*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Tulisan Artikel :


Penggunaan Wewenang Menurut Hukum dan
  Praktik Administrasi Negara
Oleh : Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH. MH.



A.   Pengertian Wewenang

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats-en administratief recht”.[1] Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi.
Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.[2] (Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). “Bevoegdheid” dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah “wewenang” dan “bevoegdheid”. Istilah “bevoegdheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan “wewenang” selalu digunakan dalam konsep hukum publik.[3]
Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).[4]
Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas dalam wujudnya “nullum delictum sine lege” dewasa ini masih diperdebatkan asas berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya “wetmatigheid van bestuur” sudah lama dirasakan tidak memadai.[5]
Tidak memadainya asas “wetmatighid van bestuur” pada dasarnya berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir pendapatnya N.E. Algra bahwa : “pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan istilah “uitvoerende macht”, melainkan menggunakan istilah yang populer “betuur” yang dikaitkan dengan “sturen” dan “sturing”. “Bestuur” dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial”.[6]
Konsep “bestuur” membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power).[7] Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian.[8] Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi; kewenangan untuk memutus sendiri, dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).[9]
Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum.
Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen, pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara.
Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum. Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dan negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dan warga negara berkaitan dengan hak-hak dalam (grondrechten). Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: bentuk negara, bentuk pemerintahan,dan pembagian kekuasaan dalam negara.
Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atau pembagian horizontal yang meliputi : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara horizontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun horizontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstribusi.
Untuk Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pembagian Kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemberian wewenang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 17, Pasal 18 dengan amandir Pasal 18 A dan Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 yang diamandar dengan Pasal 20 A, dan Pasal 24 yang diamandar dengan Pasal 24 A, Pasal 24 B, dan Pasal 24 C.
Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (“administratiefrecht” atau “bestuursrecht”) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (“improper legal” or “improper illegal”), sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara “improper illegal” maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggung jawabkan.[10] Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.[11]

B.   Sumber dan Lahirnya Wewenang

Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadang-kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.[12]
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.[13]
Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:
1.    Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk kontribusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.
2.    Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.[14]
Pada delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain. Dalam Hukum Administrasi Belanda telah merumuskan pengertian delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam Pasal 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.[15] Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut delegataris. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. [16]
Pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.    Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2.    Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan.
3.    Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
4.    Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5.    Peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.[17]
Jika konsep delegasi seperti itu, maka tidak ada delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.

C.   Penggunaan Wewenang Menurut Hukum dan Praktik

 Di dalam praktik acap kali terjadi penggunaan wewenang berupa penyelundupan hukum, yakni mandat dialihkan menjadi delegasi semu.  Misalnya di Kota Makassar, untuk urusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan surat yang berkepala kop “DINAS PENGAWASAN BANGUNAN DAERAH”, tidak lagi menggunakan surat dengan kop WALIKOTA MAKASSAR. Dengan perubahan tersebut seolah-olah wewenang telah dialihkan kepada Dinas Pengawasan Bangunan Daerah, tidak lagi menjadi wewenang Walikota. Kedudukan Dinas sebagai bawahan Kepala Daerah, konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak memungkinkan karena Kepala Dinas merupakan bawahan Kepala Daerah.[18] Hal ini berimplikasi hukum pada tanggung jawab, yakni bisa jadi  tanggung jawab ada pada Kepala Dinas berdasarkan wewenang delegasian. Dan juga, tanggung jawab pada Walikota berdasarkan wewenang mandat.
Delegasi semu dijumpai juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Pasal 5 dinyatakan :
(1)      Kepala Daerah selaku Kepala Pemerintah Daerah adalah pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
(2)      Dalam pelaksanaan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah bertindak selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
(3)      Pelimpahan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun 2005 dinyatakan: “Kewenangan yang didelegasikan minimal adalah kewenangan yang berkaitan dengan tugas sebagai Bendahara Umum Daerah”. Dilihat dari tugas dan kewajiban dari Sekretaris Daerah yang tercantum dalam Pasal 121 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan :
Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewajiban kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengoordikasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Dari ketentuan tersebut, delegasi yang dilakukan oleh Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Negara tidak dapat diklasifikasikan sebagai delegasi karena Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah adalah bawahan/pembantu Kepala Daerah. Pada delegasi semu menimbulkan permasalahan dari segi hukum administrasi berkaitan dengan KTUN kepada siapa tuntutan diajukan, karena di dalam hukum administrasi Kepala Daerah sebagai pejabat yang mewakili pemerintah daerah baik eksternal maupun internal.
Hal tersebut berbeda dari aspek pidana, dalam hal terjadi mandat atau delegasi menurut hukum pidana yang bertanggung jawab adalah mandatoris atau delegatoris, karena dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Misalnya dalam pengelolaan keuangan daerah, Kepala Dinas melakukan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi tindak pidana korupsi maka Kepala Dinas tersebut yang harus bertanggung jawab secara pribadi, meskipun dilihat dari segi konsep delegasi wewenang hal tersebut keliru.
Dalam hal pertanggungjawaban terhadap si pelaku perlu dibedakan pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility) sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana.
Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat).
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, mandat itu oleh J.G. Brouwer berpendapat pada “atribusi”, kewenangan diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan legilatif yang independen. Kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang berkompeten. [19]
Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan yang mendasar dengan yang lain antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.[20]

D.   Pertanggungjawaban Wewenang

Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggungjawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responslibility”. Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.[21]
Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandans (pemberi wewenang).
Pada atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada di penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/ penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris.

Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris.
Dalam pengelolaan keuangan daerah (PP Nomor 58 Tahun 2005), Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran.
Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, apakah dalam delegasi? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak delegasi karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atas ke bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah.
Tidak dalam konsep delegasi pelimpahan wewenang Kepala Daerah kepada Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, pertanyaan yang muncul berkaitan dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (“melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan daerah atau perekonomian daerah (korupsi)?
Contoh kasus yang dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengolahan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan Kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya melainkan dengan cara melakukan penunjukan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan cara seperti yang berakibat merugikan keuangan negara. In casu siap saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban?
Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Kepala Dinas, Kepala Dinas kepada Kepala Seksi, Kepala Seksi kepada Panitia Lelang tidak pelimpahan wewenang dalam konsep delegasi, lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggung- jawaban menurut hukum pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru.[22] Pendapat tersebut didasarkan pada suatu argumen legalistic formal, seperti yang tertuang dalam Pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2005 dengan dinyatakan “delegasi”, dan juga tidak kalah pentingnya ditelaah secara teliti atas Surat Keputusan Kepala Daerah sebagai Sumber pelimpahan wewenang tersebut.
Di samping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip “personal responsibilitiy”, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Dari paparan di atas, dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang itu di dalamnya terkandung pertanggung-jawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang melaksanakan tugas dan atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum.
Selain itu tak kalah pentingnya dalam penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis yang didasarkan pada cara memperoleh wewenang/ kewenangan, perlu juga ada kejelasan tentang siapa “pejabat” tersebut dan yang kedua, bagaimana seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat? Dalam perspektif hukum publik, yang berkedudukan sebagai subyek hukum adalah jabatan (ambt) yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).
Selanjutnya jawaban atau pertanyaan kedua, seseorang disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan “beleid”, hakim tidak dapat melakukan penilaian.[23] Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana.
Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: “Gubernur Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan “dana talangan” untuk menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau “Beleid” yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan BI, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh Gubernur BI tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi obyek pemeriksaan.  Dan apabila terbukti, dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan wewenang diskresinya.  

1.    Penyalahgunaan Wewenang Dalam “Diskresi”

Konsep bestuur (besturen), kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (discretionary power atau Feies Ermessen). Di samping wewenang bebas dan wewenang terikat, Indroharto menambahkan wewenang yang sifatnya fakultatif. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.[24]
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi
Kewenangan untuk memutus sendiri dan Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).[25]
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus Ir. AT telah keliru dalam memahami pengertian penyalahgunaan wewenang dengan menyamakan pengertian perbuatan sewenang-wenang (abus de droit/willekeur). Padahal dalam hukum administrasi kedua asas tersebut memiliki perbedaan pengertian dan makna yang signifikan. Pengertian perbuatan sewenang-wenang adalah jika saja suatu tindakan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan itu tidak sampai pada tindakan sewenang-wenang.
Pendapat Indiyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
  1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
  2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.[26]
Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian.[27] Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
Indriyanto Seno Adji,[28] memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1.    Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3.    Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Pendapat Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutif oleh Indriyanto Seno Adji di atas pada point ke-3 mencampur adukan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur, padahal antara konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda konsep. Kesalahan prosedur terjai tidak selalu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Cacat prosedur yang in hearen dengan penyalahgunaan wewenang jika pelaksanaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.
Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau “detournement de pouvoir” adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tindakan sewenang-wenang “abus de droit” yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.[29] Pendapat dari Sjachran Basah terkandung pengertian yang sama untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Tolok Uukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai.[30]

2. Penyalahgunaan Wewenang dan “Cacat Prosedur”

Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.
Di atas telah dikemukakan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi). Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) mempergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Di dalam praktek peradilan sering dipertukarkan/dicampuradukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang.[31]
Sebagai illustrasinya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan pengadaan barang atau jasa oleh pemerintah. Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa oleh Instansi Pemerintah, yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir adalah Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, mensyaratkan bahwa pada prinsipnya pengadaan barang atau jasa tidak melalui tender, melainkan penunjukan langsung? Dalam kasus posisi itu jelas ada cacat prosedur dikarenakan menurut aturan hukum harus melalui ternder.
Adakah dalam kasus posisi tersebut ada unsur penyalahgunaan wewenang? Adanya cacat prosedur tidak secara mutatis mutandis penyalahgunaan wewenang terjadi, dengan kata lain terbuktinya cacat prosedur tidak serta merta penyalahgunaan wewenang terbukti. Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenang jika penggunaan wewenang tersebut menyimpang atau bertentangan dengan suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Ilustrasi lainnya adalah: pejabat administrasi tersebut melakukan penunjukan langsung (tidak tender) dikarenakan bertujuan untuk memenangkan salah satu rekanan tertentu, maka di situ sudah ada penyalahgunaan wewenang di samping terjadinya cacat prosedur.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas perlu dikemukakan contoh lain sebagai berikut: Walikota/Bupati telah menerbitkan IMB tetapi dalam permohonan IMB tersebut baru diketahui setelah adanya tuntutan oleh tetangga sekitar bahwa persyaratan pengajuan IMB tidak lengkap karena tidak disertai dengan persetujuan tetangga dekatnya (ijin H.O). Kasus posisi tersebut terjadi cacat prosedur, sehingga implikasi IMB yang telah diterbitkan/dikeluarkan dapat dicabut kembali atau dibatalkan.
Berbeda halnya diterbitkannya IMB dengan sudah mengetahui sebelumnya ada persyaratan yang tidak lengkap tetapi karena pejabat administrasi tersebut telah menerima suap, maka perbuatan tersebut sudah dapat diklasifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang mempunyai implikasi korupsi. Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara.














DAFTAR PUSTAKA


E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, 1985. Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Brouwer J.G. dari Schilder, 1998. A Survey of Ductch Administrative Low, Ars Aequi Libri, Nijmegeo.
Henry Campbell Black, 1990. Black’S Law Dictionary, West Publishing.
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, diterbitkan Laksbang Mediatama, Palangkaraya.
Phillipus M. Hadjon, 1997. Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Jakarta.
________________, III. Lot.cit. Lihat pada pendapat dari F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, p. 40 menyatakan “Er bestaan slechts twee wijzen waarop een orgaan aan een bevoegdheid kan komen, nomelijk attributie en delegatie”.
Philipus Mandiri Hadjon, 2004. Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional “Aspek Pertanggung jawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Konsep”, Semarang 6-7 Mei 2004.
Sjachran Basah, 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung.
Tatiek Sri Djatmiati, 2004. Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 53 ) tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mengalami  dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Unndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 (Pasal 5) tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan “… Kepala Daerah mendelgasikan sebagian atau seluruhnya kewenangannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah…..”.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, h. 82-85.


[1] E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht, Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985, p. 26.
[2] Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary, West Publishing, 1990, p. 133.
[3] Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997, h. 1 (Philipus M. Hadjon III).
[4] Ibid. h. 1-2.
[5] Philipus Mandiri Hadjon, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional “Aspek Pertanggung jawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Konsep”, Semarang 6-7 Mei 2004, h. 1. (Philipus M. Hadjon IV).
[6] Ibid. h. 2.
[7] Ibid. h. 3.
[8] Ibid. h. 2.
[9] Ibid. h. 6.
[10] Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, h. 62-63.
[11] Ibid.
[12] Philipus M. Hadjon, III. Lot.cit. Lihat pada pendapat dari F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Op.cit, p. 40 menyatakan “Er bestaan slechts twee wijzen waarop een orgaan aan een bevoegdheid kan komen, nomelijk attributie en delegatie”.
[13] Ibid.
[14] Indroharto, Op.cit, h. 91.
[15] J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M.Hadjon I, Op.cit, h. 4.
               [16] Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, diterbitkan Laksbang Mediatama, Palangkaraya, h.72.
[17] J.B.J.M. ten Berge, dalam Philipus M Hadjon.,  Op. Cit. h. 4-5.
               [18] Nur Basuki Minarno, Op. Cit., h. 72-79.
[19] Brouwer J.G. dari Schilder, A Survey of Ductch Administrative Low, Ars Aequi Libri, Nijmegeo, 1998, p. 16-18.
[20] Ibid.
             [21] Nur Basuki Minarno, Op.Cit. h. 75-76.
[22] Lihat Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan “… Kepala Daerah mendelgasikan sebagian atau seluruhnya kewenangannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah…..”.
[23] Philipus M. Hadjon I, Op.cit, h. 124-125.
[24] Indroharto, Op.cit., h. 99-101.
[25] Philipus M. Hadjon III, Op.cit., h. 6.
[26] Indriyanto Seno Adji II, Op.cit., h. 35.
[27] Philipus M. Hadjon II, Op.cit., h. 2
[28] Indriyanto Seno Adji II, Op.cit., h. 26
[29] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, h. 223.
              [30] Baca Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mengalami  dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Unndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 
[31] Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, h. 82-85.

Tidak ada komentar: