilmu hukum. Sementara disisi lain, filsafat hukum sebagai dapur dan atau perapian, dalam mengolah dan menganalisis lebih lanjut masalah-masalah dan pertanyaan yang tidak dapat (belum dapat) dipecahkan atau diselesaikan oleh ilmu hukum. Sehingga tata hukum dalam keberlakuannya, betul-betul dapat berfungsi sebagai sarana dalam mengatur dan menuntun tata kehidupan social masyarakat yang ideal.
Keberlakuan tata hukum sebagai tindakan kausalitas (sebab-akibat) antara alam, agama dan manusia dalam perkembangan ilmu hukum pada masa Yunani sampai Abad VI SM. Hukum dalam masa Yunani Kuno[118], hukum dipersepsikan dengan gejala-gejala alam sekitar. Sementara pada Abad Pertengahan dengan berkembangnya Ajaran Agama (Kristiani), hukum di analogikan sebagai hukum Tuhan. Hukum berasal dari ajaran Agama, sehingga berkembang dalam doktrin saat itu bahwa hukum adalah agama, dan agama adalah hukum serta aparat hukum adalah wakil Tuhan di dunia dalam menerapkan hukum.
Perkembangan pemikiran hukum dalam Abad Pertengahan (menjelang Abad XIII-XVI),[119] banyak diwarnai oleh ketergantungan perkembangan ajaran agama. Pintu logika dan kemandirian akal manusia, terkooptasi dalam ajaran agama. Fungsi hukum di maknai sebagai sarana dalam mengatur tata pergaulan manusia, yang berasal dari doktrin alam dan agama. Tujuan hukum[120] diformulasikan untuk membimbing manusia dalam mengenali arti hidup, interaksi sesama, serta dalam hubungan yang lebih luas lagi. Sehingga konsep awal dari manusia memahami hukum, diorientasikan pada sisi keadilan dalam jiwa (roh) alam dan doktrin agama.[121]
Hukum adalah keadilan yang termanifestasikan dalam doktrin alam dan agama, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang berlaku mutlak dalam keberlakuan hukum ditengah-tengah masyarakat. Doktrin fungsi dan tujuan hukum ini, dikembangkan dalam sistem filsafat transcendental-mistis dan kesakralan religius dalam bingkai ruang metapisika. Aspek pembuktian akan keberlakuannya, senantiasa menarik diri dari sudut verifikasi akan kebenaran fakta-fakta sosial ditengah-tengah masyarakat, yang senantiasa berkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.[122] Hukum dalam keberlakuannya, tidak melibatkan apreasiasi kemampuan akal (rasio) manusia secara mandiri. Konsep hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi yang ideal dalam perkembangan doktrin ajaran Hukum Alam.[123] Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama.
Hukum dipersepsikan dengan simbol ke-alam-an dan lukisan kemutlakan religius, tanpa bisa tersentuh keutamaan dan kemandirian akan akal (rasio) manusia.[124] Stigma tujuan hukum untuk mencapai keadilan mutlak (absolute justice), kemudian dielaborasi pada sisi pencerahan pemikiran dengan mempergunakan akal dan rasio manusia.[125] Sisi pencerahan ini, berkembang pada Zaman Renaissance dengan mengutamakan kemampuan akal dan pikiran manusia, baik dalam mengenali diri maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia (termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran hukum).[126]
Memasuki Zaman Renaissansce (mulai pertengahan Abad XVII), perkembangan pemikiran hukum memasuki babakan baru, dengan berkembangnya doktrin (filsafat) Rasionalisme dan Empirisme.[127] Filsafat rasionalisme dan empirisme merupakan antithese ketidakpuasaan rasio manusia, akan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak nyata.[128]
Kemandirian akal (rasio) manusia diperkenalkan, sebagai antithesa kejenuhan akan keterkungkungan nilai abstraksi logika. Abstraksi logika manusia yang menyangkut keangkeran alam dalam dekapan pesan-pesan religius kitab suci (ajaran agama) mulai terpinggirkan. Logika manusia menuju pada nilai konkritisisme dan rasionalisme, terhadap penyelidikan makna hidup dan alam kehidupan manusia. Keterkungkungan akal (rasio) manusia dilepas dengan evolusi pikir dengan mempergunakan logika, yang berasal dari pemberdayaan akal (rasio) untuk mengenali diri dan alam semesta. Pusat kajian (penelitian) sumber-sumber ilmu pengetahuan mengalami pergeseran, dari kemutlakan alam dan doktrin agama kepada pemberdayaan kemampuan dan keutamaan akal (rasio) dan keberadaan manusia dalam mengenali jati diri dan alam semesta.
Filsafat baru ini,[129] mereduksi dan mengelaborasi sebagian konsep dasar ajaran filsafat transendental-mistis. Kemutlakan alam-religius dan keabstraksian pemikiran terpinggirkan, oleh kemampuan evolusi akal (rasio) dalam mengenali diri dan alam kehidupannya. Evolusi pikir dalam pengembangan kemampuan mempergunakan logika akal (rasio), mengiringi lahirnya filsafat empirisme, rasionalisme, idealisme, dan konkritisisme, Kemampuan logika akal (rasio) manusia dijadikan sebagai salah satu sumber, untuk memahami dan menyelidiki manusia dan alam kehidupan semesta.
Awal evolusi pikir dalam kehidupan manusia ditandai dengan lahirnya Zaman Renaissance,[130] sebagai awal pencerahan dan penyegaran rasio dalam memaknai hidup. Kajian tentang norma atau tata hukum diilhami filsafat empirisme,[131] yang menghendaki adanya suatu aturan yang nyata dan konkrit. Tujuan hukum bukan lagi semata-mata mengejar sisi keadilan yang abstrak, tetapi dielaborasi dalam mencapai suatu kepastian hukum yang tetap, nyata dan konkrit.[132]
Hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersipat tetap, yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat.[133]  Kodifikasi aturan hukum dalam bentuk tertulis, mulai diperkenankan secara resmi dalam keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat.[134]
 Hukum dijadikan sebagai roh kekuasaan dalam pelaksanaannya, karena kekuasaan tanpa adanya justifikasi dari aturan hukum yang tertulis, akan memberi dampak ketidakpercaryaan masyarakat terhadap penguasa yang ada[135] atau kekuasaan yang cenderung melahirkan tirani (kesewenang-wenangan). Sementara aturan hukum  dalam implementasinya, memerlukan kekuasaan sebagai pengawal dalam penerapannya. Setiap stigma kebijakan[136] yang dikeluarkan oleh penguasa, memerlukan landasan aturan hukum yang positif, sebagai alat paksa untuk memonopoli masyarakat dalam keterikatan.
Monopoli penguasa dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban, dijelmakan melalui kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam aturan hukum. Aturan hukum sebagai alat paksa penguasa, bertujuan untuk menata signifikansi antara interaksi  masyarakat dengan negara yang sesuai dengan cita dan tujuan bernegara.[137] Akhirnya, cita dan tujuan bernegara, diharapkan sinkron dengan makna kehidupan manusia, yang terbingkai dalam kemakmuran, keamanan, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia dalam bernegara.
GAGASAN DASAR KONSEP RASIONALISME HUKUM
Filsafat yang melahirkan pemikiran hukum, sudah mulai berkembang di Yunani pada Abad VI SM.[138] Awal dari pemikiran hukum ini, berkembang pemikiran hubungan antara hukum dan moral, yang dalam perkembangannya menyentuh perdebatan yang lebih luas antara hukum, moral, negara dan masyarakat.[139]
Gagasan pemikiran hukum, moral dan agama di Yunani (dipelopori oleh Anaximandros Heraklitos, Parmenides, Sokrates, Plato, dan Aristoteles), kemudian bergeser (masuk) ke Romawi melalui adopsi kebudayaan dan kemudian berkembang di daratan Eropah. Kemudian dari Eropah, berkembanglah (diterimalah) pemikiran hukum oleh banyak bangsa di dunia ini.[140]
Pelopor pemikiran hukum pada zaman Yunani dan kejayaan Romawi, seperti Aristoteles senantiasa menekankan filsafatnya pada aspek hukum sebagai tatanan semesta alam yang juga mengatur kehidupan bersama manusia dalam bermasyarakat. Filsafat Aristoteles ini dalam lintasan perkembangan pemikiran hukum, menjadi salah satu peletak filsafat hukum alam, yang senantiasa mengedepankan hukum alam yang didasarkan pada kodrat manusia.[141]
Setelah memasuki abad pertengahan, bersamaan dengan runtuhnya kejayaan Romawi, filsafat hukum alam yang senantiasa diletakkan pada konsepsi alam dan kodrat manusia, mengalami pergeseran nilai. Hukum Agama (khususnya agama Kristiani) turut berpengaruh dan menentukan pemikiran hukum selanjutnya dalam perkembangannya.[142] Doktrin Agama diadopsi menjadi aturan hukum, sehingga perkembangan pemikiran hukum terbelenggu dalam nilai statisme teologis, tanpa mengikutsertakan manusia sebagai subjek dalam berkreasi pikir dan ide.
Setelah berkembang sekian lama, pemikiran hukum yang mengadopsi doktrin agama, mengalami pergeseran dan kejenuhan dalam konsepsinya. Manusia berusaha mencari sesuatu hal, yang senantiasa dapat memuaskan perasaan hukum masyarakat banyak. Proses pencarian ini, mendapat tempat yang layak dengan lahirnya (memasuki) Zaman Renaissance.[143]
Zaman Renaissance sebagai alternatif pencerahan pemikiran manusia dalam perkembangan pemikiran hukum, meletakkan doktrin dan kajiannya pada Filsafat Individualisme.[144] Manusia sebagai subjek mendapatkan tempat yang layak, dalam memikirkan perkembangan ilmu hukum. Rasio dan akal diperkenankan berkreasi, disamping doktrin alam dan teologi. Dari perkembangan zaman ini, khusus dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat muncul (lahirlah) Aliran Rasionalisme.[145]
Perkembangan pemikiran hukum dalam Aliran Rasionalisme, berusaha melepaskan diri dari ikatan teologi semata. Hukum dipersepsikan sebagai suatu aturan atau ketentuan yang dikembangkan dengan mempergunakan rasio manusia. Hukum lepas dari kehendak Tuhan semata, dan yang selalu dapat di deduksikan dalam penerapannya. Metode yang dipergunakan adalah metode deduksi, yang berpangkal dari dalil-dalil tetap, bukan dari kenyataan dan pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah dan berlainan menurut waktu dan tempat.
Abad XIX dicitrakan sebagai abad perkembangan dalam evolusi pikir, dengan bertambahnya kesadaran manusia atas kekuasaan (kekuatan) akan kemampuan rasio (akal) manusia sendiri.[146] Akal (rasio) manusia lepas dari ikatan kemutlakan faham religius,  sebagai penjelmaan dari akal Tuhan (dijelmakan dalam doktrin ajaran agama). Akal (rasio) manusia dianggap dan diterima sebagai salah satu sumber dari penyelidikan ilmu pengetahuan (hukum), alam semesta dan manusia.[147]
Perkembangan evolusi pikir manusia dengan mempergunakan akal dan rasio, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari Filsuf DESCARTES.[148] Pemikiran Descartes mampu menerobos relung kegelapan perkembangan filsafat di abad pertengahan, dengan memulai dunia pemikiran yang baru dalam bidang filsafat. Dari perkembangan pemikirannya, menempatkan manusia sebagai sumber dalam meninjau hubungan manusia dengan alam semesta.
Ajaran filsafat Descartes dalam perkembangannya, dapat dipahami dalam beberapa hal, antara lain; Pertama [149]:  Titik tolak filsafat Descartes, diawali dari sesuatu kebenaran yang harus dibuktikan dari dalam dirinya sendiri. Pembuktian kebenaran ini, tidak berada diluar dari kebenaran itu sendiri.  Kebenaran itu harus benar-benar pasti dan tidak boleh diragukan, karena hal ini merupakan titik utama (dasar) dalam memulai suatu kajian filsafat. Dari titik tolak utama ini, dimulailah suatu petualangan nalar manausia, dalam membuktikan suatu itu benar yang berdasar pada pengamatan inderawi dan pengenalan bathiniah. Pandangannya dalam melihat dan meninjau alam semesta dilihat dari manusia. Manusia sebagai sumber dalam mengkaji perkambangan alam dan peradaban manusia;
Kedua [150]: Metode filsafat yang dipergunakan Descartes, dimulai dari sisi keraguan akan sesuatu kebenaran, yang dalam kajian filsafat disebut “Metode Ragu”. Metode ini berusaha meragukan apa yang dianggapnya diketahui, dan apa yang tampak padanya sebagai sesuatu yang paling tidak diragukan. Namun, metode ragu ini bukan mengandung “skeptisisme”[151] yang bisa mengaburkan makna keraguan akan kebenaran secara universal, tetapi sebagai pijakan dalam memulai pencarian tentang sesuatu kebenaran. Descartes dengan metode ragunya, berusaha menyingkap tabir keruwetan dan kekacaubalauan hubungan antara filsafat dan teologi, sebagai peninggalan ajaran hukum alam di abad pertengahan. Descartes dengan ajarannya, berusaha melepaskan kajian filsafat dari agama, serta memberikan ajaran tentang adanya Tuhan dan kekekalan manusia dengan bantuan argumen rasio filsafat manusia;
Ketiga [152]: Hasil dari penelusuran filsafat Descartes tentang kebenaran, akan bermuara pada penemuan pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dari kajian filsafat, diperoleh berdasarkan pada pengamatan inderawi dan pengenalan bathiniah. Hubungan antara keduanya merupakan satu simpul yang saling melengkapi. Pengetahuan diawali dari keraguan akan kebenarannya, kemudian dikaji dalam suatu metode penyelidikan yang sistematis, yang akhirnya sampai pada pembenaran inderawi dan pengesahan banthiniah, bahwa sesuatu itu adalah pasti kebenaran pengetahuan dan tidak dapat diragukan sama sekali mengenai kebenaran akan keberadaannya, karena kebenaran itu dimunculkan dalam dirinya sendiri. Disisi lain, ajaran filsafat Descarter merupakan peletak dasar dalam menentukan perkembangan filsafat hukum modern, yang dalam pandangan filsafatnya banyak berpengaruh terhadap ajaran filsuf lainnya. Buah pikirannya dapat dilihat konsep tentang keadaan alam, konsep perjanjian masyarakat, konsep tentang HAM, konsep hubungan antara masyarakat, agama dan negara;
Keempat: memperkenalkan ajaran pembuktian kebenaran melalui argumentasi nalar dan rasio, bahwa suatu kejelasan atau kejernihan dapat dipahami oleh setiap orang dengan akal yang sehat. Sesuatu  mungkin benar kalau dapat dibuktikan dalam pakta yang jelas dan jernih;
Kelima [153]: mengajarkan sitim filsafat yang sistimatis, serta menolak segala praduga. Filsafat sistimatis digambarkan dalam hubungan bahwa suatu dalil dari suatu sistim filsafat saling dihubungkan dengan sedemikian rupa, sehingga dalil yang satu timbul dari dalil yang lainnya. Sistim filsafat ini dibangun dalam konsep “ More Geometrico” artinya “Menurut Pola Geometri”. Manusia sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, bukan karena ketundukannya secara mutlak terhadap alam dan doktrin agama, tetapi manusia mempunyai kemampuan akal dan rasio dalam mengenali diri dan menciptakan peradabannya. Dari ajaran Filsafat Descarter turut mempengaruhi pandangan filsuf lainnya, seperti; Thomas Hobbes; J.J.Rousseau dalam menentukan hukum modern (Ajaran Perjanjian Masyarakat, Gagasan Hak Asasi Manusia).[154]
Dari perkembangan doktrin Aliran Rasionalisme sebagai suatu sistem filsafat dalam bidang pemikiran hukum, setidaknya kelahirannya di dorong oleh beberapa sebab, antara lain : Pertama ; kelahirannya disebabkan oleh berkembangnya pemikiran dalam ilmu yang memasuki Zaman Renaissance. Zaman ini dikenal sebagai salah zaman dalam perkembangan lintasan sejarah filsafat pencerahan, dimana akal dan rasio manusia mendapatkan tempat yang layak dalam penyelidikan ilmu pengetahuan dan filsafat;
Kedua : Sebagai jawaban atas kritik keberlakuan  sistem filsafat transendental-mistis, yang senantiasa dikembangkan dalam doktrin hukum alam (hukum yang diadopsi dari doktrin teologi/agama). Filsafat transendental-mistis, senantiasa memenjarakan rasio dan akal manusia dalam dekapan kemutlakan fenomena alam dan kemutlakan doktrin agama. Aliran Rasionalisme dalam perkembangannya, senantiasa mengutamakan aspek rasional manusia sebagai subjek dan fakta-fakta yang konkrit dimasyarakat;
Ketiga : adanya usaha para pemikir filsafat (khususnya di bidang hukum), untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang berdasar pada fakta-fakta empiris yang dapat diverifikasi secara ilmiah dari aspek pembuktiannya. Metode penyelidikan ilmiah ini, sejalan dengan metode yang diperkenalkan oleh Aliran Rasionalisme, yang dalam penyelidikan senantiasa mengedepankan aspek pembuktian ilmiah dan fakta, sehingga hukum yang dibuat dan diterapkan ditengah-tengah masyarakat berdasarkan dengan fakta yang ada di tengah-tengah masyarakat, serta dapat dipertanggungjawabkan dalam aspek pembuktian dan keberlakuannya.
Doktrin Aliran Rasionalisme dalam pemikiran hukum dalam perkembangannya, banyak mendapat tempat dalam pemikiran para filosof seperti Immanuel Kant. Kant sebagai salah satu penganut Rasionalisme memperkenalkan ajarannya, yang terkenal dengan nama Rasionalisme Kant.[155]
Inti ajarannya mendasarkan pada teori hukum idealistik yaitu : bahwa manusia sebagai makhluk rasional dan beretika, serta mengkaji perkembangan manusia sebagai subyek rohani dalam mengenali diri dan alam sekitarnya. Dalam mengenali diri dan alam semesta, manusia diperkenalkan pada kemampuan akal (rasio) yang dibawa semenjak manusia lahir. [156]
PERKEMBANGAN DOKTRIN ALIRAN RASIONALISME HUKUM
Perkembangan Doktrin Aliran Rasionalisme, seiring dengan alur perkembangan dalam pemikiran hukum, yang membawa hasil pada beraneka ragamnya sudut pandang para pakar dan situasi yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Ajaran Rasionalisme Kritikal sebagai salah satu hasil pengembangan dari dasar ajaran Rasionalisme, membawa pada tataran pemikiran yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan dari masalah yang ada.
Aliran Rasionalisme Kritikal dikembangkan oleh Karl Popper,[157] sebagai jawaban dalam mengembangkan pengetahuan hukum. Menurutnya, bahwa pengetahuan ilmiah harus objektif dan teoritikal, yang akhirnya merupakan penggambaran dari dunia yang dapat diamati secara inderawi. Ini sejalan dengan teori korespondensi yang melihat tentang kebenaran yang dihasilkan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Pengetahuan ilmiah adalah benar, kalau secara inderawi sesuai dengan kenyataan dapat dibuktikan dengan memakai metode deduksi, tanpa meninggalkan metode induksi dengan asas verifikasi. Untuk mengembangkan doktrinnya lebih lanjut khususnya dalam penelitian hukum, Rasionalisme Kritikal dalam melakukan penelitian, menjadikan metode deduksi dan asas falsifikasi sebagai kriterium penguji  tentang kebenaran yang ideal dari ilmu.[158] 
Ajaran Rasionalisme Kritikal,[159] memulai dengan merumuskan hipotesis-hipotesis secara deduktif pada fakta-fakta yang dapat diamati, agar timbul sebuah teori ilmiah yang objektif. Hipotesis dijadikan sebagai penunjuk jalan, yang didasarkan pada pandangan intersubjektif tentang bagaimana seharusnya penelitian itu dilakukan. Hipotesis juga berfungsi sebagai konstitutif bagi fakta yang teramati, sehingga peneliti mendapatkan aspek-aspek relevan dari kenyataan yang harus diteliti.
Usaha dalam memaham konsep dasar ajaran Rasionalisme Hukum, tidak terlepas dari sudut pandang ideolgi, aliran serta paham yang dianut. Penganut (pelopor) Rasionalisme Hukum dalam Filsafat dan Filsafat Hukum, sangat sulit menempatkannya secara pas. Hal ini disebabkan oleh sering terjadi inkonsistensi masing-masing penganut mazhab dan aliran dalam memegang teguh prinsip dasar yang dianutnya. Baik dari segi metodologis, substansi, maupun dalam aspek fungsionalnya.
Seperti dalam konsep bagaimana manusia (orang) mematuhi hukum?, dari mana norma hukum itu, sehingga bisa mengikat setiap orang?, siapa yang berhak membuat dan memberikan sanksi?, bagaiamana tujuan dan fungsi hukum yang ideal?. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sangat sulit memilah yang mana pendapat (pandangan) pakar hukum yang tepat dan aliran mana yang dapat memecahkan (menjawab) pertanyaan tersebut secara konprehensip, sehingga dapat memuaskan setiap orang, dan dapat berlaku secara universal.
Jadi dalam perkembangan ilmu hukum, yang menjadi objek analisis atau kajian dari Filsafat dan Filsafat Hukum kembali pada ungkapan, bahwa tidak ada suatu ajaran yang bersipat permanen. Permanen dimaksudkan disini adalah, bahwa konsep dasar suatu aliran (mazhab) maupun pandangan para pakar (ahli), berkembang seiring dengan perkembangan alur berpikir, lingkungan atau tempat diterapkan, kematangan kualitas analisis dan dari sudut pandang mana mereka melihat hukum itu
Formulasi thesa yang mengakibatkan antithesa pada akhirnya lahirlah sinthesa, senatiasa juga berlaku dalam perkembangan pemikiran dalam Filsafat dan Filsafat Hukum. Dari zaman purbakala sampai zaman modern sekarang ini, belum ada satupun konsep dasar masing-masing mazhab (aliran) yang dapat diterima secara mutlak. Begitu pula dengan pendapat (pandangan) para ahli hukum, belum ada seorangpun yang dapat memberikan (mengemukakan) suatu teori yang dapat dijadikan pegangan semua orang, semua negara, dimana dan kapanpun.
Akhirnya, perkembangan ilmu hukum ber-evolusi sesuai dengan poros peradaban dan kebutuhan umat manusia, yang bermuara pada kebutuhan akan suatu aturan hukum yang tidak pernah terpuaskan. Perkembangan pemikiran ilmuan (pakar) hukum, senantiasa berakselerasi pada gejala alam, dorongan nurani, serta dalam pencarian model (bentuk) aturan ideal yang tidak pernah tertemukan. Akhirnya akan menggiring pada metode mencari, mencari, dan mencari dengan mempergunakan metode dan analisis ilmiah untuk memecahkan kemisteriusan nilai jati diri manusia dan alam yang tidak pernah ditemukan.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

A G Chloros, Common Law, Civil Law and Socialist Law: Three Leading Systems of The  World Three Kinds of Legal Thought.
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral : Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Kanisius, 1990).
Abdillah, Masykuri.,  Demokrasi Di Persimpangan Makna, Respons Intelektual Muslim Indonesia-1966-1993, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1999).
Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995).
Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987).
Acton, Lord,  Essays on Freedom and Power, 1907.
Alan Ryan, The Philosophy of Social Explanation, 1978.
Alder, John, Constitutional and Administrative Law, 1st Published, (Hampshire : Macmillan Education Ltd, 1989).
Alexander Larry (ed), Contitutinalism: Philosophical Foundations, (London : Cambridge University Press, 2001).
Alfons Taryadi Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper, 1989.
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah, 1989.
Alfred North Whitehead, science and the Modern World, 1926.
Algra, Mr. NE., Mr. H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, SH, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, SH, Kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, (Jakarta : Binacipta, 1983).
Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ali, Achmad, 2002,, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta.
Alrasid, Harun, Kuliah-Kuliah Ilmu Negara dari Prof. Mr. Djokosutono, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985).
Aman, Alfred C. & William T. Mayton, Administrative Law, (USA : West Publishing, 1993).
Anderson, Benedit ROG., Gagasan Tentang Kekuasaan dan Wibawa, (Jakarta : Sinar Harapan, 1986).
Andrews, William, Constitution and Constitutionalism : New Perspectives in Political Science, Third Edition (London : Van Nostrand Company, LTD., 1968).
Apeldoorn, L. J. Van, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Arry Mth. Soekowathy, Orientasi Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Philosophy Press, 2001).
Assaat, Hukum Tata Negara Republik Indonesia Dalam Masa Peralihan, (Jakarta : Bulan Bintang-Cet.Ke-2, 1951).
Asshiddigie, Jimly , Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta : Pusat Studi HTN dan HAN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002).
Asshiddigie, Jimly,  Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII-press, 2004).
Asshiddigie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI-Pusat Studi HTN FH-UI, 2004).
Asshiddigie, Jimly, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, (Jakarta : The Habibie Center, 2001).
Asshiddigie, Jimly, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005).
Asshiddigie, Jimly., Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, 1985.
Atmosudirdjo, Prajudi , Hukum Administrasi Negara, Cetakan Keempat, (Jakarta : Ghalia Indonesia-, 1981).
Atmosudirdjo, Prajudi, Konstitusi Soviet, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986).
Attamimi, A. Hamid S., Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Dies Natalies PTIK ke-46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 17 Juni 1992.
Attamimi, A. Hamid S., Teori Perundang-Undangan Indonesia,  Suatu Sisi Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Mencerminkan, Pidato diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta, pada Tanggal 25 April 1992.
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta : UI-Press, 1995).
Aziz, Abdul & David D.Arnold, Decentralized Governance in Asian Countries, (London  Sage Publication, 1996).
Bachrach, Peter dan morton S. Baratz.,”The Two Faces of Power”,American Political Science Review. Volume 56, 1962.
Bachriadi, Dianto.,  Merana ditengah Kelimpahan, (Jakarta : ELSAM, 1998).
Banovets, James M., Managing Local Government, Cases in Decision Making, Municipal Management Series, International City Management Association,  2nd  (Washintong : Printed, 1994).
Baradat, Leon P., Political Ideologies : Their Origin and Impact, (Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc.. 1979).
Barendt, Eric, An Introduction to Constitutional Law, (New York : Oxford Uni.Press, 1998).
Barnet, Hilaire, Constitutional & Administrative Law, Fifth Edition, (London, Cavendish Publishing Limited, 2004).
Barry, Brian (ed) Power and Political Theory : Some European Perspectives (London, John Wiley, 1976).
Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Pengantar Metode dan Sejarah Perkembangan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992).
Basah, Sjachran, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Orasi Ilmiah, diucapkan pada Dies Natalies XXIX Universitas Padjajaran, Bandung, pada Tanggal 24 Desember 1986.
Basic Facts About The United Nations, 1989.
Bennett, Robert J. (ed), Decentralization Local Governments and Markets, (Oxford : Clarendom Press, 1990).
Berger, Mooroe., Theodore Abel dan Charles H. Page(eds), Freedom and Control in Modern Society 1954.
Bierstedt, Robert, “An Analysis of  Social Power”, American Sociological Review. Volume 15, Desember 1950.
Birch, Anthony H., The Concepts and Theories of Modern Democracy, (New York : Routledge, 1997).
Bix, Brian, 1999, Jurisprudence : Theory And Context-Second Edition, Sweet And Maxwell, London.
Black, Donald, 1976, The Behavior of Law, Academic Press, Inc, New. York.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (USA : West Publishing, 1991).
Bodleander, M.L., Politea-Groate Mannen Overstaat en Maatschappij, (Amsterdam, Uitgevers maatschappij Elsevier, MCMXXXXX).
Bollen, Kennet A., Political Democracy its Consequences and Concomitants, (London, Transaction Publisher, 1993).
Bouger, Masalah-Masalah Demokrasi, (Jakarta :Yayasan Pembangunan, 1952).
Bratakusumah, Deddy Supriady., Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta : Gramedia, 2002).
Brewers, Allan R. – Carias, Judicial Review in Comparative Law, (London : Cambridge University Press, 1989).
Brian Bix, Jurisprudence : Theory and Context (London : Sweet & Maxwell, 1991.
Bromley, Daniel W., Economic Interest and institutions : The Conceptual Foundation of Public Policy, 1st Published (New York : Basil Blackell, 1989).
Bruggink, J.J.H., 1996., Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan Arief Sidharta. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bruggink, JJH./alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1966).
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999).
Budiardjo, Meriam , Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1980).
Budiardjo, Meriam.,  Masalah Kenegaraan, (Jakarta, Gramedia, 1975).
Budiman, Arief.,  Negara dan Pembangunan, Study Tentang Indonesia dan Korea Selatan, (Jakarta : Yayasan Padi Kapas, 1991).
Burki, Shahid Javed., Guilermo E. Perry, William R. Dilinger, 1999, “Beyond The Centre : Dcentralizing The State”, The World Bank.
Burns, Dany, (et.al), The Politic of Decentralisation revitalising local democracy : Revitalising Local Democracy, 1st, (Houndmills : The Mcmillan Press Ltd. 1994).
Burns, James Macgroger., J.W. Peltason, Thomas E.Cronin, Government by the People, (London : Prentice-Hall International , Inc., 1978).
Capelletti, Mauro., Judicial Review in the Contemporary World, (New York, The Balbs-Merrill Company, Inc., 1971).
Carter, M dan John Herz, Government and Politic in the Twentieth Century, Chapter II, (New York : Washintong, F. A. Prager, 1973).
Cheema, G. Shabbir., John R. Nellis, Dennis A Rondinelli, “Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience”, (Washington D.C. : World Bank Staff Working Papers, 1983).
Chemerinsky, Edwin.,  Constitutional Law Principles and Politics (New York : Apen Law & Business, 1997).
Cohen, John M. & Stephen B. Peterson, Administrative Decentralization : Strategis Developing Countries, (Connecticut : Kumarian Press, 1999).
Cohen, Morris R., Law and The Social Order : Essays in Legal Philosophy, (USA : Transactional Books, 1982).
Colin, Mac Andrews., dan Ichlasul Amal , Hubungan Pusat-Daerah Dalam Pembangunan, (Jakarta : Rajawali, 1993).
Costas Douzinas, Ronnie Warrington, Shaun McVeigh, Postmodern Jurisprudence, (London : Routledge, 1991).
Couwenberg, S.W., Westers Staatsrecht als Emancipatie Proces, (Samson, Alphen aan den Rijn, 1977).
D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983).
Dahl, Robert A.,  Who Governs, (New Haven, Yale University Press, 1961).
Dahl, Robert A., Modern Political Analysis (New Delhi, Prentice Hall of India, 1978).
Daland, Robert T., (et.all), Comparative Urban Research : The Administration and Politics of Cities, (Beverly Hills : Sage Publication, 1969).
Damian, Eddy (ed.), Rule of Law dan Praktek Penahanan di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1968).
Darji Darmodihardjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Mengapa Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1995). 
David, Rene and John E.C. Brierley, Major Legal System in the World Today, An Introduction to the Comparative Study of Law, Third Edition, (London, Stevens & Sons, 1985).
Davies, Howard dan David Holdcooft, 1991, Jurisprudence : Text And Commentary, Butterworths, London.
DC Philips, Holistic Thought in Social Science, 1988.
Denxin, Norman K. and Yvonna S. Lincol (eds), Handbook of Cualitative Research, (United State of America, Sage Publication Inc, 1994).
Der, C.W. van and A.M. Doner , Handboek van het Nederlance Staatsrecht, (Zwolle, 1989).
Dias, R.M.M, 1976, Jurisprudence, Butterworhs, London.
Dicey, A.V., An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, ‘Introduction’, by E.C.S.Wade, 10th edn., (London, 1973).
Dietze, Gottfried,  Two Concepts of Rule of Law, (Indianapolis, Liberty Fund Inc., 1973).
Don C. Gibbon, Society, Crime and Criminal Career, Third Edition, Englewood: Prentice Hall Inc., 1973.
Duguit, Leon.,  Traite de Droit Constitusional, (Paris, 1923).
Dupre, J. Stewfan, Post War Fiscal Issues In Cxanada to Publixc Policy, Vol-VII, (Harvard : Friewdrixch and Galbraith, 1956).
Dworkin, R.M, 1977, The Philosophy Of Law, Oxford University Press, London.
Easton, David,  A System Analysis of Political Life (New York :  John Wiley & Sons, 1965).
Easton, David., ”Limits of the Equilibrium Model in Social Research”, Chicago Behaviorial Science Publication, No. 1.
Edgar Bodenheir, Jurisprudence : The Philosophy and Method of the Law, (USA : Harvard University Press, 1978).
Ehrman, Henry W.,  (ed.) Interest Groups of Four Continents, 1958..
Eisenstadt, S.N. (ed.). Max Weber  on Charisma and Institution Building (Chicago : University of Chicago Press, 1968).
Elazar, Daniel J. (ed), Federal System of The World : A Handbook of Federal, Confederal and Autonomy Arrangements, (London : Longman Group UK Limited, Westgate House, 1991).
Elster, John & Rune Slagstad, Constitutionalism and Democracy, (London : Cambridge University Press, 1997).
Euleau, Heinz., Samuel J. Elserveld and Morris Janowits, Political behavior: A. Reader in Theory and Research, 1959.
Expert Group on Environment Law of The World Commission on Environment and Development, Environment Protection and Sustainable Development 1986.
F.C. von Savigny. Of the vocation of Our Age for Legislation and Jurisprudence, terjemahan Hayward, 1831.
F.J. Stahl dikutip oleh H. Rommen. The Natural Law.
Fauzi, Noer.,  Petani dan Penguasa, (Yogyakarta : KPA-INSIST, Pustaka Pelajar, 1999).
Finch, John, 1974, Introduction To Legal Theory, Sweet dan Maxwell, London.
Finer, S.E., Comparative Government, (London, Pinguin, 1978).
Finkelstein, Lawrence S., The Indonesiaan Federal Problem, Facific Affair, XXI/3, September 1951.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, yogyakarta: Kanisius, 1989.
Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System (A Social Science Perspective), Russel Sage Foundation, New York.
Friedmann, W., Legal Theory, (London, Steven & Sons Limited, 1960).
Friedmann, Wolfgang, 1970, Legal Theory, Columbia University Press, New York.
Friedmann, Wolfgang, 1993, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I,II,III), terjemahan Moh. Arifin, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Friedmann, Wolfgang, 1994, Introduction To Jurisprudence-Sixth Edition, Sweet dan Maxwell, London.
Friedrich, Carl C., Constutional Government and Democracy : Theory and Practice in Europe and America, 5th ed, (Weltham Mass : Blaidsdell Publishing, 1967).
Friedrich, Carl Joachim, An Introduction to Political Theory (New York Harper and Row, 1967).
Friedrich, Carl Joachim, The Philosophy of Law in Historical Perspective, (Chicago, The University of Chicago Press, 1963).
G. Radbruch, Rechtsphilosophie, (Stuttgart : Koehler Verlag, 1950).
G.E. Moore dalam Principia Ethica, (1903).
G.W. Paton, A Text Book Of Jurisprudence, terjemahan Arief, S.S.T, Pustaka Tinta Mas, Surabaya
Gautama, Sudargo, Pengertian Negara Hukum, (Bandung, Alumni, 1983).
Geller, Ernest., Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan, (Bandung : Mizan, 1994).
Georg Schwarzenberger, Power Politics, 1951.
George P. Fletcher, Basic Concepts of Legal Thought, (New York : Oxford University Press, 1996).
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, 1980.
Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia (jilid III), (Jakarta : Gunung Agung, 1967).
Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia (jilid I), (Yogyakarta : Liberty, 1967).
Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia-Jilid II, (Yogyakarta : Liberty, 1993).
Gierke, Natural Law and The Theory of Society.
Goede, B. de.,  Beeld Van het Nederlands Bestuursrecht, (Vuga Uitgeverij, Gravenhage, 1986).
Goodin, Robert E. & Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of POLITICAL SCIENCE, (New York : Oxford University Press, 1996).
Greenberg, Douglas (et. All), Constitutionalism and Democracy : Transtitions in the Contemporary World, (New York : Oxford University Press, 1993).
Gresham M. Sykes, Criminology, New York; Harcourt Brace Javanovic Inc..
Gresham M. Sykes, Criminology, New York; Harcourt Brace Javanovic Inc.
Gunawan, Arlina, Wawasan Dasar Metodologi Penelitian, (Bandung, 1985).
H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979).
Haan, P. de - Th. G. Druksteen, R. Fernhout, Bestuursrecht in de Sosiale Rechtsstaat, (Deel I, Kluwer-Deventer, 1986).
Hadjon, Philipus M., Pengantar Hukum Indonesia, (Yokyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994).
Hadjon, Philipus, M, Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur, (Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Bogor, 1994).
Hadjon, Philipus., 1993, Penelitian Hukum Normatif, FH-Airlangga, Surabaya.
Hagopian, Mark N., Regimes Movement and Ideologis, (New York : Longman, 1978).
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995).
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, diterjemahkan oleh Max Knight dari Bahasa Jerman (Berkeley : University of California Press, 1967).
Haque, Rod-Martin Harrop, Comparative Government and Politics An Introduction, 5th, (New York : Palgrave, 2001).
Harold J. Laski, Pengantar Ilmu Politika, 1952.
Hart, H. L. A, 1962, Law, Liberty And Morality, Stanford University Press, California.
Hart, H. L. A, 1979, The Concept Of Law, Oxford at The Clarendon Press, London.
Hart, H. L. A., The Concept of Law, (London : The Clarendon Press, 1979).
Hart, Joseph.,  The Authority of Law (Oxford : Oxford University Press, 1983).
Hartono, Sunaryati, Apakah the Rule of Law, (Bandung, Alumni, 1976).
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Bina Aksara, 1985).
Hector Hawton, Philosophy for Pleasure, An Adventure In Ideas, 1958.
Heinrich A. Rommen, Natural Law : A Study in Legal and Social History and Philosophy, (Indianapolis : Liberty Fund, Inc., 1998).
Heriyanto, Deddy., (penyunting), Pembangunan Tanpa Perasaan (evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Orde Baru), (Jakarta : ELSAM/Pustaka Pelajar, 1999).
Hikam, A.S. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indoensia, (Jakarta : Erlangga, 1999).
Holdsworth, W, A History of English Law, (London, 1979).
Howard Davies dan David Holdcroft, Jurisfrudence : Texts and Commentary, (London : Butterworths, 1991).
Hugh D. Barlow, Introduction to Criminology, Boston; Little Brown and Company, 1984, halaman 9. Dikutip dari Max Weber , Law in Economy and Society, translate and ed. by Max Rheinstein, Cambridge, Mass.: harvard university press, 1954.
Hugh D. Barlow, Introduction to Criminology, Boston; Little Brown and Company, 1984.
Huijbers, Theo, 1992, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah-Cetakan Keenam, Kanisius, Yokyakarta.
Hujbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982).
Hunter, Floyd, community Power  Structure (University of North Carolina Press, 1953).
Huzar and Stevenson, Political Science An Outline, 1955.
Hyden, Goran, No Short Cuts to Progress : African Development in Perspective, (London : Heinemann, 1983).
Iswara, F., Pengantar Ilmu Politik, (Bandung : Dhiwantara, 1964).
J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.
Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Philosophy of Law : An Introduction to Jurisprudence, (USA : Westview Press, 1990).
Jellinek, George.,  Algeimene Staatslehre, (Berlin, 1914).
Jennings, Sir Ivor, The Law and the Constitutions, (London : Univ. of London Press, 1956).
Jha, S.N. dan P.C. Mathur, Decentralization and Local Politics, 1st Published, (New Delhi : Sage Publications India Ltd., 1999).
Joeniarto, R., Perkembangan Pemerintah Lokal, (Bandung : Alumni, 1979).
John Arthur dan William H. Shaw, Reading in the Philosphy of Law ( New Jersey : Prentice Hall, 1993).
John Stuart Mill, On Liberty-Perihal Kebebasan, Jakarta: Yayasan Obor, 1996.
Kahin, George Mc. Turnan, Nationalism And Revolution In Indonesia, (Ithaca : Cornell University Press, 1970).
Kaho, Josep Riwu.,  Prospek Otonomi daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
Kant 1968 (Grundlegung zur Metaphysik der Sitten).
Kant, The Moral Law (Groundwork of the Metaphysic of Morals), diterjemahkan oleh H.J Paton).
Kartasapoetra, R.G.,  Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987).
Kattsoff, Louis O, 1986, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Keller, Suzanne, ”Elite”, International Encyclopedia of the Social Sciences (New York, The Macmillan Co., and The Free Press, 1968).
Keller, Suzanne, Beyond the Ruling Class: Strategic Elites in Modern Society (New York : Random  House , 1963).
Kelsen, Hans Pure Theory of Law, (Berkley : University of California Press, 1978).
Kelsen, Hans, 1978, Pure Theory Of Law, University Of California Press.
Kelsen, Hans, 1995, Teori Hukum Murni (alih Bahasa Somardi), Rimdi Press, Jakarta.
Kelsen, Hans., General Theory of Law and State, (New York : Russell & Russell, 1974).
Koesnadi, Moch. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PSHTN-FH-UI, 1983).
Koesnardi, Moch. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta : Gaya Media, 1988).
Koesoemahatmadja, RDH., Pengantar Ke-Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Bandung : Bina Cipta, 1979).
Kompas, Masyarakat Versus Negara (Paradigama Baru Membatasi Dominasi Negara), (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 1999).
Kortmann, Constanijn A.J.M. & Paul P.T. Bovend Eert, Dutch Constitutional Law, (The Haque : Kluwer Law Int., 2000).
Koswara, E, Otonomi Daerah : Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, (Jakarta : Yayasan PARIBA, 2001).
Kranemburg, Algeimene Staatsleer,  (Willink & Zoon NV, Haarlem, 1955).
Kranemburg, Inleiding in de Vergelijkende Staatsrechts Wetenschap, (H.D. Tjeenle Willink & Zoon N.V. Harlem, 1950).
Kuhn, Thomas S., 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Terjemahan Tjun Surjaman, CV.Remadja Karya, Bandung.
Kusnardi, Moh. & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Sinar Bakti, 1980).
Kusnardi, Moh. & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 1988).
Kusnardi, Moh., & Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, (Jakarta : Gramedia, 1988).
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung, Bina Cipta, tanpa tahun).
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung : Binacipta, 1986).
Kusumaatmadja, Mochtar, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, 1995.
Langeveld, Menuju Kepemikiran Filsafat, 1955.
Laski, Harold J.Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta : PT. Pembangunan, 1959).
Laswell, Harold D. & Abraham Kaplan, Power and Society, 1950.
Laswell, Harold D., Politics: Who GetsWhat, When and How, 1958.
Lawrence M. Friedman, The Legal System, 1975.
Leach, Steve - Howard Davis, Enabling or Disabling Local Government, (Philadelphia : Buckingham, 1996).
Leopold Pospisil, The Structure of a Society and its Multiple Legal Systems, 1975.
Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,  (Jakarta : LP3ES, 1990).
Leyland, Peter & Terry Woods, Administrative Law, Third Edition (London : Blaclstone Press Limited, 1999).
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung : Remadja Rosdakarya, 1993).
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985).
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988).
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985).
Linz, Juan J., “Democracy, Multinationalism, and Federalism”, Makalah, yang disampaikan dalam “International Conference yang diterima Towards Structural Refores For Democratization in Indonesia. Problems and Prospects” yang diselenggarakan oleh Center for Democracy, (Jakarta : 12-14 Agus 1998).
Lipset, Seymour Martin, Political Man : The Social Bases of Politics, (Bombay :  Vakils, Feffer and Simons Private Ltd., 1069).
Lively, Jack & Adam Lively, Democracy In Britain : A Reader, (Cambridge : Maxwel, 1994).
Lloyd, Dennis, 1994, Introduction To Jurisprudence-Sixth Edition, Sweet And Maxwell, London.
Locke, John, Two Tretises of Civil Government, (Cambridge University Press, 1998).
Locke, John., Two Trestises of Government, (Peter Laslett, ed., Cambrigdge, 1967).
Loewenstein, Karl., Political Power and the Govenmental Proses, 2end ed, (Chicago and London, 1965).
Logman, J.H.A., Staatsrecht van Nederlands Indie, (Uitgeverij W. van Hoeve-S-Gravenhage, NV. Maatschappij Vokink, 1974).
Logmann, J.H.A., Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht, (Universitaire Pers, Leiden, 1948); terj. Makkatutu dan J.C.Pangkerego, “Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif”, (Jakarta : Ichtiar Baru – van Hoeve, 1975).
Lord Lloyd, Introducrtion to Jurisprudence-Third Edition, (London : Steven & Son, 1972).
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986).
Lubis, Solly , Ilmu Negara, (Bandung : Alumni, 1981).
Lubis, Solly,  Asas-Asas Hukum Tata Negara, (Bandung : Alumni, 1978).
Lung-chu Chen, An Introduction To Contemporary InternationalLaw, 1989.
Lunshof, H.R., Welzijn, Wet, Wetgever, (W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1989).
M. Busyro Muqoddas dkk (ed), Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, 1992.
Maass, Arthur. (Ed),  Area and Power : A Theory of Local Government, (Glencoe, Illinois : The Free Press, 1959).
Mac Iver, Negara Modern, 1980.
Mac Iver, R. M., The Web of Government, (New York : Macmillan, 1951).
Mahardika, Timur, Tarik Ulur Relasi Pusat – Daerah : Perkembangan Pemerintahan Daerah dan Catatan Kritis, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2000).
Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan (Dasar-Dasar dan Pembentukannya), (Kanisius : Yogyakarta, 1998).
Martin, Roderick, The Sociology of Power (London, Routledge and Kegan Paul, 1977).
Maryanov, Gerald S, Decentralization in Indonesia as A Political Problem, Interim Report Series Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Department of Far Eastem Studies, (New York-Ithaca : Cornel University, 1958).
Marzuki, Laica., “Himpunan Bahan Kuliah” (Program Pascasarjana di Universitas Muslim Indonesia Makassar-Sulawesi Selatan, 1997).
Marzuki, Laica., Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Buku Kesatu, (Jakarta, Sekjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006)
Matutu, Mustamin Dg, (Dkk), Mandat, Delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2004).
Mawhood, Philip (ed), Local Government in tthe Third World : The experience of Tropical Africa, (London-UK. Wiley : Chichester, 1983).
Max Weber , Law in Economy and Society, translate and ed. by Max Rheinstein, Cambridge, Mass.: harvard university press, 1954.
Mayo, Henry B, An Introduction to Democratie Theory, (New York : Oxford University Press, 1960).
Melian, Sobirim, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, (Yogyakarta : UII Press, 2001).
Mertokusumo, Sudikno dan A.Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993).
Meuwissen, D.H.M., Elementen van Staatsrecht, (Zwolle, Tjink Willink, 1975).
Milan Bulajic, Principles of International Development Law, 1986,
Miles, Matthew B. & A.Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, diterjemahkan Tjetjep Rohendi,  (Jakarta : UI, 1996).
Mills, C. Wright, The Power Elite, 1965.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 2000).
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Naisonal, (selanjutnya disebut Mochtar III), 1976.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (selanjutnya disebut Mochtar II), 1986.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1982.
Mochtar Kusumaatmadja, Tradition and Change in Developing Countries, 1991.
Moedjanto, G., Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1987).
Moeljanto, G, Pax Nederlandica Sampai NKRI, (Yogyakarta : Univ. Sanata Dharma, 2003).
Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999).
Montesquieu, De L’Esprit  des Lois, Vol. I, Book XI ch.4, (G.Truc, ed., Paris, 1949).
Montesquieu, The Spirit of the Law, trans. by Thomas Nugent, (Hafner Press, New York).
Moore, Jr., Barrington, Political Power and Social Theory, 1958.
Morris L. Cohen, Legal Research in A Nutshell, 1971.
Mubyarto, Hubungan Ekonomi Keuangan Pusat-Daerah 1981-1991, Makalah, Seminar “Refleksi Akhir Tahun Kehidupan Sosial Ekonomi, Politik dan Budaya Indonesia, LIPI, Jakarta, 1992.
Muslimin, Amrah, Aspek Hukum Otonomi Daerah 1903-1978, (Bandung :  Alumni, 1978).
Mustopadidjaya, Paradigma-Paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan, dalam LAN RI.
Muthalib, M. A. dan Mohd. Akbar Ali Khan, Theory of Local Government, (New Delhi : Sterling Publisher Private Limited, 1982).
N.E.Algra, et.al, Mula Hukum, (Jakarta : Bina Cipta, 1983).
Nagel, Jack H., The Discriptive Analisis of Power, (New Haven : Yale Univ. Press, 1975).
Naisbitt, John., Megatrends–Ten New Directions Transforming Our Lives, (London & Sidney : Futura Macdonald & Co, 1984).
Nico Ngani,”Konsep Perbuatan Baik Dan Buruk Dalam Sistem Nilai Ideal (katolik) Dan Pengaturannya Dalam Hukum Pidana”, disampaikan dalam seminar Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Perbaruan Hukum Pidana Indonesia, Fak. Hukum UII, 15 Juli 1993.
Noer, Deliar.,  Pemikiran Politik Di Negeri Barat, (Jakarta : Mizan, 1996).
Norbert Wiener, The Human Use of Human Being Cybernetics and Society, 1950.
Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1970).
Nugraha, Safri (dkk), Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Badan Penerbit FH-UI, 2005).
Oersman, Oetoyo dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta, BP-7 Pusat, 1992).
Osborne, David & Ted Gaebles, Reinventing Government, (Boston : Patricc Book, 1992).
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, 1991.
Parsons, Talcott “The Distribution of Power in American Society”, World Politics, 1957.
Parsons, Talcott,  The Social System, 1951.
Parsons, Talcott, Sociological Theory and Modern Society (New York, Free press, 1967).
Paton, George Whitecross, 1979, A Text Book Of Jurisprudence (terjemahan Arieeff, S-Jilid I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Peters, A.A.G. dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial. Buku Text Sosiologi Hukum, Buku I, (Jakarta : Sinar Harapan, 1988).
Phillips, O. Hood & Paul Jackson, Constitutional and Administrative Law, Eighth Edition, (London: Sweet & Maxwell Limited, 2001).
Pide, Mustari, Kedudukan Kepala Daerah Tingkat II Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Disertasi, (Bandung, Universitas Padjajaran, 1997).
Pierre, Jon dan B.Guy Peters, Governance, Politics and the State, 1st, (New York : Published St. Martin’s Press, 2000).
Poedjawijatna, Tahun dan Pengetahuan, 1983.
Poerbopranoto, Koentjoro, Sistem Pemerintahan Demokrasi, (Bandung, Eresco, 1987).
Pot, Van der – Donner, Bewerkt door L.Prakke, met mederwerkin van J.L.De Reede en G.J.M.van Wissen, Handboek van Het Nederlandse Staatsrecht, (Zwalle, W.E.J.Tjeenk Willink, 1989).
Pound, Rouscoe,  An Introduction to the Philosophy of Law, (New Brunswick & London  : Transaction Publisher, 1999).
Pound, Rouscoe, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, (New Haven-London, Yale University Press, 1957).
Pringgodigdo, H.A.K., Tiga Undang-undang Dasar, (Jakarta, Pembangunan, 1981).
Purwa Hadiwijoyo, 1990: 14-16). “Konsep Perbuatan Baik dan Buruk Dalam sistem Nilai Ideal (katolik) Dan Pengaturannya Dalam Hukum Pidana”, disampaikan dalam seminar Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia, Fak. Hukum UII, 15 Juli 1993.
Puspa, Yan Pranadya, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1977).
R. M. Dworkin, The Philosophy of Law (New York : Oxford University Press, 1977).
R.M. M. Dias, Jurisprudence, (London : Butterworhs, 1976).
Rahardjo, Satjipto 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional-Cet.I, (Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1975).
Rahardjo, Satjipto.,  Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1986).
Rani, Faisal A., Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum, Disertasi, (Unpad, Bandung, 2002).
Rapar, JH., Filsafat Politik Augustinus, (Jakarta : Rajawali Press, 1989).
Rasjidi, Lili, 1985, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung.
Rasjidi, Lili, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi, Lili,1988, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?-Edisi Kedua, Remadja Karya, Bandung.
Raz, Joseph, “The Rule of Law and its Virtue”, (Law Quarterly Review, 1977).
Raz, Joseph.,  The Consept of The Legal System, an Introduction to The Theory of Legal System, (Oxford : Clarendom Press, 1978).
Riant Nugroho D, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia, 2001).
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta : Bina Aksara, 1988).
Rodee, Carlton Clymer (et.all), Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta : Rajawali Press, 1988).
Roestandi, Achmad, 1987, Responsi Filsafat Hukum-Cetakan Kedua, Armico, Bandung.
Roscoe Pound, Tugas Hukum 1965.
Rousseau, J.J., Du Contract Social, (Ronald Grimsley, ed., Oxford, 1972), Book I.
Roy, R.Crince Le,  De Vierde Macht, alih bahasa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unair, Surabaya.
Safran, William & Ramon Maiz, “Identity and Territorial Autonomy in Plural Societies”, (London : Frank Cass Publisher, 2000).
Sahovic, Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Cooperation, 1972.
Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Penerbit : Rineka Cipta, Jakarta.
Sally Falk Moore,Law as Process an Anthropological Approach, 1978.
Samidja, Ilmu Negara, (Bandung : Armico, 1989).
Saragih, Bintan R., Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta : Perintis Press, 1985).
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1982).
Saxe Commins and Roebrt N. Linscott, The Philosophers of Science, 1954.
Scheltema, M, De Rechtsstaat Herdacht, (W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1989).
Schiller, A. Arthur.,  The Formation of Federal Indonesia, (Bandung : W.Van Hoeve, 1965).
Schmid, JJ. Von (penerjemah Wiratno dkk), Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta : Pt. Pembangunan, 1986).
Scholten, Paul, Verzamelde Geschriften, (Zwoll, W.E.J.Tjeenk Willink, Deel I, 1949).
Schwarzmantel, John, The State in Contemporary Society: An Introduction,  (London : Harvester Wheatsheaf, 1994). 
Scmith, Brian C., Decentralization : the territorial dimension of the state, (London : George Allen & Unwin, 1985).
Sekjen DPR-MPR RI, Laporan Pertanggungjawab Presiden di Depan Sidang Paripurna (Sidang Umum) DPR/MPR setiap akhir PELITA atau Masa Jabatan Presiden, mulai Pelita I sampai Pelita VI.
Setiardja, Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral, Kanisius, Yogyakarta.
Shah, Anwar & Zia Qureshi, 1994, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia : Issues and Reform Options, World Bank Discussion Paper, Washintong DC.
Shah, Anwar., dan Theresa Thompson, Implementing Decentralized Local Government : A Treacherous Road With Potholes, Detours and Road Closure; Prepared for “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia”? A Conference Sponsored by The International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studis, Georgia State University, Atlanta, May 1-3, 2002.
Sidharta, Arief., dkk (editor), Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak, (Bandung : Citra Aitya Bakti, 1996).
Situmorang, Sodjuangon., Model Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, Disertasi, (Jakarta : Fakultas Ilmu Sosial Politik-Program Pascasarjana-Universitas Indonesia, 2002).
Sjafruddin, Ateng, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, (Bandung : Bandung Sumur Press, 1973).
Smith, B.C., Decentralization : The Territorial Dimension of The State, (London : Asia Publishing House, 1985).
Soedjatmoko, Etik Dalam perumusan Strategi Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1977.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu pengantar, 1987.
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, 1984.
Soetiksno,  Filsafat Hukum, Cet. 5,  (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986).
Soetiksno, 1976, Filsafat Hukum (Bagian 1 dan 2-Cetakan Kelima), Pradnya Paramita, Jakarta.
Sofian Effendi, paradigma Pembangunan dan Administrasi Pembangunan, dalam LAN RI, Laporan Temu Kaji dan Peran Ilmu Administrasi dan Manajemen Dalam Pmebangunan, 1988.
Stacey, Roger & John Oliver, Public Administration : The Political Environment, (London : Macdonald and Evans, 1980).
Stoker, Gerard, The Politics of Local Goverment-Second Edition, (London : Macmillan Education Ltd., 1991).
Stoker, Gerry dan Richard Batley (edt), Local Government in Europe, 1991.
Strausz, Robert -Hupe, Power and Community, 1956.
Strong, C. F. Modern Political Constitution, (London : Sidswick & Jaclison Limited, 1960).
Sudargo Gautama, pengertian Tentang Negara Hukum, 1973.
Sumaryati Hartono, In Search of New  Legal Principles, 1982.
Sunarjati Hartono, Apakah The Rule of Law itu?, 1982.
Suny, Ismail., “Upaya Mewujudkan Demokrasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasca Proklamsi 17 Agustus 1945”, Makalah, Disampaikan Pada Seminar Hukum Dalam Konteks Perubahan UUD 1945, Kerjasama BP-MPR dengan Fakultas Hukum UI, Bandar Lampung, 24-26 Maret 2000.
Surianingrat, Bayu, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisis (Jilid I), (Jakarta : Dewaruci Press, 1981).
Suriasumantri, Jujun S, 1993, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta : Gramedia, 2001).
Suwirjadi, Teori dan Praktek Tatanegara,  (Jakarta : Pustaka Rakyat, 1961).
Taryadi, Alfons, 1991, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R.Popper, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Theberge, Leonard J., The Judiciary In a the Democratic Society, (Lexington Books, Lexington, Massachussetts, 1979).
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992).
Thomas S. Kuhl, Peranan Paradigma Dalam Revolusi Sains, 1989.
Thompson, Brian, Constitutional & Administrative Law, Third Edition, (London : Blackstone Press Limited, 1997).
Tim Lapera, Otonomi Versi Negara, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama-Yayasan Lapera Indonesia, 2000).
Tomasic, Roman, The Sociology of Law, (London : Sage Publication, 1978).
trecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983).
Tresna, R., Bertamasya Ke-Taman Ketatanegaraan, (Bandung : Dibya, tanpa tahun).
Triepel, Heinrich, Delegation Und Mandat Im-offeentlichen Recht, (Stuttgart Und Berlin : 1942).
Trumman, David B., The Government Process A Study of Public Opinion and Interest Groups, 1951.
Turner, Mark & David Hulme, “Governance, Administration and Development”, (New York : MacMillan Press Ltd., 1997).
United Nationa, Basic Facts About United Nations, 1989.
United State Information Agency, What is Democracy, 1999.
Utama, Prabawa, Pemerintahan di Daerah-Cet.I, (Jakarta : Indo Hill-Co, 1991).
Utomo, Warsito., Kemandirian Daerah dalam Perspektif Otonomi dan Desentralisasi Fiskal, Makalah Diskusi Panel, Kerjasama USAID dan FE - UGM, 12 April 1999, Yokyakarta.
Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983).
Utrecht, E dan Moh. Saleh Djindang, 1982, Pengantar Dalam Hukum Indonesia-Cetakan Kesepuluh, Ichtiat Baru, Jakarta.
Utrecht, E dan Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta, Ikhtiar Baru, 1983).
Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta, Ichtiar Baru, 1990).
Valkenburgh, P,  Inleiding tot de Politicologie : Problemen van Maatschappij en Macht, (Amsterdam, 1968).
van Peursen, Strategi Kebudayaan, 1976, hal. 9.
Van Pursen, C.A., 1989, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Terjemahan J.Drost, PT.Gramedia, Jakarta.
Vollenhoven, C. van.,  Staatsrecht Overzee, (H.E. Stenfert Kroeses Uitgevers – Maatschappij N.V., Amsterdam, 1934).
W. Friedmann, Legal Theory (London : Stevens & Sons Limited, Third Edition, 1953.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993).
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993).
Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, Constitutional Law, Fifth Edition, (London : Longmas Green and Co, Ltd., 1955).
Wade, H.W.R., Administrative Law, (London : Oxford University Press, 1984).
Wade, William, Sir & Cristopher Forsyth, Administrative Law, Seventh Edition, (New York : Oxford University Press, 1994).
Wahab, Solichin Abdul, Pengantar Analisis Kebijaksanaan negara, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990).
Wahyono, Padmo, Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UI, tanggal 17 November 1979.
Wahyono, Padmo., Guru Pinandita, Jakarta, (Jakarta : Badan Penerbit FE-UI, 1984).
Wahyono, Padmo., Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. ke-2, (Jakarta :  Ghalia Indonesia, 1986).
Wahyono, Padmo., Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta, In – Hill Co., 1989).
Wayne, Stephen J., Presidential Leadership (Politics and Policy Making), Fith Edition, (ST. Martin’s/Worth, New York, 1999).
Weber, Max,  Wirtschaft und Geselschaft (Tubingen, Mohr, 1992).
Weinreb, Llyoid L., Natural Law and Justice, (London : Harvard University Press, 1985).
Wijk, H.D. van.,  Hoofdstukken van Administratief Recht, 1984, (Vuga Uitgeverij B.V. S. Gravenhage).
Winter, William O., State and Local Government in a Decentralized Republic, (New York : Macmillan Publishing Co, 1981).
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1983).
Wisconsin Law Review. Vol. 1972.
Wolhaff, S. J.,  Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta : Timun Mas, 1960).
Young, Roland (ed.). Approaches to the study of Politics, 1958.
Yudoyono, Bambang., Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur PEMDA dan Anggota DPRD, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001).
Zen, Menuju Kelestarian Lingkungan hidup, 1980.
Zoethout, Carla M. (et all), Control In Constitutional Law, (Erasmus University, Rotterdam, Martinus Nijhoff Pulishers, Dordrecht/Boston/London, 1993).


[1]       H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979), hlm. 183.
[2]       Doktrin hukum alam dari sisi substansi ajarannya, memperkenalkan akan ketundukan manusia terhadap gejala-gejala alam dan doktrin-doktrin agama dalam kemutlakannya, sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun akan usaha manusia dalam mengapresiasikan kemampuan akal (rasio) yang dimilikinya dalam mengenali diri dan alam sekitarnya.
[3]       Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3. Sebagai kaidah (norma) hukum, dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa kalau tidak ditaati atau tidak dipatuhi. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992), hlm 101. Norma moral dipersepsikan sebagai suatu kaidah yang bersifat abstrak dan mengikat, karena menjadi suatu tuntunan yang mengacu pada aspek estetika dan nilai etis perilaku manusia dalam berinteraksi.
[4]       Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987),  hlm. 68. Menurut Austin, bahwa tata hukum adalah peraturan yang diperuntukkan kepada makhluk berakal (brisker) dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka.
[5]       Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985), hlm. 13.
[6]       Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985),  hlm. 15. Lihat juga Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm 119. Lihat juga dalam  Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988),  hlm. 10.
[7]       Howard Davies dan David Holdcroft, Jurisfrudence : Texts and Commentary, (London : Butterworths, 1991), hlm. 153-152. Orang Yunani terkesan akan keteraturan dan ketertiban yang terdapat dalam alam kodrat, substansi ditempatkan dalam keyakinan alam kodrat, sehingga alam sebagai keanekaragaman setempat di dalam kerangka prima yang sejenis yang dijumbuhkan dalam pengertian ilahi. Istilah alam menunjuk pada sesuatu yang menyebabkan apa saja mengambil sikap serta keadaan seperti yang terdapat dalam kenyataan.
[8]       Edgar Bodenheir, Jurisprudence : The Philosophy and Method of the Law, (USA : Harvard University Press, 1978), hlm. 21-23.
[9]       Menurut Radbruch : bahwa tujuan hukum dipersepsikan sebagai cita hukum, yaitu : Keadilan, Kegunaan, dan Kepastian. Lihat dalam G. Radbruch, Rechtsphilosophie, (Stuttgart : Koehler Verlag, 1950), hlm. 209.
[10]     Aristoteles menganggap bahwa keadilan menurut hukum  sama dengan keadilan umum, yang diserahkan pada penilaian kebiasaan manusia dan alam semesta.
[11]     H.L.A. Hart, The Concept Of Law, (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979), hlm. 183.
[12]     Doktrin hukum alam dari sisi substansi ajarannya, memperkenalkan akan ketundukan manusia terhadap gejala-gejala alam dan doktrin-doktrin agama dalam kemutlakannya, sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun akan usaha manusia dalam mengapresiasikan kemampuan akal (rasio) yang dimilikinya dalam mengenali diri dan alam sekitarnya.
[13]     Aturan-aturan hukum yang diberlakukan berasal dari simbol-simbol kealaman dan doktrin-doktrin agama, yang senantiasa diperkenankan oleh pakar, ahli, dan ilmuan pada waktu itu. Manusia harus pasrah dalam penerimaannya, tanpa ada sedikitpun kesempatan untuk menerjemahkan aturan tersebut dengan mempergunakan kemampuan bedah akal (rasio) manusia.
[14]     Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hukum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hukum).
[15]     Zaman Renaissance diartikan sebagai zaman kelahiran atau kebangkitan kembali. Kebangkitan kembali dipersepsikan sebagai suatu kebangkitan kembali dari kesadaran manusia atas kemampuannya sendiri sebagai individu yang mempunyai rasio. Sekaligus Renaissance diartikan sebagai gerakan yang timbul sebagai reaksi atas sistem klerikalisme dan feodalisme di abad pertengahan, yang menganggap manusia hanya sebagai objek dan manusia terbelenggu dalam doktrin teologi (agama)
[16]     Kelahiran sistim filsafat rasionalisme dan empirisme, diawali pada pertengahan abad ke-XVII sebagai salah satu usaha manusia dalam berpikir rasional untuk mengenali diri dan alam semesta, dan melakukan penyeleidikan-penyelidikan ilmiah yang berdasar dengan fakta-fakta empiris, yang bisa diverifikasi secara ilmiah dari aspek pembuktiannya.
[17]     D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 67. Sebagai jawaban atas kritik keberlakuan system filsafat transcendental-mistis, yang senantiasa memenjarakan dan mengungkung keberadaan kemampuan rasio dan akal manusia dalam dekapan kemutlakan alam dan doktrin agama. Sehingga dalam perkembangannya Aliran Rasionalisme memperkenalkan keutamaan aspek rasional dan fakta-fakta yang ada.
[18]     H.L.A. Hart, The Concept of Law,  (Oxford: Clarendon Press, 1961), hal.19..
[19]     Akal manusia merupakan sumber satu-satunya sumber hukum maupun dalam penyelidikan alam semesta. Logika manusia sebagai pengejewantahan perkembangan berpikir memegang peranan penting dalam pembentukan hukum.
[20]     Zaman Renaissance dijiwai filsafat rasionalisme. Penganutnya : Pufendorf, Thomasius, Zpinoza, Leibniz, Wolf, Mountesgiue, Voltaire, dan J.J. Rousseau serta puncaknya pada Immanuel Kant pada abad 17-18, yang mengutamakan akal budi (rasio) manusia sebagai sumber kekuasaan tentang hidup dan dunia.
[21]     Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hukum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hukum). Sementara menurut filosof Descartes, John Locke, Berkeley Hume : menganggap bahwa empirisme sebagai antithese rasionalisme, bukan lagi pikiran tetapi pengalaman sebagai sumber segala pengetahuan.
[22]     Potret keadilan tercermin dalam undang-undang pada saat dikitabkan dalam hokum positif, yang dapat memberikan kepastian hukum yang tetap.
[23]     Hukum yang mempunyai daya sifat memaksa, diharapkan dapat menciptkan suatu kepastian dalam memberlakukan hokum ditengah-tengah masyarakat, karena tanpa daya paksa dalam memberlakukan hokum maka hokum itu dianggap sebagai motivasi moral yang tidak mempunyai tujuan yang jelas, sehingga organ yang menciptakan dan membuat hokum tidak akan mempunyai kewibawaan dalam mengatur masyarakat.
[24]     Pandangan Jean Bodin, bahwa dalam negara yang berdaulat terdapat suatu kekuasaan atas warga negara, yang tidak dibatasi oleh kekuasaan lain selain negara.
[25]     Kekuasaan sebagai pondasi bagi hukum dalam keberlakuannya, karena mendapat legitimasi oleh institusi yang berwibawa.
[26]     Hukum adalah suatu organisasi paksaan, sebab melekat penggunaan paksaan di dalam hubungan antar manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 19.
[27]     Von Jhering berpendapat, bahwa negara dan hukum mendapat asalnya dari suatu motif egoistis, yakni paksaan, karena negara adalah organisasi kekuasaan yang memaksakan.
[28]     J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, halaman 224-225. Ukuran moralitas menurut kebiasaan berlandaskan kepada tradisi yang hidup dalam masyarakat. Tradisi menunjukkan kepada kita melalui pergaulan hidup  masyarakat, mana perbuatan susila dan mana perbuatan yang asusila,  mana perbuatan yang sejalan dengan pandangan masyarakat, dan mana perbuatan yang antisosial atau perilaku menyimpang (devint behavior). Otoritas menentukan baik buruk perbuatan manusia menurut tradisi adalah otoritas masyarakat. Suatu perbuatan dikualifikasikan baik atau buruk karena masyarakat menghendakinya demikian.
[29]     Ukuran moralitas obyektif yang bersandarkan kepada norma-norma  meliputi norma agama, idiologi, kebiasaan atau tradisi, dan hukum. Agama mengajarkan kepada manusia mana perbuatan baik yang harus dilakukan, dan mana perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Penentuan baik buruknya perbuatan dalam agama merupakan otoritas Tuhan. Suatu perbuatan dikualifikasikan baik karena Tuhan menetapkannya demikian, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, penentuan baik buruk dalam perspektif agama berdasarkan kepada doktrin agama yang merupakan firman Tuhan.
[30]     M. Busyro Muqoddas dkk (ed), Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, 1992, hal. 63.
[31]     John Stuart Mill, On Liberty-Perihal Kebebasan, Jakarta: Yayasan Obor, 1996, hal. xvi.
[32]     Dalam pandangan ini, suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai perbuatan baik atau perbuatan buruk bukan karena Tuhan menetapkannya demikian (sewenang-wenang), tapi karena secara hakiki perbuatan itu baik atau secara hakiki perbuatan itu buruk. . Dalam konteks yang lain, . perbuatan dikategorikan baik atau buruk bukan karena hukum negara memerintahkan atau melarangnya, tetapi negara wajib memerintahkan atau melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk pada hakikatnya. Suatu perbuatan baik bukan karena masyarakat menentukannya demikian, tapi msyarakat melarangnya karena perbuatan itu buruk.
[33]     Argumentasi paham relativisme moral mendapat dukungan kuat dari hasil studi dan penelitian berbagai bidang ilmu, yakni etnologi, antropologi, sosiologi, dan sejarah. Hasil penelitian berbagai bidang ilmu itu terhadap berbagai masyarakat dan kebudayaan menunjukkan adanya perbedaan yang mendalam antara norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain.
[34]     Prinsip pertama terdiri dari prinsip kerjakan yang baik dan hindari yang buruk.”, “Hiduplah sesuai dengan akal budi.” “Carilah tujuan terakhirmu.” Prinsip pertama ini merupakan kebenaran primer. Dari prinsip-prinsip pertama tersebut kemudian dijabarkan prinsip-prinsip umum yang merupakan aksioma-aksioma moral yang sesuai dengan  kecenderungan-kecenderungan kodrati manusia. Prinsip-prinsip umum meliputi “Pertahankan adamu”,:”Jagalah anakmu”, atau kecenderungan yang terang benderang dan jelas muncul dari akal budi manusia: “menyembahlah Tuhan”, “Janganlah membunuh”,”Setialah kepada kawanmu”,”Perlakukan orang lain dengan jujur”.
[35]     H.L.A. Hart, The Concept of Law,  (Oxford: Clarendon Press, 1961), hal.3
[36]     Max Weber , Law in Economy and Society, translate and ed. by Max Rheinstein, Cambridge, Mass.: harvard university press, 1954, halaman 2. Lihat juga Hugh D. Barlow, Introduction to Criminology, Boston; Little Brown and Company, 1984, halaman 9.
[37]     Don C. Gibbon, Society, Crime and Criminal Career, Third Edition, Englewood: Prentice Hall Inc., 1973, halaman 19.
[38]     Gresham M. Sykes, Criminology, New York; Harcourt Brace Javanovic Inc., halaman 43. Biasanya hal ini mengambil bentuk dalam penghormatan terbuka melalui prosedur-prosedur dengan mana pemerintah menyebut nama untuk mengucapkan aturan hukum. Jika hukum berubah begitu cepat, suatu elemen pemganggu ketidakpastian dimasukkan dalam kehidupan sosial. Keinginan untuk menghindari ketidakpastian tersebut juga mengarahkan banyak sistem hukum untuk menghindari aturan-aturan hukum yang bersifat retroaktif – yaitu hukum yang menyatakan prilaku tertentu illegal setelah prilaku tersebut terjadi. Akhirnya, hukum sangat memerlukan konsistensi logis. Prinsip, konsep, dan istilah aturan hukum diharapkan tetap lebih kurang sama dari bagian hukum yang satu terhadap bagian hukum yang lain, dan hukum tidak mengharuskan untuk memerintahkan dan melarang perbuatan yang sama dalam situasi yang sama. Tanpa konsistensi tersebut aturan-aturan hukum menjadi berubah-rubah, tidak beraturan dan sekali lagi mengancam kepastian.
[39]     Aturan hukum yang pertama, menurut Thomas Aquinas adalah “berbuat baik dan mencegah kejahatan”. Sementara Grotius menyatakan, bahwa “hukum adalah perintah dari akal sehat yang menunjukkan (indicans) bahwa sesuatu perbuatan…..didalamnya mengandung derajat kerendahan moral atau keperluan moral”. Aturan-aturan itu sesuai dengan “tata dari sifat-sifat kodrat kita”: memperthankan diri, mempertahankan jenis, hidup dalam masyarakat. Meskipun demikian pada kedua-duanya, suatu “daftar nilai-nilailah yang memberikan dasar kepada segala tata hukum. Pada kedua-duanya anggapan bahwa berlakunya hukum itu tergantung dari ukuran yang mengandung nilai-nilai ini didalamnya. Hanya hukum-hukum yang baiklah hukum. Dan bila hukum mesti baik, ia harus didasarkan, bagaimanapun juga , kepada hukum alam. “Jika suatu hukum yang dibuat oleh manusia berlainan dengan hukum alam, ia bukan hukum lagi”. “Suatu masyarakat dimana penghormatan terhadap hak-hak tidak terjamin, tidak mempunyai hukum dasar”.
[40]     Yang pertama adalah sifat “sosial” atau sifat “objektif” dari hukum berlawanan dengan sifat “individuil” atau “subjektif” dari moral. Inilah bagaimana perbedaan itu diuraikan oleh salah seorang tokoh mazhab Neo-Kantian tentang filsafat hukum. “Fungsi logis dari hukum menjalankan pengaruhnya, bila pertumbuhan antara perbuatan dua pihak atau lebih atau suatu antitesis antara dua kehendak atau lebih, mungkin, dan cenderung memupuk pengaturan yang objektif diantranya. Sebaliknya, kriterium moral mengandaikan suati antitesis antara dua perbuatan atau mungkin lebih dari pihak yang sama dan cenderung menyelesaikan perselisihan intern, yakni, membentuk tata etika yang subjektif. Dari inilah timbul sifat-sifat khas elementer yang bermacam-macam, yang tidak membatasi daerah masing-masing yang sebenarnya”. Jadi, sebenarnya hukum-hukum yang dibuat oleh manusia pertama-tama tidak bertujuan untuk memajukan kebajikan, melainkan hanya bertujuan menjamin suatu kehidupan bersama yang damai. Mereka tidak melarang segala hal yang jahat, melainkan kejahatan yang membahayakan masyarakat; mereka tidak memerintahkan segala hal yang baik, melainkan hanya yang bersangkut paut dengan kesejahteraan umum.
[41]     Gierke, Natural Law and The Theory of Society. Hal IV-V
[42]     F.C. von Savigny. Of the vocation of Our Age for Legislation and Jurisprudence, terjemahan Hayward, 1831, hal 22-29-62. Yang saya perhatikan disini adalah suatu masalah lain. Masalah itu ialah tuntutan ilmu hukum modern untuk samasekali menghapuskan persoalan-persoalan yang berabad-abad lamanya telah dipertimbangkan dan dibicarakan dengan nama hukum alam atau hukum yang ideal, tuntutan untuk berdiri sendiri, bila boleh saya katakan, dari ilmu hukum modern, misalnya guna memberikan kriterium-kriterium yang perlu dan cukup kepada mereka yang belajar hukum guna memahami dan menafsirkan gejala-gejala hukum. Agar dapat menilai sampai dimana tuntutan itu dapat dibenarkan, kita sekarang harus memeriksa jawaban yang diberikan oleh ilmu hukum modern terhadap masalah berlakunya hukum-hukum yang merupakan objek penyelidikannya.
[43]     F.J. Stahl dikutip oleh H. Rommen. The Natural Law, hal 117.
[44]     Soal yang sesungguhnya adalah untuk menentukan hukum-hukum manakah yang cukup “pasti”, atau “mengikat” atau “positif” supaya layak dinamai hukum. Mengenai soal inilah mulai timbul kesulitan-kesulitan dan keganjilan-keganjilan empirisme hukum segera menjadi jelas. Berangsur-angsur teranglah untuk para ahli hukum dan hakim bahwa berlakunya atau sifat “positif” hukum itu tidak dapat terdiri atau sifat “positif” hukum itu tidak dapat terdiri atau setidak-tidaknya tidak hanya terdiri semata-mata dari dapat dipaksakan pelaksanaannya. Untuk mengatakan bahwa sifat positif hukum berasal dari hal termasuknya kedalam suatu sistim positif. Sesungguhnya adalah suatu cara lain untuk mengatakan bahwa pengakuan kekuatan berlakunya hukum tergantung dari kemungkinan mengembalikannya, secara langsung atau tidak langsung, kepada suatu sumber umum yang semua peraturan hukum berasal dari padanya. Inilah yang para ahli hukum dengan meninjau setelah lama yang sudah kita kenal, dinamakan kedaulatan. Kedaulatan menjadi dogma suci ilmu hukum positif, karena ia adalah syarat bagi sifat positif hukum.
[45]     (Kant, The Moral Law (Groundwork of the Metaphysic of Morals), diterjemahkan oleh H.J Paton, halaman 81).
[46]     Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 116.
[47]   Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3. Sebagai kaidah (norma) hukum, dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa kalau tidak ditaati atau tidak dipatuhi.
[48]   Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992), hlm 101. Norma moral dipersepsikan sebagai suatu kaidah yang bersifat abstrak dan mengikat, karena menjadi suatu tuntunan yang mengacu pada aspek estetika dan nilai etis perilaku manusia dalam berinteraksi.
[49]   Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987),  hlm. 68. Menurut Austin, bahwa tata hukum adalah peraturan yang diperuntukkan kepada makhluk berakal (berpikir) dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka.
[50]   Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985), hlm. 13.
[51]   Norma hukum atau kaidah ini berkembang dan hidup ditengah-tengah masyarakat, baik yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis, berdasarkan dengan perkembangan keinginan, kemauan dan kebutuhan dalam berinteraksi.
[52]   Aturan ini dengan sendirinya sebagai suatu imbauan yang menggiring untuk berbuat dan tidak berbuat, sehingga tindakan (perilaku) seseorang tidak melanggar atau merugikan kepentingan orang lain. Ketidaktaatan terhadap aturan tersebut akan membuat adanya imbalan (sanksi) yang akan didapatkan oleh institusi yang berwenang memberikan ganjaran.
[53]   Sanksi tersebut merupakan wadah untuk membuat orang bertindak (bertingkah laku) seperti yang dimuat dalam aturan, karena kalau tidak akan mendapat ganjaran (imbalan) atas ketidaktaatannya terhadap aturan yang berlaku.
[54]   Imbalan (sanksi) terhadap tidak ditaatinya hokum tersebut mutlak adanya, karena tata hokum tersebut adalah merupakan kumpulan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam suatu negara yang diperuntukkan kepada masyarakatnya, dan semua masyarakat secara bersama-sama menetapkan apa yang merupakan hokum di dalam perbuatan orang-orang terhadap satu sama lain.
[55]   Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 72.
[56]   Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985),  hlm. 15.
[57]   Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm 119. Lihat juga Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988),  hlm. 10.
[58]   W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993), hlm. 1.
[59]   Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 112-113. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 8.
[60]   Menurut Radbruch : bahwa tujuan hukum dipersepsikan sebagai cita hukum, yaitu : Keadilan, Kegunaan, dan Kepastian.
[61]   Aristoteles menganggap bahwa keadilan menurut hokum adalah sama dengan keadilan umum, yang diserahkan pada penilaian kebiasaan manusia dan alam semesta.
[62]   H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979), hlm. 183.
[63]   Theo Huijebrs, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Op. Cit., hlm. 79. Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hokum).
[64]   D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 67.
[65]   Akal manusia merupakan sumber satu-satunya sumber dari hokum maupun dalam penyelidikan alam semesta. Logika manusia sebagai pengejewantahan perkembangan berpikir memegang peranan penting dalam pembentukan hukum.
[66]   Zaman Renaissance dijiwai filsafat rasionalisme. Penganutnya : Pufendorf, Thomasius, Zpinoza, Leibniz, Wolf, Mountesgiue, Voltaire, dan J.J. Rousseau serta puncaknya pada Immanuel Kant pada abad 17-18, yang mengutamakan akal budi (rasio) manusia sebagai sumber kekuasaan tentang hidup dan dunia.
[67]   Menurut filosof Descartes, John Locke, Berkeley Hume : menganggap bahwa empirisme sebagai antithese rasionalisme, bukan lagi pikiran tetapi pengalaman sebagai sumber segala pengetahuan.
[68]   Ajaran Postivisme Hukum, yang menghendaki suatu aturan yang nyata dan konkrit, serta mempunyai kepastian tetap dalam keberlakuannya.
[69]   Potret keadilan tercermin dalam undang-undang pada saat dikitabkan dalam hokum positif, yang dapat memberikan kepastian hukum yang tetap.
[70] Hukum yang mempunyai daya sifat memaksa, diharapkan dapat menciptkan suatu kepastian dalam memberlakukan hokum ditengah-tengah masyarakat, karena tanpa daya paksa dalam memberlakukan hokum maka hokum itu dianggap sebagai motivasi moral yang tidak mempunyai tujuan yang jelas, sehingga organ yang menciptakan dan membuat hokum tidak akan mempunyai kewibawaan dalam mengatur masyarakat.
[71]   Pandangan Jean Bodin, bahwa dalam negara yang berdaulat terdapat suatu kekuasaan atas warga negara, yang tidak dibatasi oleh kekuasaan lain selain negara.
[72]   Kekuasaan sebagai pondasi bagi hukum dalam keberlakuannya, karena mendapat legitimasi oleh institusi yang berwibawa.
[73]   Hukum adalah suatu organisasi paksaan, sebab melekat penggunaan paksaan di dalam hubungan antar manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 19.
[74]   Von Jhering berpendapat, bahwa negara dan hukum mendapat asalnya dari suatu motif egoistis, yakni paksaan, karena negara adalah organisasi kekuasaan yang memaksakan.
[75]   Dari memudarnya perkembangan doktrin keadilan Hukum Alam pada abad XVII-XVIII, Ajaran Postisme Hukum mengedepankan doktrinnya pada asepk keadilan yang dilihat (dipotret) dalam undang-undang pada saat dikitabkan (dipositifkan).
[76]   Akal (rasio) manusia menjadi pusat setelah melalui penceran dalam ber-evolusi untuk mempergunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimiliki. Hal ini menggiring untuk menjadikan akal manusia sebagai pusat dalam pencaharian dan penyelidikan ilmu pengetahuan.
[77]   Positivisme Hukum diilhami oleh Zaman Ranaissance dan buah filsafat dari filosof Augustte Comte (1789-1857) yang pertama kali memperkenalkan Teori Tiga Tahap. Ketiga tahap tersebut, yaitu : 1) Pemikiran Teonom (teokratis), kehendak Tuhan untuk para dewa merupakan tolak ukur terakhir dari apa yang dinyatakan sebagai hokum; 2) Pemikiran hukum kodrat atau tahap falsafati, norma-norma prayuridis yang bersifat etis, didasarkan atas kodrat (hakikat) manusia, yang menentukan garis-garis pokok hukum; 3) Pemikiran hukum positif, sepenuhnya mandiri dari setiap instansi lain dari pada kehendak pembuat undang-undang dan dengan sendirinya harus diakui sebagai hukum yang sesungguhnya semata-mata. Dari ajarannya, diperkenankan teori bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia haruslah ber-evolusi dari stadium Teologis (mitis) ke-stadium falsafati, untuk akhirnya tiba pada kemenangan pasti akal dalam stadium positivistis.
[78]   Zaman Renaissance dimotori oleh Filsafat Rasionalisme, yang mengutamakan akal budi manusia sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.
[79] Kecenderungan dalam penyeleidikan ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang dapat diamati oleh pancaindera dan ketentuan hukum yang dapat ditemukan dalam fakta-fakta menjadi satu-satunya objek dalam ilmu pengetahuan hukum.
[80]   Menurut Kant, bahwa manusia tidak mampu mengetahui realitas material selain melalui ilmu pengetahuan.
[81]   Positivisme Sosiologis, memandang hukum sebagai gejala sosial yang diselidiki oleh ilmu sosiologi, positivisme yuridis menyelidiki hokum melalui ilmu hukum positif, Ajaran Hukum Umum, dengan metode filsafat empirisme.
[82]   Postivisme adalah suatu aliran dalam filsafat, yang ingin bekerja semata-mata dengan pengetahuan yang berdasarkan dengan fakta pengalaman, yang dapat diperiksa kebenarannya (verifiebaar) atau kepalsuannya (falsifiebaar) dan kemudian data itu akan dikerjakan dengan cara ilmu pengetahuan yang cermat. Lihat dalam N.E.Algra, et.al, Mula Hukum (Beberapa bab mengenai hukum dan ilmu untuk pendidikan  hukum dalam pengantar ilmu hukum), (Jakarta : Bina Cipta, 1983), hlm. 133.
[83]   Prinsip-prinsip pokok ajaran positivisme pada saat itu adalah : 1) Ilmu-ilmu positif adalah ilmu yang hanya dapat mengajarkan tentang kenyataan; 2) Ilmu pengetahuan yang ditujukan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal keteraturan hokum di dalamnya; 3) Positivisme menolak semua pengetahuan yang tidak dapat diselidiki secara inderawi.
[84]   Manusia ber-evolusi dalam stadium (tahapan) Teologis yang bersifat mistis, tahapan Falsafi, untuk akhirnya tiba pada kewenangan akal (rasio) dalam tahapan positivis.
[85]   Norma (tata hukum) mendapat bentuk positif dari suatu instansi yang berwenang (berdaulat). Hukum dianggap tidak berlaku kalau dasarnya dari kehidupan social, sumbernya dari jiwa bangsa, serta cerminnya dari hokum alam. Karena hokum tidak akrab dengan norma yang diluar dari norma hukum.
[86]   Sementara Friedmann memasukkan juga Positivisme Fungsional-Pragmatis, yang menganggap bahwa kenyataan-kenyataan social adalah penentu konsepsi-konsepsi hukum.
[87]   W. Friedmann, Legal Theory (London : Stevens & Sons Limited, Third Edition, 1953), hlm. 151. Hukum semata-mata dipandang dalam bentuk formalnya, yang dipisahkan dalam bentuk materialnya. Proses pembentukan hukum dilakukan melalui cara tertentu agar mempunyai dasar validitasnya, sehingga hukum didasarkan pada kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak pada prinsip keadilan, moralitas yang baik dan buruk. Lihat juga G.W. Paton, A Text Book Of Jurisprudence, terjemahan Arief, S.S.T, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 16. Konsep hukum sebagai perintah dari penguasa, dimaksudkan dalam suatu aturan (hukum) implisit didalamnya perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari pemegang kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu negara. Lihat juga Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Op. Cit., hlm. 81. Aliran Analitical lahir dalam paham campuran konsepsi negara nasional di Inggris yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar serta mendapatkan pentaatan tanpa syarat dari rakyatnya. Di Jerman didukung oleh para penganut Teori Kedulatan Negara, yaitu Paul Labank dan Jellinek, bahwa hanya kaidah yang berasal dari kehendak dari negara saja sebagai hokum, dan kehendak itu termuat dalam Undang-Undang.
[88]   Brian Bix, Jurisprudence : Theory and Context (London : Sweet & Maxwell, 1991), hlm. 31.  Brian Bix menyatakan bahwa : “ In simple terms, legal positivism is built around the belief, the assumption, the dogma, that the question of what is the law is separate from, and must be kept separate from, the question of the law should be”. Hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial masyarakat dan bukan bersumber dari jiwa bangsa serta bukan karena dasar mengikatnya hukum alam, melainkan karena hukum mendapatkan kekuatan berlakunya dari perintah dari suatu institusi yang berwenang dan berdaulat. Lihat juga Darji Darmodihardjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Mengapa Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1995), hlm. 97.  Lihat juga Soetiksno,  Filsafat Hukum, Cet. 5,  (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), hlm. 54.
[89]   Keputusan-keputuan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.
[90]   Kaidah perintah, supaya orang lain melakukan kehendak yang diinginkan hukum, dan merupakan pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, sehingga kewajiban ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat (dapat berupa seseorang atau sekelompok orang). Kaidah sanksi, akan mengalami penderitaan kalau hukum tidak ditaati atau dipatuhi. Kaidah kewajiban, membuat pembebanan kewajiban kepada orang yang diperintah. Kaidah kedaulatan, yang memerintah adalah pihak yang berdaulat (berkuasa) atas orang lain. Hukum Positif yang tidak memenuhi unsur, perintah (command), sanksi ( sanction), kewajiban (duty), kedaulatan (sovereignty) disebut sebagai moral positif.
[91]   Hukum adalah suatu tata bersifat memaksa, ganjaran sebagai tekhnik motivasi, hukuman sebagai tekhni paksaan, dan kepatuhan sukarela bukan sebagai kebebasan, tetapi merupakan motivasi paksaan dalam arti psikologis.
[92]   Hans Kelsen, Pure Theory of Law, diterjemahkan oleh Max Knight dari Bahasa Jerman (Berkeley : University of California Press, 1967), hlm. 1. Kelsen menyatakan : “ It is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description everything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”. Lihat juga R. M. Dworkin, The Philosophy of Law (New York : Oxford University Press, 1977), hlm. 17-37. Lihat juga John Arthur dan William H. Shaw, Reading in the Philosphy of Law ( New Jersey : Prentice Hall, 1993), hlm. 97-107. Menurutnya, bahwa Ajaran Hukum Murni Hans Kelsen, sesungguhnya merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yang hanya mengembangkan hokum sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter.
61   Kelsen memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum sebagai kenyataan. Hukum ditaati oleh masyarakat, karena merasa wajib mentaati sebagai perintah dari negara (penguasa).
[93]   Sistem hukum pada hakekatnya merupakan sistem hierarkhies yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi (groundnorm). Lihat juga Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni diterjemahkan oleh Somardi (Rimdi Press, 1995), hlm. 126-137.
[94]   Validitas suatu norma hukum tidak dapat dipertanyakan atas dasar bahwa isi-isinya tidak sesuai dengan suatu nilai moral dan politik.
[95]   Jean Bodin, Ajaran Positivisme Hukum salah satunya dipengaruhi oleh Aliran Humanisme, dengan ide tentang kedaulatan raja (negara), bahwa satu-satunya sumber hukum adalah pembentukannya oleh negara.
[96]   Tercermin dalam dialektika Hegel, bahwa satu-satunya hukum yang berlaku adalah dari negara dan penguasa yang berdaulat.
[97]   Lord Lloyd, Introducrtion to Jurisprudence-Third Edition, (London : Steven & Son, 1972), hlm. 271. Lihat juga R.M. M. Dias, Jurisprudence, (London : Butterworhs, 1976),  hlm. 451.
[98]   Keadilan menurut Aristoteles adalah keadilan umum, yang harus ditaati.
[99]   Ajaran Hukum Alam bersifat umum dan Absrtrak, jadi diperlukan suatu susunan Hukum Postif sebagai Undang-Undang Negara yasng konkrit dalam keberlakuannya. Hukum Alam hanya bersifat (berfungsi)  regulative, sehingga tidak dapat berlaku sebagai aturan yang sifatnya nyata (konkrit).  Pufendorf menganggap Hukum Alam hanya sebagai norma moral bukan sebagai norma hukum (tata hukum). John Locke menyatakan hanya sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hukum, yang sesungguhnya.
[100] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung : Remadja Rosdakarya, 1993), hlm. 65. John Chipman Gray yang mempunyai slogan “all the law is judge made law”, mengemukakan contoh di Inggris dan USA yang menunjukkan bagaimana faktor-faktor  non-hukum memberi pengaruh besar terhadap penyelesaian terhadap suatu masalah.
[101] Penguasa tidak tunduk pada hokum maupun asas-asas hokum yang berasal dari atas (segi moral).
[102] Descartes dalam kajian filsafatnya, sangat mempengaruhi Filsafat Rasionalisme disamping Empirisme.
[103] Filsafat idealisme dikembangkan oleh Hegel sebagai kesinambungan rasionalisme Kant. Hukum dipandang sebagai salah satu hasil perkembangan manusia sebagai subjek rohani.
[104] Menurut L. Fuller, dalam pandangan postivisme hokum, seorang boleh mempercayai suatu hukum yang lebih tinggi,  pada keadilan, tetapi seseorang tidak boleh mencampurkan kepercayaan itu di dalam pelaksanaan hukum.
[105] Filsafat etika Kant, mendasarkan kategori pada fungsi rasio manusia yang kedua, yakni keinginan bukan pada fungsi rasio yang pertama yakni pemikiran. Seperti contoh dalam dalilnya, yaitu bertindaklah kamu sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu dapat menjadi dasar bagi tindakan semua orang.
[106] Pandangan Kant ini sejalan dengan pandangan Fichte, yang menyatakan bahwa kewajiban moral adalah menjadi keawajiban hokum, tetapi hokum hanya dapat dikendalikan oleh dan di dalam negara.
[107] Filsafat Kant diperkuat oleh Hegel dengan filsafat monistisnya, yang mengetengahkan bahwa hanya ada satu kenyataan yaitu idea karena adanya proses dialektika (proses yang terjadi karena dalam setiap these selalu ada antithese yang menimbulkan sinthese).
[108] Hukum tidak dimungkinkan untuk diterapkan oleh pemerintah (penguasa) tanpa melihat kaidah-kaidah yang hidup dan berlaku ditengah-tengah masyarakat, serta dalam perkembangannya senantiasa berkait dengan sejarah perkembangan peradaban manusia dalam memaknai kehidupan di atas dunia.
[109] Hukum bertugas utama untuk menjamin kepastian hokum (rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia, disamping membuat adanya keadilan dan mewujudkan untuk berfaedah ditengah-tengah masyarakat.
[110]    Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3. Sebagai kaidah (norma) hukum, dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa kalau tidak ditaati atau tidak dipatuhi.
[111]    Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992), hlm 101. Norma moral dipersepsikan sebagai suatu kaidah yang bersifat abstrak dan mengikat, karena menjadi suatu tuntunan yang mengacu pada aspek estetika dan nilai etis perilaku manusia dalam berinteraksi.
[112]    Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987),  hlm. 68. Menurut Austin, bahwa tata hukum adalah peraturan yang diperuntukkan kepada makhluk berakal (berpikir) dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka.
[113]    Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985), hlm. 13.
[114]    Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985),  hlm. 15.
[115]    Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm 119. Lihat juga dalam  Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988),  hlm. 10.
[116]    Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 79. Kajian Filsafat Hukum akan mengarahkan untuk membahasa ilmu hukum sampai kepada akar masalahnya, dengan diawali oleh ide-ide dan pemikiran yang berkembang dalam dalam keberlakuan tata hukum.
[117]    W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993), hlm. 1. Filsafat hukum membedah dan menganalisis permasalahan-permasalahan hukum, dengan berusaha menjawab dan menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh perkembangan teori hukum, dalam perkembangan pemikiran hukum yang dipaparkan oleh kaum juris.
[118]    Howard Davies dan David Holdcroft, Jurisfrudence : Texts and Commentary, (London : Butterworths, 1991), hlm. 153-152. Orang Yunani terkesan akan keteraturan dan ketertiban yang terdapat dalam alam kodrat, substansi ditempatkan dalam keyakinan alam kodrat, sehingga alam sebagai keanekaragaman setempat di dalam kerangka prima yang sejenis yang dijumbuhkan dalam pengertian ilahi. Istilah alam menunjuk pada sesuatu yang menyebabkan apa saja mengambil sikap serta keadaan seperti yang terdapat dalam kenyataan.
[119]    Edgar Bodenheir, Jurisprudence : The Philosophy and Method of the Law, (USA : Harvard University Press, 1978), hlm. 21-23.
[120]    Menurut Radbruch : bahwa tujuan hukum dipersepsikan sebagai cita hukum, yaitu : Keadilan, Kegunaan, dan Kepastian. Lihat dalam G. Radbruch, Rechtsphilosophie, (Stuttgart : Koehler Verlag, 1950), hlm. 209.
[121]    Aristoteles menganggap bahwa keadilan menurut hukum  sama dengan keadilan umum, yang diserahkan pada penilaian kebiasaan manusia dan alam semesta.
[122]    H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979), hlm. 183.
[123]    Doktrin hukum alam dari sisi substansi ajarannya, memperkenalkan akan ketundukan manusia terhadap gejala-gejala alam dan doktrin-doktrin agama dalam kemutlakannya, sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun akan usaha manusia dalam mengapresiasikan kemampuan akal (rasio) yang dimilikinya dalam mengenali diri dan alam sekitarnya.
[124]    Aturan-aturan hukum yang diberlakukan berasal dari simbol-simbol kealaman dan doktrin-doktrin agama, yang senantiasa diperkenankan oleh pakar, ahli, dan ilmuan pada waktu itu. Manusia harus pasrah dalam penerimaannya, tanpa ada sedikitpun kesempatan untuk menerjemahkan aturan tersebut dengan mempergunakan kemampuan bedah akal (rasio) manusia.
[125]    Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hukum).
[126]    Zaman Renaissance diartikan sebagai zaman kelahiran atau kebangkitan kembali. Kebangkitan kembali dipersepsikan sebagai suatu kebangkitan kembali dari kesadaran manusia atas kemampuannya sendiri sebagai individu yang mempunyai rasio. Sekaligus Renaissance diartikan sebagai gerakan yang timbul sebagai reaksi atas sistem klerikalisme dan feodalisme di abad pertengahan, yang menganggap manusia hanya sebagai objek dan manusia terbelenggu dalam doktrin teologi (agama)
[127]    Kelahiran sistim filsafat rasionalisme dan empirisme, diawali pada pertengahan abad ke-XVII sebagai salah satu usaha manusia dalam berpikir rasional untuk mengenali diri dan alam semesta, dan melakukan penyeleidikan-penyelidikan ilmiah yang berdasar dengan fakta-fakta empiris, yang bisa diverifikasi secara ilmiah dari aspek pembuktiannya.
[128]    D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 67. Sebagai jawaban atas kritik keberlakuan system filsafat transcendental-mistis, yang senantiasa memenjarakan dan mengungkung keberadaan kemampuan rasio dan akal manusia dalam dekapan kemutlakan alam dan doktrin agama. Sehingga dalam perkembangannya Aliran Rasionalisme memperkenalkan keutamaan aspek rasional dan fakta-fakta yang ada.
[129]    Akal manusia merupakan sumber satu-satunya sumber hukum maupun dalam penyelidikan alam semesta. Logika manusia sebagai pengejewantahan perkembangan berpikir memegang peranan penting dalam pembentukan hukum.
[130]    Zaman Renaissance dijiwai filsafat rasionalisme. Penganutnya : Pufendorf, Thomasius, Zpinoza, Leibniz, Wolf, Mountesgiue, Voltaire, dan J.J. Rousseau serta puncaknya pada Immanuel Kant pada abad 17-18, yang mengutamakan akal budi (rasio) manusia sebagai sumber kekuasaan tentang hidup dan dunia.
[131]    Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hokum). Sementara menurut filosof Descartes, John Locke, Berkeley Hume : menganggap bahwa empirisme sebagai antithese rasionalisme, bukan lagi pikiran tetapi pengalaman sebagai sumber segala pengetahuan.
[132]    Potret keadilan tercermin dalam undang-undang pada saat dikitabkan dalam hukum positif, yang dapat memberikan kepastian hukum yang tetap.
[133]    Hukum yang mempunyai daya sifat memaksa, diharapkan dapat menciptkan suatu kepastian dalam memberlakukan hokum ditengah-tengah masyarakat, karena tanpa daya paksa dalam memberlakukan hokum maka hokum itu dianggap sebagai motivasi moral yang tidak mempunyai tujuan yang jelas, sehingga organ yang menciptakan dan membuat hokum tidak akan mempunyai kewibawaan dalam mengatur masyarakat.
[134]    Pandangan Jean Bodin, bahwa dalam negara yang berdaulat terdapat suatu kekuasaan atas warga negara, yang tidak dibatasi oleh kekuasaan lain selain negara.
[135]    Kekuasaan sebagai pondasi bagi hukum dalam keberlakuannya, karena mendapat legitimasi oleh institusi yang berwibawa.
[136]    Hukum adalah suatu organisasi paksaan, sebab melekat penggunaan paksaan di dalam hubungan antar manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 19.
[137]    Von Jhering berpendapat, bahwa negara dan hokum mendapat asalnya dari suatu motif egoistis, yakni paksaan, karena negara adalah organisasi kekuasaan yang memaksakan.
[138]    A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral : Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Kanisius, 1990), hlm. 15.
[139]    Heinrich A. Rommen, Natural Law : A Study in Legal and Social History and Philosophy, (Indianapolis : Liberty Fund, Inc., 1998), hlm. 3. Pemikiran ini ditemukan di Yunani Kuno tentang fenomena hukum dan moral. Dalam perkembangan pemikiran hukum sekarang tidak akan lepas dari aspek penelitian sejarah. Jadi untuk memahami dengan baik perkembangan pemikiran tersebut, hubungan antara pemikiran hukum, moral, negara dan masyarakat, maka kita harus mengetahui dan memahami sejarah perkembangan sejak zaman Yunani kuno dahulu.
[140]    Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Philosophy of Law : An Introduction to Jurisprudence, (USA : Westview Press, 1990), hlm. 11. Pergesaran keberbagai negara mengenai pemikiran hukum, moral dan agama dapat dilihat dari adopsi kebudayaan seperti :Wiracita Yunani Ilias, Mahabarata dan Ramayana, Istilah Polis pada Kota Athena, Sparta dan Milete,  serta dalam versi masyarakat Indonesia tercermin dalam Jawa Brontoyudo dan Serat Romo.
[141]    Arry Mth. Soekowathy, Orientasi Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Philosophy Press, 2001), hlm. 42-43.
[142]    George P. Fletcher, Basic Concepts of Legal Thought, (New York : Oxford University Press, 1996), hlm. 139-140. Pengaruh Hukum Agama dalam pemikiran hukum dapat dilihat dari konsep-konsep dan teori-teori hukum yang dikedepankan oleh Thomas Aquino dalam filsafat skolastiknya yang berusaha untuk menemukan keseimbangan antara hukum, moral, negara, budi dan iman. Jadi konsep pemikiran hukum bagi Thomas Aquinos berusaha mengembangkan/memperluas pemikiran Aristoteles.
[143]    Kelahiran Renaissance diawali dengan berkembangnya pengaruh Islam dan Yahudi di Benua Eropah, serta adanya pergeseran cara-cara berpikir pada abad pertengahan yang membuka peluang dalam menjadikan manusia sebagai subjek dan objek terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
[144]    Filsafat Individualisme, menekankan doktrinnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat pada pengakuan dan pengagungan individu (manusia) sebagai pusat dan tujuan  daripada segala sesuatu di dunia ini. Manusia sebagai sumber dari segala sesuatu dalam perkembangan dan pemahaman lingkungan alam sekitar (termasuk di dalamnya pemberdayaan akal dan rasio manusia dalam mengembangkan pemikiran hukum).
[145]    Zaman Rasionalisme berlansung dari pertengahan Abad XVII sampai akhir Abad XVIII. Istilah Rasionalisme menandakan semangat akal budi manusia diutamakan, sebagai anthithese dari abad pertengahan yang mengutamakan doktrin agama yang berpusat pada Allah. Aliran Rasionalisme muncul sebagai akibat dari gerakan Renaissance yang mengedepankan rasio dan akal manusia dalam mengenali diri dan lingkungan, yang berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Aliran (faham) Rasionalisme dipelopori oleh Francis Bacon dan Descartes dalam bidang filsafat, Gallilleo Gallillei dan Newton dalam bidang ilmu pengatahuan alam serta Hugo de Groot (Grotius) dalam bidang hukum alam.
[146]    Dari memudarnya perkembangan doktrin keadilan Hukum Alam pada abad XVII-XVIII, Ajaran Postisme Hukum mengedepankan doktrinnya pada asepk keadilan yang dilihat (dipotret) dalam undang-undang pada saat dikitabkan (dipositifkan).
[147]    Costas Douzinas, Ronnie Warrington, Shaun McVeigh, Postmodern Jurisprudence, (London : Routledge, 1991), hlm. 74. Akal (rasio) manusia menjadi pusat setelah melalui penceran dalam ber-evolusi untuk mempergunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimiliki. Hal ini menggiring untuk menjadikan akal manusia sebagai pusat dalam pencaharian dan penyelidikan ilmu pengetahuan.
[148]    Semangat filsafat Descartes, berusaha melepaskan filsafat dari teologi dengan sistim emansipasi, karena dipandang adanya kekacaubalauan antara filsafat dan teologi., yang akhirnya akan menimbulkan keruwetan bagi setiap orang dalam memahami filsafat disatu sisi dan teologi disisi yang lainnya. Sistem emansipasi ini berusaha melepaskan kajian filsafat dari setiap unsur teokrasi, namun tidak menentang aspek teologi dalam kehidupan manusia. Descartes mengembangkan metode berpikir secara tepat dalam bukunya : “Discours de la methode” Tahun 1637 yang diartikan sebagai “Ulasan mengenai Metoda”.
[149]    Filsafat Descartes mempengaruhi dua aliran filsafat, yaitu Filsafat Rasionalisme dan Filsafat Empirisme. Aliran filsafat ini, mendasarkan pada pikiran dan pengalaman manusia sebagai sumber segala pengetahuan, dan apa yang sungguh-sungguh ditentukan realitasnya secara rasional, dapat diterima kebenarannya. Penganut Rasionalisme diantaranya : Pufendorf, Thomasius, Spinoza, Leibniz, Wolf  serta di Perancis dipelopori oleh Montesqiu, Voltaire, Rousseau dan penganut Empirisme di Inggris, diantaranya : Locke, Berkeley, Hume.
[150]    Melalui jalan meragukan semua kebenaran, Descartes sampai pada keyakinan bahwa terdapat satu hal  yang tidak mungkin diragukan oleh manusia, yakni kesadarannya sendiri (cogito), sehingga dapat dipastikan bahwa juga adanya subjek yang berpikir (ergo sum). Sehingga dalam kesimpulannya, Descartes mengemukakan bahwa seluruh realitas mencakup dua cara yang saling berlawanan, yaitu subjek terdapat di dalam kesadaran manusia : roh atau pikiran dengan objek diluar kesadaran manusia : materi atau kuantitas mansuia. Menurut Pufendorf,  Fisik (diluar manusia) itu meliputi segala sesuatu yang real dan moral (di dalam diri manusia) segala sesuatu yang seharusnya ada dan tidak terdapat dalam realitas. Jadi manusia sebagai makhluk rasional, pasti dapat menyimpulkan apa yang baik dan apa yang buruk.
[151]    Skeptisisme yang dimaksudkan oleh Descartes tidak sama dengan pandangan Locke sebagai penganut empirisme yang kemudian diteruskan oleh David Hume. Menurut Locke, bahwa Skeptisisme dalam pemikiran hukum dapat menghancurkan prinsip kausalitas sebagai prinsip keperluan hidup, yang dibedakan dari pengamatan yang biasa mengenai rangkaian-rangkaian tertentu dari alam.
[152]    Pemikiran hukum modern bukan hanya untuk mengenali manusia dalam hidup yang monoton, tetapi  sudah dielaborasi dari stigma hukum kontenporer kearah menyelidiki hubungan fakta-fakta sosial hukum dengan negara, masyarakat secara keseluruhan serta hubungan antara bangsa-bangsa sebagai cikal terciptanya Hukum Internasional.
[153]    Kant sebagai seorang Rasionalis, menganggap bahwa pengetahuan itu hanya dimungkinkan oleh daya kemampuan subyek melalui bentuk-bentuk a-priori. Prinsip-prinsipnya dirinci dalam imperatif hipotetis (yang memerintahkan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bertindak) sedangkan imperatif kategoris (yang memerintahkan kita melakukan perbuatan tertentu, tanpa adanya hubungan dengan tujuan yang lain).
[154]    Menurut Kant, bahwa gejala hukum modern dapat didekati dalam dua jalan , yaitu jalan empiris dengan meneliti apa dalam kenyataan mengenai isi tatanan hukum dinegara-negara secara konkrit, pada waktu tertentu dan kawasan tertentu, dan jalan metafisik dengan meneliti prinsip-prinsip hukum pada umumnya yang berlaku secara universal. Lihat dalam Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta : Bina Aksara, 1988), hlm. 40-41.
[155]    Menurut Kant, bahwa manusia tidak mampu mengetahui realitas material selain melalui ilmu pengetahuan.
[156]    Filsafat idealisme dalam konsep pengembangannya, menghargai akal (rasio) dan jati diri manusia sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan. Disamping itu, filsafat idealisme menjadi salah satu peletak dasar dalam menjembatani lahirnya aturan hukum yang nyata, konkrit dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek pembuktiannya.
[157]    Karl Popper adalah seorang filsuf Austria, terkenal dengan bukunya yang terbit Tahun 1934 “Logik der Forschung” serta dalam terjemahan Bahasa Inggris Tahun 1959 : “ The Logic of Scientific Discovery”. Ajaran Rasionalisme Kritikal  dimaksudkan sebagai jawaban untuk menyelesaikan masalah yang dilemparkan oleh penganut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal, sebagai aliran yang berkembang dalam Doktrin Ajaran Positivisme Hukum.
[158]    Dalam tradisi ajaran ilmu, deduksi adalah cara kerja yang digunakan orang dari dalil-dalil umum untuk menyimpulkan hal yang khusus. Cara berpikir deduktif, cocok dalam tradisi alam berpikir Aliran Rasionalisme. Sementara induksi adalah sebagai cara kerja yang digunakan dengan memulai dari dalil-dalil khusus untuk mencapai dalil-dalil umum.
[159]    Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 2000), hlm. 13-15. Bahwa Hipotetis yang dikemukakan dalam mengamati fenomena yang terjadi di dasarkan pada fakta-fakta deduksi, sehingga bisa melahirkan suatu kesimpulan yang dapat dibuktikan.

Tidak ada komentar: