*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Terbitan Buku :

FILSAFAT HUKUM DAN TEORI HUKUM
(Analisis Perkembangan Kajian Ilmu Hukum)



Pengantar Penulis
Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH., MH


Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai norma-norma dan kaidah-kaidah sosial. Di dalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup1 , sebagai pedoman (penuntun) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelaahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat.2  Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia), dan manusia (warga negara) dengan negara.
Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara (pemerintah atau penguasa).3  Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat,  berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat.
Norma (aturan) hukum yang menguasai dan mengatur tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi, disebut sebagai tata hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis).4  Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan tata keteraturan dan ketertiban bagi masyarakat dalam berinteraksi.
 Dalam penerapannya, tata hukum tersebut dimaknai sebagai wujud kesepakatan antara warga negara (masyarakat) dengan pemerintah (penguasa), yang dibuat atau diciptakan untuk mengatur tata kehidupan sosial masyarakat. Pertanyaan dan masalah-masalah sering muncul dalam pemaknaannya. Pemaknaan yang cenderung tidak terselesaikan sampai sekarang ini, harus dibedah, dikaji, dan ditelaah secara mendalam dan dijawab sendiri oleh ilmu hukum dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal ini berkenaan dengan pertanggungjawaban kaidah ilmiah, yang berkenaan dengan keberlakuan dan penerapan hukum ditengah-tengah masyarakat.5 
Menjawab dan menyelesaikan pertanyaan serta masalah-masalah yang muncul, tidak bisa hanya dengan argumentasi dan analisa yang sederhana, tetapi memerlukan kajian yang mendalam. Salah satunya adalah dengan memasuki pintu kajian filsafat, yang mampu memberikan alasan apa, kenapa dan darimana sesuatu diperoleh (diperkenalkan).6 
Refleksi terhadap kajian filsafat diperlukan, karena pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah tersebut, berimplikasi terhadap keberlakuan tata hukum yang seharusnya dalam sosial kehidupan masyarakat, baik interaksi individual maupun kelompok.7  Kajian filsafat dengan sendirinya diawali pada aspek pemikiran yang tidak mampu dijawab dalam kajian ilmu hukum pada umumnya.
Jadi filsafat hukum sebagai bejana (wadah) bagi kaum juris, dalam mengapresiasikan ide dan pemikiran dalam menyelesaikan masalah-masalah dan pertanyaan yang berkenaan dengan perkembangan ilmu hukum. Sementara disisi lain, filsafat hukum sebagai dapur dan atau perapian, dalam mengolah dan menganalisis lebih lanjut masalah-masalah dan pertanyaan yang tidak dapat (belum dapat) dipecahkan atau diselesaikan oleh ilmu hukum. Sehingga tata hukum dalam keberlakuannya, betul-betul dapat berfungsi sebagai sarana dalam mengatur dan menuntun tata kehidupan social masyarakat yang ideal.8
Keberlakuan tata hukum sebagai tindakan kausalitas (sebab-akibat) antara alam, agama dan manusia dalam perkembangan ilmu hukum pada masa Yunani sampai Abad VI SM. Hukum dalam masa Yunani Kuno9 , hukum dipersepsikan dengan gejala-gejala alam sekitar. Sementara pada Abad Pertengahan dengan berkembangnya Ajaran Agama (Kristiani), hukum di analogikan sebagai hukum Tuhan. Hukum berasal dari ajaran Agama, sehingga berkembang dalam doktrin saat itu bahwa hukum adalah agama, dan agama adalah hukum serta aparat hukum adalah wakil Tuhan di dunia dalam menerapkan hukum.
Perkembangan pemikiran hukum dalam Abad Pertengahan (menjelang Abad XIII-XVI),10  banyak diwarnai oleh ketergantungan perkembangan ajaran agama. Pintu logika dan kemandirian akal manusia, terkooptasi dalam ajaran agama. Fungsi hukum di maknai sebagai sarana dalam mengatur tata pergaulan manusia, yang berasal dari doktrin alam dan agama. Tujuan hukum11  diformulasikan untuk membimbing manusia dalam mengenali arti hidup, interaksi sesama, serta dalam hubungan yang lebih luas lagi. Sehingga konsep awal dari manusia memahami hukum, diorientasikan pada sisi keadilan dalam jiwa (roh) alam dan doktrin agama.12 
Hukum adalah keadilan yang termanifestasikan dalam doktrin alam dan agama, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang berlaku mutlak dalam keberlakuan hukum ditengah-tengah masyarakat. Doktrin fungsi dan tujuan hukum ini, dikembangkan dalam sistem filsafat transcendental-mistis dan kesakralan religius dalam bingkai ruang metapisika. Aspek pembuktian akan keberlakuannya, senantiasa menarik diri dari sudut verifikasi akan kebenaran fakta-fakta sosial ditengah-tengah masyarakat, yang senantiasa berkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.13  Hukum dalam keberlakuannya, tidak melibatkan apreasiasi kemampuan akal (rasio) manusia secara mandiri. Konsep hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi yang ideal dalam perkembangan doktrin ajaran Hukum Alam.14  Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama.15
Hukum dipersepsikan dengan simbol ke-alam-an dan lukisan kemutlakan religius, tanpa bisa tersentuh keutamaan dan kemandirian akan akal (rasio) manusia. Stigma tujuan hukum untuk mencapai keadilan mutlak (absolute justice), kemudian dielaborasi pada sisi pencerahan pemikiran dengan mempergunakan akal dan rasio manusia.16  Sisi pencerahan ini, berkembang pada Zaman Renaissance dengan mengutamakan kemampuan akal dan pikiran manusia, baik dalam mengenali diri maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia (termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran hukum).17
Memasuki Zaman Renaissansce (mulai pertengahan Abad XVII), perkembangan pemikiran hukum memasuki babakan baru, dengan berkembangnya doktrin (filsafat) Rasionalisme dan Empirisme.18  Filsafat rasionalisme dan empirisme merupakan antithese ketidakpuasaan rasio manusia, akan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak nyata.19 
Kemandirian akal (rasio) manusia diperkenalkan, sebagai antithesa kejenuhan akan keterkungkungan nilai abstraksi logika. Abstraksi logika manusia yang menyangkut keangkeran alam dalam dekapan pesan-pesan religius kitab suci (ajaran agama) mulai terpinggirkan. Logika manusia menuju pada nilai konkritisisme dan rasionalisme, terhadap penyelidikan makna hidup dan alam kehidupan manusia. Keterkungkungan akal (rasio) manusia dilepas dengan evolusi pikir dengan mempergunakan logika, yang berasal dari pemberdayaan akal (rasio) untuk mengenali diri dan alam semesta. Pusat kajian (penelitian) sumber-sumber ilmu pengetahuan mengalami pergeseran, dari kemutlakan alam dan doktrin agama kepada pemberdayaan kemampuan dan keutamaan akal (rasio) dan keberadaan manusia dalam mengenali jati diri dan alam semesta.
Filsafat baru ini,20  mereduksi dan mengelaborasi sebagian konsep dasar ajaran filsafat transendental-mistis. Kemutlakan alam-religius dan keabstraksian pemikiran terpinggirkan, oleh kemampuan evolusi akal (rasio) dalam mengenali diri dan alam kehidupannya. Evolusi pikir dalam pengembangan kemampuan mempergunakan logika akal (rasio), mengiringi lahirnya filsafat empirisme, rasionalisme, idealisme, dan konkritisisme, Kemampuan logika akal (rasio) manusia dijadikan sebagai salah satu sumber, untuk memahami dan menyelidiki manusia dan alam kehidupan semesta.
Awal evolusi pikir dalam kehidupan manusia ditandai dengan lahirnya Zaman Renaissance,21  sebagai awal pencerahan dan penyegaran rasio dalam memaknai hidup. Kajian tentang norma atau tata hukum diilhami filsafat empirisme,22  yang menghendaki adanya suatu aturan yang nyata dan konkrit. Tujuan hukum bukan lagi semata-mata mengejar sisi keadilan yang abstrak, tetapi dielaborasi mencapai suatu kepastian hukum yang tetap, nyata dan konkrit.23 
Hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersipat tetap, yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat.24   Kodifikasi aturan hukum dalam bentuk tertulis, mulai diperkenankan secara resmi dalam keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat.25
 Hukum dijadikan sebagai roh kekuasaan dalam pelaksanaannya, karena kekuasaan tanpa adanya justifikasi dari aturan hukum yang tertulis, akan memberi dampak ketidakpercaryaan masyarakat terhadap penguasa yang ada26  atau kekuasaan yang cenderung melahirkan tirani (kesewenang-wenangan). Sementara aturan hukum  dalam implementasinya, memerlukan kekuasaan sebagai pengawal dalam penerapannya. Setiap stigma kebijakan27  yang dikeluarkan oleh penguasa, memerlukan landasan aturan hukum yang positif, sebagai alat paksa untuk memonopoli masyarakat dalam keterikatan.
Monopoli penguasa dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban, dijelmakan melalui kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam aturan hukum. Aturan hukum sebagai alat paksa penguasa, bertujuan untuk menata signifikansi antara interaksi  masyarakat dengan negara yang sesuai dengan cita dan tujuan bernegara.28  Akhirnya, cita dan tujuan bernegara, diharapkan sinkron dengan makna kehidupan manusia, yang terbingkai dalam kemakmuran, keamanan, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia dalam bernegara.

Catatan Kaki
===============
1     Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3. Sebagai kaidah (norma) hukum, dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa kalau tidak ditaati atau tidak dipatuhi.
2     Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992), hlm 101. Norma moral dipersepsikan sebagai suatu kaidah yang bersifat abstrak dan mengikat, karena menjadi suatu tuntunan yang mengacu pada aspek estetika dan nilai etis perilaku manusia dalam berinteraksi.
3     Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987),  hlm. 68. Menurut Austin, bahwa tata hukum adalah peraturan yang diperuntukkan kepada makhluk berakal (berpikir) dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka.
4     Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985), hlm. 13.
5     Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985),  hlm. 15.
6     Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm 119. Lihat juga dalam  Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988),  hlm. 10.
7     Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 79. Kajian Filsafat Hukum akan mengarahkan untuk membahasa ilmu hukum sampai kepada akar masalahnya, dengan diawali oleh ide-ide dan pemikiran yang berkembang dalam dalam keberlakuan tata hukum.
8     W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993), hlm. 1. Filsafat hukum membedah dan menganalisis permasalahan-permasalahan hukum, dengan berusaha menjawab dan menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh perkembangan teori hukum, dalam perkembangan pemikiran hukum yang dipaparkan oleh kaum juris.
9     Howard Davies dan David Holdcroft, Jurisfrudence : Texts and Commentary, (London : Butterworths, 1991), hlm. 153-152. Orang Yunani terkesan akan keteraturan dan ketertiban yang terdapat dalam alam kodrat, substansi ditempatkan dalam keyakinan alam kodrat, sehingga alam sebagai keanekaragaman setempat di dalam kerangka prima yang sejenis yang dijumbuhkan dalam pengertian ilahi. Istilah alam menunjuk pada sesuatu yang menyebabkan apa saja mengambil sikap serta keadaan seperti yang terdapat dalam kenyataan.
10     Edgar Bodenheir, Jurisprudence : The Philosophy and Method of the Law, (USA : Harvard University Press, 1978), hlm. 21-23.
11     Menurut Radbruch : bahwa tujuan hukum dipersepsikan sebagai cita hukum, yaitu : Keadilan, Kegunaan, dan Kepastian. Lihat dalam G. Radbruch, Rechtsphilosophie, (Stuttgart : Koehler Verlag, 1950), hlm. 209.
12     Aristoteles menganggap bahwa keadilan menurut hukum  sama dengan keadilan umum, yang diserahkan pada penilaian kebiasaan manusia dan alam semesta.
13     H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Clarendon Press, 1979), hlm. 183.
14     Doktrin hukum alam dari sisi substansi ajarannya, memperkenalkan akan ketundukan manusia terhadap gejala-gejala alam dan doktrin-doktrin agama dalam kemutlakannya, sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun akan usaha manusia dalam mengapresiasikan kemampuan akal (rasio) yang dimilikinya .
15     Aturan-aturan hukum yang diberlakukan berasal dari simbol-simbol kealaman dan doktrin-doktrin agama, yang senantiasa diperkenankan oleh pakar, ahli, dan ilmuan pada waktu itu. Manusia harus pasrah dalam penerimaannya, tanpa ada sedikitpun kesempatan untuk menerjemahkan aturan tersebut dengan mempergunakan kemampuan bedah akal (rasio) manusia.
16     Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hukum).
17     Zaman Renaissance diartikan sebagai zaman kelahiran atau kebangkitan kembali. Kebangkitan kembali dipersepsikan sebagai suatu kebangkitan kembali dari kesadaran manusia atas kemampuannya sendiri sebagai individu yang mempunyai rasio. Sekaligus Renaissance diartikan sebagai gerakan yang timbul sebagai reaksi atas sistem klerikalisme dan feodalisme di abad pertengahan, yang menganggap manusia hanya sebagai objek dan manusia terbelenggu dalam doktrin teologi (agama)
18     Kelahiran sistim filsafat rasionalisme dan empirisme, diawali pada pertengahan abad ke-XVII sebagai salah satu usaha manusia dalam berpikir rasional untuk mengenali diri dan alam semesta, dan melakukan penyeleidikan-penyelidikan ilmiah yang berdasar dengan fakta-fakta empiris, yang bisa diverifikasi secara ilmiah dari aspek pembuktiannya.
19     D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 67. Sebagai jawaban atas kritik keberlakuan system filsafat transcendental-mistis, yang senantiasa memenjarakan dan mengungkung keberadaan kemampuan rasio dan akal manusia dalam dekapan kemutlakan alam dan doktrin agama. Sehingga dalam perkembangannya Aliran Rasionalisme memperkenalkan keutamaan aspek rasional dan fakta-fakta yang ada.
20     Akal manusia merupakan sumber satu-satunya sumber hukum maupun dalam penyelidikan alam semesta. Logika manusia sebagai pengejewantahan perkembangan berpikir memegang peranan penting dalam pembentukan hukum.
21     Zaman Renaissance dijiwai filsafat rasionalisme. Penganutnya : Pufendorf, Thomasius, Zpinoza, Leibniz, Wolf, Mountesgiue, Voltaire, dan J.J. Rousseau serta puncaknya pada Immanuel Kant pada abad 17-18, yang mengutamakan akal budi (rasio) manusia sebagai sumber kekuasaan tentang hidup dan dunia.
22     Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hukum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak.
25     Jean Bodin, bahwa dalam negara yang berdaulat terdapat suatu kekuasaan atas warga negara, yang tidak dibatasi oleh kekuasaan lain selain negara.
26     Kekuasaan sebagai pondasi bagi hukum dalam keberlakuannya, karena mendapat legitimasi oleh institusi yang berwibawa.
27     Hukum adalah suatu organisasi paksaan, sebab melekat penggunaan paksaan di dalam hubungan antar manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 19.
28     Von Jhering berpendapat, bahwa negara dan hokum mendapat asalnya dari suatu motif egoistis, yakni paksaan, karena negara adalah organisasi kekuasaan yang memaksakan.

Tidak ada komentar: