*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Tulisan Artikel :


PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Oleh. Agussalim Andi Gadjong

ABSTRAK
Desentralisasi bermakna terjadinya pemencaran kekuasaan atau “areal division of power” melalui mekanisme “attributive, delegative, mandaat”, yang bermuara pada konsep “scope of power” dalam wujud luas atau lingkup kekuasaan dan konsep “domain of power” dalam wujud subyek, organ, jabatan pemangku kewenangan. Disamping itu, desentralisasi juga bermakna penguatan kedaulatan rakyat (pemerintahan demokrasi), tatkala pemerintahan di daerah berjalan secara efektif dalam pemberdayaan untuk kemaslahatan rakyat. Kewenangan pemerintahan daerah secara “delegatori” dari konstitusi dan UU organik, meliputi kewenangan zelfwetgeving dan zelfbestuur. Namun, hakekat suatu negara kesatuan, pendelegasian kewenangan tidak bermakna lepas dari kontrol pemerintah pusat, karena legal standing pemerintahan daerah bersifat “sub-ordinate” terhadap pemerintah pusat. Format inilah yang mempengaruhi karakter hubungan pusat dan daerah di NKRI selama ini,  sebagai perpanjangan tangan kebijakan pemerintah pusat di daerah.


PENDAHULUAN
Sejarah penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi  penting. Otonomi daerah bukan sekedar menjamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi merupakan dasar pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bahkan tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia (Bagir, 1993 : 46, Gadjong, 2007 : 72).
Kaidah Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian “Perkataan khusus” memiliki cakupan yang luas, antara lain karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus (Aceh dan  Irian Jaya dahulu sekarang Papua) (Bagir, 2001 : 15, Setya, 2000 : 1).
Sebelum Pasal 18 tersebut diamandemen, kaidahnya hanya menegaskan pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat istimewa. Kiadah Kata dasar permusyarawatan dalam sistem pemerintahan negara tidak diragukan lagi  mengandung makna demokrasi (Bhenyamin : 11). Namun, sebelum reformasi, penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dijalankan sebagaimana mestinya, daerah tidak diberdayakan untuk mandiri  melainkan dibuat serba tergantung dan harus mematuhi  kehendak pusat. Urusan  rumah tangga daerah  terbatas dan  serba diawasi. Keuangan  daerah serba  tergantung pada kebaikan hati pemerintah pusat. Hal  semacam ini menimbulkan  kekecewaan luar biasa pada daerah (Bagir, Op.Cit,,: 4).
Amanat TAP MPR NO. XV/MPR/1998 meletakkan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dan dikonkritkan lagi dalam pemberlakuan secara positif UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan kemajemukan masyarakat dalam menyelenggarakan bahkan mengutamakan  pada pelaksanaan desentralisasi. Secara umum, kaidah-kaidah yang termaktub di dalam UU tersebut, memberikan kewenangan secara pormil kepada Pemerintahan di Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang di dalamnya terkandung 3 (tiga) hal utama yaitu : 1) Pemberian tugas dan kewenangan  untuk melaksanakan sesuatu yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah; 2) Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif dan menetapkan sendiri cara-cara pelaksanaan tugas tersebut; 3) Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut, mengikut sertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sejarah perjalanan ketatanegaraan Indonesia, pengaturan otonomi daerah telah mengalami kemajuan demikian pesat, di mana selain melaksanakan otonomi luas, nyata dan tanggung jawab, tetapi juga mengatur (secara hukum) otonomi khusus yang diberikan kepada dua Daerah Provinsi yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya seperti ditentukan dalam TAP NO. IV/MPR/1999. Amanat dari TAP MPR tersebut, telah disahkan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara No. 114 tahun 2001, 9 Agustus 2001). Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada pemerintah  Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang berbeda dari kewenangan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.
Kewenangan daerah dalam melaksanakan otonomi khusus yaitu menyelenggarakan wewenang yang masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.  Pengertian khusus  pada umumnya penyelenggaraan  secara khusus sesuai dengan karakteristik dan kondisi daerah yang bersangkutan. Pengaturan mengenai otonomi khusus bagi daerah tertentu dalam negara kesatuan  Republik Indonesia, mencakup segala  segi, sehingga setiap daerah dapat menuntut  suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan faktor-faktor  tertentu tanpa  suatu kriteria  umum yang ditetapkan dalam undang-undang. Apalagi  jika kekhususan  itu mengandung  muatan  privelege  tertentu  yang  tidak  dimiliki  daerah  lain.     Hal   ini   disebabkan  aspirasi masyarakat di daerah itu beragam, karena potensi, situasi dan keadaan di setiap daerah tidak sama atau satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pandangan yang menggeneralisasikan dan menyamaratakan kemampuan potensial, situasi dan keadaan terhadap setiap daerah merupakan hal yang salah kaprah (Sjachran, 1986 : 36).
Dalam negara kesatuan, seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditemukakan adanya 2 (dua) cara yang dapat menghubungkan antara Pusat dan daerah. Pertama, sentralisasi, dimana segala urusan, fungsi, tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi, Kedua, desentralisasi, di mana urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah (Gadjong, 2007, Op. Cit : 79, Sarundajang, 1999, : 80.).
Desentralisasi adalah salah satu bentuk (sendi)  organisasi negara, oleh karena itu desentralisasi berkaitan erat dengan pengertian negara. Negara adalah “a legal order” (tatanan hukum) (Hans Kelsen, 1973 : 303.). Dengan demikian desentralisasi itu menyangkut sistem tatanan hukum dalam suatu negara dan sebagai dasar susunan organisasi dapat dijumpai pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal.
Untuk penyelidikan  ini desentralisasi  dibatasi dalam kaitannya dengan negara yang berbentuk kesatuan. Demikian juga persoalaan otonomi khusus lebih dibatasi pada Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  berdasarkan UUD 1945. Pembentukan daerah otonom secara simultan merupakan kelahiran status otonomi yang didasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat yang berada di wilayah tertentu. Aspirasi tersebut terwujud  dengan diselenggarakannya desentralisasi. Desentralisasi  disebut pula otonomisasi, karena otonomi diberikan kepada masyarakat dan bukan daerah atau Pemerintah Daerah (Bhenyamin, 2001 : 4.).
Dengan demikian desentralisasi menjelma manjadi Daerah Otonom, sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sedangkan Otonomi Daerah merupakan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang bersifat lokal menurut prakarasa sendiri berdasarkan  aspirasi masyarakat,  sesuai  dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ateng, 1993 : 2. Trabani, 1986 : 7, Amrah, 1986 : 6, Algra, 1983 : 37, Campbell, 1991 : 90).
Istilah “Otonomi” mempunyai makna kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan (Ateng, 1985 : 23). Bagir Manan (Bagir, Op.Cit,,: 9), kebebasan dan kemandirian bukan kemerdekaan. Untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian tersebut berkaitan erat dari berbagai aspek  di antaranya hubungan kewenangan, hubungan pengawasan, hubungan keuangan. Secara prinsipil dalam otonomi  terdapat 2 (dua) hal, yaitu di satu pihak hak dan wewenang dalam penyelenggaraan otonomi, dan di lain pihak tanggung jawab dalam penyelenggaraan otonomi (Riant, 2000 : 46).
Otonomi selalu dilihat sebagai suatu hak atau kewenangan dari suatu daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, otonomi yang dipergunakan adalah otonomi nyata dan bertanggungjawab yang merupakan salah satu prinsip untuk mendukung terwujudnya sistem penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. 
OTONOMI DAERAH DAN DEMOKRASI
Istilah demokrasi dalam Kamus Istilah Hukum  Fokcema Andreae diartikan, bahwa “democratie, demokrasi, pemerintahan rakyat; bentuk pemerintahan yang memberikan hak-hak ikut berbicara kepada yang diperintah oleh yang memerintah, pengawasan atas kebijaksanaan pemerintah dilakukan oleh wakil rakyat yang dipilih. Demokrasi sebagai asas yang dipergunakan dalam sistem ketatanegaraaan berasal dari Yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintah. Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya pengertian demokrasi pada asasnya tidak terjadi perubahan yaitu suatu sistem pemerintahan dimana dipegang oleh rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikutsertakan dalam pembicaraan masalah-masalah pemerintahan (Gadjong, 2008 : 37, Juniarto, 1984 : 22).
Secara praktis demokrasi dikemukakan oleh Abraham Lincon sebagai “ as government of the people, by the people, for the people”, (Ebenstein, 1967 : 3). yang mengandung arti bahwa pemerintahan dimiliki dan dijalankan sendiri oleh rakyat (rakyat memerintah diri sendiri) (Bagir, 1999 : 12).  Dalam hubungan ini, Sri Soemantri menyatakan : “Kita telah mengetahui bahwa Demokrasi Pancasila mempunyai 2 macam pengertian, yaitu baik yang formal maupun yang materil. Sebagai realisasi pelaksanaan demokrasi Pancasila dalam arti formal, UUD 1945 menganut apa yang dinamakan indirect democracy. Yang dimaksud dengan indirect democracy adalah suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan MPR; dan demokrasi dalam arti pandangan hidup atau demokrasi sebagai falsafah bangsa (democracy in philosophy)” (Sri Soemantri, 2001 : 47).
Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang mengacu pada nilai normatif konstitusi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo, bahwa Ciri khas demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya” (Miriam Budiardjo, 2000 : 52). Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan ketiga  yang berbunyi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 
Dalam negara berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (negara hukum demokratis), (Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993 : 128). mengandung pengertian bahwa kekuasaan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pula menyatakan bahwa hukum adalah supreme dibanding semua alat kekuasaan yang ada (Bagir, 1994 : 8). Dengan kata lain, negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasan hukum (A. Hamid S. Attamimi, 1992 : 8). Muh. Yamin menulis bahwa : Di dalam susunan  negara yang demokratis dibutuhkan pemencaran kekuasaan pemerintahan bagian pusat sendiri (horizontal) dan pembagian kekuasaan  antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi  dan  desentralisasi  berlawanan  dengan  asas  yang hendak menghimpun segala-galanya pada pusat pemerintahan (Muh. Yamin, 1982 : 145). Pendapat  di atas, menunjukkan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi, karena tanpa otonomi dan desentralisasi negara bukan lagi demokrasi melainkan dapat menjadi otokrasi (Syahda, 1999 : 7). 
Sistem desentralisasi dengan memberikan hak otonomi kepada Daerah-daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan bukan sekedar reaksi terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda yang serba sentralistik, melainkan atas dorongan untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis dimana seluruh rakyat bertangggungjawab (Bagir, 1974 : 37). Otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis, artinya   di  negara   demokrasi   dituntut   adanya   pemerintah  yang    memperoleh   hak   otonomi.   
Ada dua hal penting dalam melihat dan mengkaji kekuasaan dan kedaulatan, yaitu mengenai lingkup kekuasaan (scope of power) yang menyangkut soal aktivitas atau kegiatan yang tercakup dalam kedaulatan serta jangkauan kekuasaan (domain of power) berkaitan dengan siapa yang menjadi subyek dan pemegang kekuasaan (sovereign). Lebih lanjut Nagel menegaskan bahwa jangkauan kekuasaan (kedaulatan) meliputi dua hal penting, yaitu siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara, ini bisa menyangkut mengenai seseorang atau sekelompok orang, sesuatu badan yang melakukan legislasi dan administrasi dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan serta apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi itu (Nagel, 1975 : 75, Cohen, 1982 : 41, Gadjong, 2007, Op.Cit. : 127).
Pembagian kekuasaan dalam negara dibahas lebih lanjut oleh Friedrich dalam paham konstituonalismenya, dimana pembagian dan pemisahan, tergantung daripada prinsip-prinsip yang dianut dalam landasan hukum suatu negara. Pembatasan kekuasaan termaktub dalam konstitusi karena konstitusionalisme merupakan gagasan yang menyatakan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk menjamin agar kekuasaan yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan tidak disalahgunakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Sejalan dengan ini, Sri Sumantri menyatakan bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau UUD, yang di dalamnya lazim diatur tentang pembagian kekuasaan, baik secara vertikal maupun horisontal (Friedrich, 1967 : 5, Sri Sumantri, 1988 : 2).
Sementara menurut Arthur Mass, melihat pembagian kekuasaan dalam dua hal, yaitu : Capital Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara horisontal atau sering dipersamakan dengan pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan Areal Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal (Arthur Mass, Op. Cit., : 10). Pembagian dan pemisahan, tergantung daripada prinsip-prinsip yang dianut dalam landasan hukum suatu negara. Kekuasaan pemerintahan diartikannya sebagai total capacity to govern which is or can be exercised by a given political community. Kekuasaan pemerintahan ini, dapat dibagi diantara badan-badan resmi di pusat pemerintahan dan diantara wilayah dengan cara yang berbeda-beda (Suny, 1977 : 2, Rodee, 1988 : 1, Jimly, 2003 : 3).
Sementara Smith melihat bahwa tujuan dalam areal division of power, dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut pandang pemerintah pusat (pemerintah) yang meliputi empat tujuan utama yang diharapkan, yaitu (1) pendidikan politik; (2) pelatihan kepemimpinan; (3) penciptaan stabilitas politik; serta (4) mewujudkan demokratisasi sistim pemerintahan di daerah. Konsep kekuasaan atau kewenangan pemerintah daerah, menyangkut tentang struktur hukum yang bisa berwujud format bentuk dan susunan negara, pemerintahan di daerah, lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta aparatur pemerintahan pusat dan daerah.
Pembagian kekuasaan dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut proses yang dianut dalam pemerintahan. Cara capital division of powers (CDP) atau pembagian kekuasaan secara horisontal, dilakukan dimana proses legislatif, eksekutif dan yudikatif, masing-masing diberikan kepada satu badan. Sementara, cara areal division of power pembagian kekuasaan secara vertikal, dilakukan dimana proses legislatif hanya dapat diberikan kepada pusat atau secara bersama-sama kepada unit yang terdesentralisasi. Oleh karena itu, Hans Antlov menyatakan bahwa kekuasaan daerah otonom diterima dari atas dan dapat ditarik kembali melalui UU yang baru, tanpa persetujuan daerah otonom (Antlov, 1998 : 8).
Kedua, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut fungsi atau aktivitas pemerintahan. Dengan cara areal division of power atau secara vertikal, fungsi-fungsi pemerintahan tertentu (seperti moneter dan hubungan luar negeri) diberikan kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi pemerintahan yang lain kepada negara bagian dan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu lagi kepada pemerintah daerah, sedangkan cara capital division of powers atau secara horisontal adalah fungsi-fungsi pemerintahan tertentu dapat diberikan kepada departemen-departemen pemerintahan yang dibentuk atau diadakan (Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, 1982 : 99-100, Kranenburg, 1951 : 154-155, Bagir, 2001 : 35).
Ketiga, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi lebih lanjut menurut konstituensi (constituency). Cara capital division of powers atau horisontal adalah suatu badan atau ‘kamar’ yang lebih luas dalam legislatif dapat dibuat untuk mewakili suatu konstituensi atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan kepresidenan mewakili konstituensi yang lain (Arthur Mass, Op. Cit., : 13 & 17, Dupre, 1956 : 89).
OTONOMI DAERAH DAN NEGARA HUKUM
Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan konstitusionalisme terhadap sistem kekuasaan yang  absolut. Dalam kepustakaan Indonesia, sering diterjemahkan rechtsstaat atau the rule of law dengan negara hukum. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak abad XIX, meskipun   pemikiran  tentang itu  sudah  lama ada (Hadjon, 1987 : 72). Sedangkan paham the rule of law populer setelah diterbitkan buku Albert Venn Dicey pada tahun 1885, dengan judul Introduction to Study of the Law of the Constitution. Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yang sifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Sebaliknya, the rule of law berkembang secara evolusioner, yang bertumpu atas sistem hukum  common law. Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam perkembangannya  tidak dipersoalkan lagi, karena mengarah pada tujuan  yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Immanuel Kant, dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham  Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwakerstaat  atau nachtwachterstaat (Tahir Azhari, 1992 : 73-74, Padmo, 1989 : 151).
Kemudian, Paul Scholten mengemukakan paham  negara hukum, dengan membedakan tingkatan unsur-unsur negara hukum. Unsur yang dianggap penting disebut asas, dan turunannya disebut dengan aspek. Unsur utama (asas) negara hukum paham  Scholten, adalah (a) ada hak warga terhadap negara, yang mengandung dua aspek;  pertama, hak individu pada prinsipnya berada diluar wewenang negara; kedua, pembatasan terhadap hak tersebut hanyalah dengan ketentuan undang-undang, berupa peraturan yang berlaku umum; (b) adanya pemisahan kekuasaan. Scholten, dengan mengikuti Montesquieu mengemukakan tiga kekuasaan negara yang harus dipisahkan satu sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan mengadili.  
Sri Soemantri menguraikan bahwa unsur-unsur terpenting dari Negara Hukum yaitu: 1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan; 2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3) Adanya pembagian kekuasaan; 4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle). Lebih lanjut Padmo Wahyono menyatakan bahwa di dalam negara hukum terdapat suatu pola sebagai berikut : 1) Menghormati dan melindungi hak-hak manusia; 2) Mekanisme kelembagaan negara yang demokratis; 3) Tertib hukum; 4) Kekuasaan Kehakiman yang bebas (Sri Soemantri, 1992 : 29-30, Padmo, 1979 : 6, Sjachran, 1985 : 148).
Bagir Manan & Kuntana Magnar menyatakan bahwa dalam negara hukum mengandung pengertian kekuasaan itu dibatasi oleh hukum dan sekaligus menyatakan bahwa hukum adalah supreme di bandingkan dengan alat kekuasaan yang ada. Hal ini berarti bahwa ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat dan the rule of law) mengandung esensi bahwa hukum adalah “ supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum ( subject to the law ). Tidak ada kekuasaan di atas hukum ( above to the law ), semuanya ada di bawah hukum ( under the rule of law). Dalam hubungan inilah tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power). Karena itu ajaran negara berdasar atas hukum memuat unsur pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Konsep negara hukum mengalami pertumbuhan menjelang abad XX yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (Welfare State), tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin (S.F. Marbun & Moh. Mahfud M.D, 1987 : 45). Piet Thoenes memberikan suatu defenisi tentang Welfare State sebagai berikut : Berkenaan dengan pertumbuhan negara kesejahteraan modern atau negara hukum dalam arti materil, membawa akibat ikut campurnya pemerintah dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang berarti pemerintah mempunyai tugas servis publik ( bestuurzorg). Sjachran Basah menyatakan bahwa …tugas negara yang khusus di lapangan penyelenggaraan kesejahteraan umum untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang merata materiil serta spritual merupakan tugas servis publik.
TEORI DAN ASAS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Strong mengemukakan, bahwa negara kesatuan merupakan bentuk negara, di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan pada satu badan legislatif nasional atau pusat. Ciri yang melekat pada negara kesatuan yang bersifat esensil, yaitu  (1) adanya supremasi dari parlemen atau lembaga perwakilan rakyat pusat dan (2) tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absencee of subsidiary soveriegn bodies). Kedaulatan yang terdapat dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi-bagi.
Perbedaan antara asas sentralisasi dan asas desentralisasi adalah terletak pada wewenang memutuskan tentang masalah urusan negara serta diantara jabatan-jabatan yang ada. Wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam satuan territorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur sendiri sebagian urusan pemerintahan.
Kekuasaan pemerintah pusat tidak terganggu dengan adanya kewenangan pada daerah otonom yang diberikan otonomi yang luas dan tidak bermakna untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat (Guzman, Log. Cit). Pemberian sebagian kewenangan (kekuasaan) kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir, kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Jadi, kewenangan yang melekat pada daerah tidaklah berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di tangan pemerintah pusat. Hubungan pusat dengan daerah dalam suatu negara kesatuan yang gedecentraliseerd, pemerintah pusat membentuk daerah, serta menyerahkan sebagian dari kewenangannya kepada daerah.
1. Penerapan Asas Desentralisasi.
Pemaknaan asas desentralisasi menjadi perdebatan dikalangan pakar dalam mengkaji dan melihat penerapan asas ini dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Perdebatan yang muncul diakibatkan oleh cara pandang dalam mengartikulasikan sisi mana desentralisasi diposisikan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Dari pemaknaan asas desentralisasi masing-masing pakar tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal, diantaranya : (1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah pemerintahan.
Pertama, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan dan kewenangan. Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan (urusan) pemerintah pusat kepada daerah (Laica Op. Cit., : 151). Kedua, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan kekuasaan dan kewenangan. Desentralisasi adalah sebagai pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah. Ketiga, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi merupakan pembagian, penyebaran, pemencaran, pemberian kekuasaan, dan kewenangan. Masalah desentralisasi berujung pada pembagian kekuasaan atau kewenangan dalam suatu pemerintahan. Sementara, Hofman memberi istilah administrative decentralization yang merupakan langkah dalam menyebarkan kewenangan untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan, yang pada masa lalu disentralisasikan atau dipusatkan pada pemerintah pusat (Hofman, Op. Cit., : 327). Keempat, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi merupakan sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah. Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif dan administrasi sendiri. Jadi, desentralisasi menyangkut pembentukan daerah otonom dengan dilengkapi kewenangan-kewenangan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu.
Sementara, dalam kajian Hukum Tata Negara, pemerintah yang berdasarkan desentralisasi disebut staatskundige decentralisatie atau desentralisasi politik, dimana rakyat melalui wakil-wakilnya turut serta dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Pelimpahan kewenangan (delegation of authority) dalam staatskundige decentralisatie akan berakibat beralihnya kewenangan pusat secara tetap kepada daerah (Burns, 1994 : 4, Jon Pierre dan B.Guy Peters, 2000 : 1).
Menurut Kelsen, bahwa cita-cita kedaulatan rakyat dapat juga terwujud dalam suasana sentralisme, tetapi dia juga menyebutkan : “decentralization allows a closer approach to the idea of democracy the centralization”. Akan tetapi, desentralisasi merupakan sarana yang terbaik dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Jadi proses desentralisasi sebenarnya terjadi pembagian atau penyerahan urusan (functions) dan kewenangan (authority) antara tingkat pemerintah lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga di tingkat yang lebih rendah atau kepada individu. Desentralisasi fungsional adalah distribusi kewenangan dan tanggungjawab pemerintahan di antara berbagai fungsi-fungsi pemerintahan.
Salah satu tujuan desentralisasi yang paling universal adalah untuk mendorong terciptanya demokratisasi dalam pemerintahan. Dalam hal ini, demokrasi dan desentralisasi dipandang sebagai suatu strategi untuk menciptakan stabilitas politik dan menciptakan suatu mekanisme institusional dalam membawa kekuatan non-pemerintah untuk terlibat dalam proses pemerintahan secara formal. Pelaksanaan pemerintahan di daerah merupakan salah satu amanat dari konstitusi, yang dilandasasi oleh sendi desentralisasi. Desentralisasi sebagai pilar utama pemerintahan di daerah, dari waktu ke waktu selalu mengalami distorsi. Distorsi ini, diakibatkan pergantian konstitusi (hukum dasar) penyelenggaraan negara, peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah, serta kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
Sementara, pemaknaan desentralisasi dapat dilihat dalam UU pemerintahan daerah yang pernah berlaku dan berlaku positif sekarang ini, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959, dan UU RI No. 18 Tahun 1965 tidak menegaskan secara jelas dan eksplisit dalam klusula pasal-pasal batang tubuhnya  mengenai pengertian desentralisasi. Sementara UU No.5 Tahun 1974 menegaskan desentralisasi sebagai penyerahan urusan, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32  Tahun 2004 menegaskan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan.
Dari dimensi makna yang terlihat dari kaidah UU di atas, jelas memperlihatkan bahwa desentralisasi memberikan ruang terjadinya penyerahan kewenangan (urusan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (dari daerah tingkat atas kepada daerah tingkat di bawahnya). Pengertian desentralisasi di sini hanya sekitar penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, jadi hanya ada satu bentuk otonomi yaitu otonomi. Otonomi hanya ada kalau ada penyerahan (overdragen) urusan pemerintahan kepada daerah. Ketegangan atas tarik ulur kewenangan yang muncul, semuanya mengacu kepada pembagian kewenangan, dan siapa yang paling berwenang mengurus atau mengatur urusan tersebut.
2. Penerapan Asas Dekonsentrasi.
Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakannya sendiri pula. Pendelegasian dalam dekonsentrasi berlangsung antara petugas perorangan pusat di pusat kepada petugas perorangan pusat di daerah.
Menurut Laica, bahwa dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat. Suatu “delegatie van bevoedgheid” bersifat instruktif. Pelimpahan kewenangan (delegation of authority) dalam staatskundige decentralisatie, berakibat beralihnya kewenangan pemerintah pusat secara tetap kepada pemerintah daerah.
Pada hakekatnya, alat-alat pemerintah pusat ini melakukan pemerintahan sentral di daerah-daerah. Penyerahan kekuasaan pemerintah pusat kepada alatnya di daerah karena meningkatnya kemajuan masyarakat di daerah-daerah. Sementara, Bayu mengartikan dekonsentrasi sebagai desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie), bahwa pemencaran kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan (ambt) dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja. Dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi, dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi tetapi desentralisasi tidak selalu berarti dekonsentrasi. Stroink berpendapat bahwa dekonsentrasi merupakan perintah kepada para penjabat pemerintah atau dinas-dinas yang bekerja dalam hirarki dengan suatu badan pemerintah untuk mengindahkan tugas-tugas tertentu dibarengi dengan pemberian hak mengatur dan memutuskan beberapa hal tertentu dengan tanggungjawab terakhir tetap berada pada badan pemerintah sendiri (Ateng, 1991 : 4).
Dalam kajian Hukum Tata Negara, pemerintah yang berdasarkan asas dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat. Suatu delegatie van bevoedgheid bersifat instruktif.
Pemaknaan asas dekonsentrasi berdasarkan dengan UU pemerintahan daerah yang pernah berlaku dan berlaku positif sampai sekarang ini, antara lain UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres RI No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun 1965 tidak menegaskan secara jelas dan eksplisit dalam batang tubuhnya, sedangkan UU No.5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32  Tahun 2004 menegaskan secara jelas bahwa dekonsentrasi sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan. Jadi, dimensi makna yang tercipta adalah adanya pelimpahan kewenangan yang secara fungsional dari pejabat atasan (dari pejabat pusat kepada pejabat di daerah).
3.  Penerapan Asas Tugas Pembantuan (Medebewind)
Walaupun sifat tugas pembantuan hanya bersifat “membantu” dan tidak dalam konteks hubungan “atasan-bawahan”, tetapi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak mempunyai hak untuk menolak. Hubungan ini timbul oleh atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan, termasuk yang diperintahkan dalam rangka tugas pembantuan.
UU No. 22 Tahun 1948, menyatakan bahwa daerah diserahi untuk menjalankan kewajiban pusat di daerah, maupun daerah yang lebih atas kepada daerah yang tingkatannya lebih rendah”. UU No. 1 Tahun 1957 menyatakan, tugas pembantuan adalah sebagai menjalankan peraturan perundang-undangan”. UU No. 18 tahun 1965 menyatakan, tugas pembantuan sebagai pelaksanaan urusan pusat atau daerah yang lebih atas tingkatannya. UU No.5 Tahun 1974 menegaskan, tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah desa oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. Sementara, UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dari paparan pengertian tugas pembantuan yang termaktub dalam UU tersebut diatas, hanya UU No. 1 Tahun 1957 yang dengan tegas menyatakan bahwa tugas pembantuan adalah untuk menjalankan peraturan perundang-undangan (yang lebih atas tingkatannya). UU No. 5 Tahun 1974 memuat dua hal penugasan dan pertanggungjawaban yang bisa mengandung pemahaman kaidah dekonsentrasi, yang menyiratkan adanya hubungan atasan-bawahan, yang secara yuridis pendekatannya tidak sesuai dengan kaidah tugas pembantuan. Jadi menurut kajian hukum, maka yang lebih tepat adalah kaidah tugas pembantuan yang diketengahkan dalam UU No. 1 Tahun 1957, karena menyiratkan bahwa hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam tugas pembantuan semata-mata karena ditentukan atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan.
Tugas pembantuan dari pengertian yang ditegaskan dalam UU No. 5 Tahun 1974, mengandung unsur : a) ada urusan pemerintahan dari satuan pemerintahan tingkat lebih atas yang harus dibantu pelaksanaannya oleh pemerintah daerah; b) bantuan tersebut dalam bentuk penugasan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan; c) pemerintah daerah yang membantu harus mempertanggungjawabkan kepada yang dibantu. Tugas pembantuan dapat dijadikan sebagai terminal menuju “penyerahan penuh” suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh. Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan desentralisasi dalam melihat hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seharusnya bertolak dari : (1) tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi.
Jadi, pertanggung- jawaban mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggungjawab daerah yang bersangkutan; (2) tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan, karena dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi, karena daerah punya cara-cara sendiri melaksanakan tugas pembantuan; serta (3) tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang mengandung unsur penyerahan, buka penugasan, yang dapat dibedakan secara mendasar bahwa kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.
PENUTUP
Analisis kajian otonomi daerah dikalangan pakar, sering terjadi perbedaan penafsiran, baik pengertian otonomi itu sendiri maupun prinsip-prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik, namun dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri). Porsi otonomi daerah tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab, tetapi harus diwujudkan dalam format otonomi daerah yang seluas-luasnya.
Format otonomi yang seluas-luasnya mengundang perdebatan dikalangan pakar. Di satu sisi, konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya berkonotasi untuk membangun image bakal munculnya ide negara bagian dalam negara federasi (federal state), sementara sisi lainnya menganggap bahwa hal tersebut beralasan karena dengan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, rakyat cenderung tidak lagi membayangkan negara federal. Konsep otonomi yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya untuk  menghindari ide negara federal. Sekalipun ide negara federal tidak dapat dipandang secara apriori, sebagai sesuatu hal yang tabu dalam membangun kehidupan bernegara bagi rakyat banyak. Cakupan otonomi seluas-luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan 3 (tiga) hal, yaitu  harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa; harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan; harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Jika dirangkaikan secara sistematik, tujuan dan cita-cita pelaksanaan pemerintahan di Indonesia bersendikan sistim desentralisasi. Sistim tersebut diyakini sebagai salah satu sumber pelaksanaan pemerintahan demokratis, yang secara langsung melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak bisa ditawar karena kedudukan rakyat menjadi sentral dalam kehidupan bernegara.







DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundag-undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum), (Bogor : Ghalia Indonesia, 2007).
......................................, Otonomi Daerah dalam Jebakan Re-Sentralisasi Kekuasaan, (Makassar, PT. Umitoha Ukhuwah Grafika, 2008).
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.
Ateng Syafruddin, Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya, (Bandung, Mandar Maju, 1991)
Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung, 1985.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1993.
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia & Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Bagir Manan, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta, FH-UII, 2001).
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Krawang, 1993.
Bhenyamin Hoessein, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah,  Makalah, Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta.
Bhenyamin Hoessein, Pembagian Kekwenangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah, Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Unibraw, Malang, 2001.
Carl C. Friedrich, Constutional Government and Democracy : Theory and Practice in Europe and America, 5th ed, (Weltham Mass, Blaidsdell Publishing Company, 1967).
Carlton Clymer Rodee, et.al, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Rajawali, 1988.
Dany Burns et.al, The Politic of Decentralisation revitalising local democracy, 1st, (Houndmills, Published The Mcmillan Press Ltd. 1994).
Hans Antlov, “Federation of Intent in Indonesia 1945-1949”, Makalah, disajikan dalam International Conference Toward Structural Reform for Democratization in Indonesia, Problems and Prospects, yang diselenggarakan oleh Center for Political and Regional Studies-Indonesia of Sciences and The Ford Foundation, di Jakarta 12-14 Agustus 1998.
Hans Kelsen, General Theory of  Law and  State, Russel & Russel, New York, 1973.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Abridged Sixth Edition, St. Paul, MINN, West Publishing Co., 1991.
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977.
Jack H. Nagel, The Discriptive Analisis of Power, (New Haven, Yale University Press, 1975).
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Makalah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan Thema “Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, oleh BPHN Dep. Kehakiman dan HAM RI, Dempasar-Bali, 14-18 Juli 2003.
Jon Pierre dan B.Guy Peters, Governance, Politics and the State, 1st, (New York, Published Martin’s Press, 2000).
Juniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
M. A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, Theory of Local Government, (New Delhi, Sterling Publisher Private Limited, 1982).
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 2000.
Morris R. Cohen, Law and The Social Order : Essays in Legal Philosophy, (USA, Transactional Books, 1982).
Muh. Yamin, Naskah Proklamasi dan Konstitusi Repubik Indonesia, Cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
NE Algra, et.al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, Belanda-Indonesia, Binacipta, Bandung, 1983.
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co., 1989.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tanggal 17 Nopember 1979, Fakultas Hukum-UI.
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi   tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
R. Kranenburg, Algemene Staatleer, (Harlem Willink, 1951).
Riant Nugroho, Otonomi Daerah : Desentralisasi Tanpa Revolusi, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000.
S.F. Marbun & Moh. Mahfud M.D, Pokok-Pokok  Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987.
S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinara Harapan, Jakarta, 1999.
Setya Retnani, Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Makalah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia, 2000.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985.
Sjachran Basah, Tiga Tulisan   tentang Hukum, Armico, Bandung, 1986.
Sri Soemantri, dalam Sobirin Melian,  Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Sri Soemantri. M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.
Sri Sumantri M, Ketetapan MPR (S) Sebagai Salah satu Sumber Hukum Tata Negara, (Bandung, Remadja Karya, 1988).
Syahda Guruh LS. et.al, Otonomi Yang Luas dan Mandiri Menuju Indonesia Baru, Tarsito, Bandung, 1999.
Trabani Ibrahim, et.al, Monografi Daerah Istimewa Aceh, Pustaka Tunggal, Banda Aceh, 1986.
Willian Ebenstein el all, American Democracy In Word Perspective, Harper & Row Publisher, New York, Evaston London, 1967.

Tidak ada komentar: