*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Karya Terbitan Buku

TERBITAN BUKU :
DIALEKTIKA DEMOKRASI
Dalam Pusaran Kekuasaan Elite Politik
Agustus : 2010
Kata Pengantar Penulis
Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH., MH
Jellinek1  dalam ajarannya, memakai ukuran (kriteria) bagaimana cara kehendak negara itu dinyatakan. Kalau kehendak negara ditentukan satu orang, maka berbentuk Monarchie. Sebaliknya, kalau kehendak negara ditentukan banyak orang berbentuk Republik. Ajaran Jellinek dalam menentukan bentuk negara dikritik oleh Leon Duguit.2  Kriteria yang paling tepat dalam menentukan bentuk negara adalah, harus dilihat bagaimana caranya kepala negara itu diangkat. Kalau kepala negara dan pemerintahan diangkat berdasarkan hak waris (turun temurun), maka berbentuk Monarchie. Sedangkan kalau kepala negara dan pemerintahan diangkat melalui pemilu, maka berbentuk Republik. Sementara Plato dan Aristoteles3  dengan Teori Revolusinya, melahirkan Teori Kwantitas dan Kwalitas, untuk menentukan bentuk negara yang didasarkan pada jumlah orang yang memerintah. Seperti, Monarchie yang merosot kebentuk Tirani, Aristokrasi yang merosot kebentuk Oligarki, dan Demokrasi yang merosot kebentuk Okhlorasi.
Ajaran Aristoteles dianut juga oleh Polybios, yang memperkenalkan Teori Siklus Polybios tersendiri mengenai bentuk negara. Bentuk negara menurutnya, yaitu; Monarchi, Aristokrasi, Oligarchi, Demokrasi, dan Tyrani. Lain lagi Machiavelli4  yang mengemukakan teori tentang bentuk negara dalam dua bentuk, yaitu Bentuk Republik dan Bentuk Monarki. Kranemburg sebagai pelopor teori modern sependapat dengan teori Duguit dan Otto. Menurutnya, bahwa bentuk negara ada dua, yaitu; Bentuk Negara Kesatuan dan Bentuk Negara Federasi (Monarkhi). Disisi lain Kelsen sebagai penganut ajaran positivisme, memberikan klasifikasi bentuk negara menurut kriteria yang ditetapkan sendiri, antara lain; Negara Heteronom, Negara Autonom, Negara Totaliter atau Etatistis, dan Negara Liberal. Iver,5  memberikan sistem klasifikasi negara hal, yaitu; “a tri partite classification of state”, dan “a bi partite classification of state”. Deverger6  memberikan klasifikasi negara dalam,  Negara Autokrasi dengan doktrin autoriter,  Negara Demokrasi dengan doktrin liberalisme, Negara Oligarkhi dengan doktrin campuran antara autokrasi dan liberalisme.
Laski, membagi dua bentuk negara berdasarkan kriteria, yaitu : Pertama, bila rakyat dapat atau mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan undang-undang, maka negara tersebut disebut Negara Demokrasi. Kedua, bila rakyat tidak dapat atau tidak mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan undang-undang, maka negara tersebut disebut Autokrasi. Sementara Marriot, memberikan klasifikasi negara berdasarkan susunan pemerintahannya, yang melahirkan Bentuk Negara Kesatuan dan  Federasi. Sedangkan Sri Soemantri, memakai istilah bentuk negara, yaitu: Negara Serikat dan Negara Kesatuan dan Persatuan. Bentuk pemerintah terkenal adalah Kerajaan (Monarchie) dan Republik.7 
Teori-teori yang dikembangkan para ahli, mengenai bentuk negara di zaman modern, bermuara pada dua paham yang mendasar. Paham Pertama, paham yang menggabungkan bentuk negara dan bentuk pemerintahan.8  Bentuk negara sama dengan bentuk pemerintahan, dibagi dalam tiga macam bentuk, yaitu : 1. Bentuk pemerintahan dimana terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif. 2. Bentuk pemerintahan dimana terdapat pemisahan yang tegas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 3. Bentuk pemerintahan dimana terdapat pengaruh/ pengawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislatif. Paham Kedua, paham yang membahas bentuk negara atas golongan demokrasi atau diktator. Bentuk negara terdiri atas golongan demokrasi dan diktator.  Paham ini memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam Demokrasi Konstitusional (liberal), dan Demokrasi Rakyat.9
Teori yang mengkaji bentuk negara dan bentuk pemerintahan suatu negara, diawali oleh “staatidee” kelahiran (pembentukan) suatu negara.10  Teori-teori tentang negara sampai sekarang ini semakin berkembang, seiring dengan perkembangan peradaban umat manusia. Teori negara tersebut antara lain; Pertama, Teori perseorangan (individu) yang diajarkan oleh Locke,11  Hobbes (abad ke-17),12  Rousseau (abad ke-18),13  Spencer (abad ke-19), dan Laski (abad ke-20). Inti dari ajaran ini adalah bahwa negara ialah legal society (masyarakat hukum) yang disusun atas contract social. Kedua, Teori Golongan (class theory) yang diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Inti ajarannya adalah negara sebagai alat dari sesuatu golongan. Ketiga, Teori Integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Muller, Hegel (abad ke-18 dan 19). Inti ajarannya adalah bahwa negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau kelompok tetapi untuk kepentingan seluruh masyarakat dalam bingkai persatuan.
Teori-teori inilah yang berkembang di zaman modern ini, yaitu bentuk negara yang terpenting adalah Negara Kesatuan (Unitarisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi dan Negara Serikat (federalisme). Bentuk negara, berkaitan dengan kekuasaan tertinggi yang ada pada suatu negara. Sementara istilah bangunan negara, dibagi atas tiga, yaitu : Negara Kesatuan apabila kekuasaan tidak terbagi (kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi oleh daerah), Negara Serikat apabila kekuasaan dibagi antara pusat dan negara bagian. Negara Konfederasi apabila kekuasaan terletak pada negara-negara yang berserikat.
Sementara mengenai susunan negara, Jellinek memberikan istilah “Staatenverbindungen” untuk istilah Negara Kesatuan, Negara Federal, dan Negara Konfederal. Untuk membedakan ketiga susunan negara tersebut, dilihat pada letak kedaulatan, wewenang kepada rakyat, dan wewenang membuat undang-undang. Disisi lain, Wheare,14  melihat susunan negara dari sisi kekuasaan yang ada pada masing-masing pihak. Kemungkinan bentuk mengenai susunan negara, yaitu; negara yang bersusunan tunggal disebut sebagai Negara Kesatuan dan negara yang bersusunan jamak disebut sebagai Negara Federasi.
Teori-teori yang memberi dasar kekuasaan yang ada pada negara dalam tiga golongan besar, antara lain : Teori Theokrasi (Theocratische Theoria), Teori Kekuasaan (Nachtattheorie), dan Teori Yuridis (Yuridische Theorie). Soehino membagi dua bagian mengenai teori sumber kekuasaan, yaitu Teori Teokrasi  yang berkembang pada jaman abad pertengan (abad ke-5 sampai ke-15) dan Teori Hukum Alam (abad ke-15 sampai abd ke-19). Kekuasaan adalah kedaulatan sebagai esensi terpenting dalam menjalankan negara dan pemerintahan.15 Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang ini, antara lain; Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum. Perdebatan tentang kekuasaan yang ada pada negara, terkait dengan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan membicarakan, bagaimana pembagian kekuasaan, serta hubungan antar lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan negara, untuk kepentingan rakyat. 
Teori pembagian (pemisahan) kekuasaan negara, sejak dahulu sampai sekarang menjadi perdebatan. Locke (1690) dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government” memisahkan kekuasaan negara dalam Legislatif, Eksekutif, dan Federatif. Senada dengan Locke, Montesquieu (1748) dalam bukunya “L’Esprit des lois” mengemukakan tiga jenis kekuasaan, yaitu; Legislatif (legislative powers), Eksekutif (executive powers), Yudikatif (judicative powers).16 
Kekuasaan absolut raja di zaman kuno,  dijustifikasi secara filosofis dalam  perspektif hukum alam. Kekuasaan terpresentase dalam kekuasaan Tuhan di muka bumi. Abad pertengahan, dimensi absolut hukum alam semakin ditinggalkan secara evolusioner. Kekuasaan absolut secara sistematis dilakukan pembatasan. Raja dipaksa berbagi kekuasaan dengan parlemen. Sumber kekuasaan tidak lagi dikonstruksi sebagai kekuasaan Tuhan. Thomas Hobbes dan John Locke, peletak fondasi baru tatanan bernegara. Kekuasaan dikonstruksi berdasarkan suatu kontraksosial (Social Contract).17
Memasuki abad ke-17, dekonstruksi absolutisme kekuasaan raja, semakin intens dilakukan. Teoriawan Rousseau, semakin menguatkan konsep kontrak sosial. Kebebasan dan kesamaan setiap orang merupakan fondasi dari pembentukan masyarakat modern. Kontrak sosial bukan fakta historis, melainkan suatu postulat untuk melindungi kebebasan dalam masyarakat. Disamping Rousseau, Montesque abad 18, berjasa meletakkan fondasi organisasi kekuasaan. Ide dasar “Trias Politica”, mencegah penumpukan kekuasaan dalam satu tangan dan kesewenang-wenangan.18
Pada abad ke-19,  Supremasi hukum bergeser menjadi supremasi undang-undang. Pergeseran ini menguatkan pertumbuhan pemikiran positivisme. Pada bidang ketatanegaraan, kedaulatan rakyat semakin ditegaskan. Jean Bodin misalnya, menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Kedaulatan direduksi ke dalam tubuh hukum, yang mengarah kesifat legalistik. Otoritas hukum disandarkan pada otoritas kekuasaan. Hukum dipisahkan secara tegas dari politik, moral dan keadilan.19
Konsep kedaulatan juga ditegaskan oleh Austin, mengenai keutuhan terhadap hukum. Otoritas politik yang dimiliki oleh negara, menentukan dan memaksakan keberlakuan hukum. Efektifitas sebuah norma hukum dalam suatu sistem hukum, ditentukan oleh sanksi yang dipaksakan oleh negara.20  Efektifitas norma hukum disandarkan pada aspek keberlakuan hukum itu sendiri, berkaitan dengan aspek demokrasi, keadilan, serta hukum yang berporos pada hati nurani rakyat. Keberlakuan hukum menyentuh pemahaman Pound mengenai tujuan dalam menerapkan hukum di masyarakat.
Pound hadir dengan konsep “law as a tool social enggenering”.21  Kondisi sosial masyarakat termanifestasikan dalam konteks kesejahteraan. Dimensi hukum dalam konteks ini, menyentuh perubahan-perubahan sosial yang terjadi ditenga-tengah masyarakat.22  Namun hukum yang didiskripsikan, belum menyentuh dimensi totalitas antara aspek hukum, karena lebih banyak menekankan fungsi sosial hukum. Hukum dalam kekuasaan negara, diharapkan menjadi penetrasi kesewenang-wenangan, yang dapat membawa andil menciptakan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan implementasi Hak Asasi Manusia. Hal ini, diharapkan bisa mengantar dalam merubah kondisi pemerintahan dan sosial masyarakat.
Menjelang abad ke-20, faham demokrasi menjadi sandaran perkembangan tipologi negara modern. Hukum dan faham demokrasi, menjadi elemen integratif dalam menata corak masyarakat plural diseluruh pelosok daerah. Kekuasan dalam suatu negara tersebar, baik antar lembaga maupun hubungan pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam suatu negara, dilandasi dalam dua teori. Pertama, teori secara vertikal, melahirkan garis hubungan pusat dan daerah yang berwujud dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Kedua, teori secara horisontal, didasarkan pada sifat tugas yang berbeda jenisnya, yang diwujudkan dalam kekuasaan berbagai macam lembaga dalam suatu negara.
Kekuasaan sebagai implementasi konsep kedaulatan yang ada dalam negara, diwujudkan melalui sejauhmana luas atau lingkup (scope of power) kekuasaan itu sendiri dan sejauhmana jangkauan yang dimilikinya (domain of power). Nagel23  membahas kedaulatan dalam pendekatan, bahwa luas atau lingkup kedaulatan menyentuh soal kegiatan yang tercakup dalam kedaulatan, sedangkan jaungkauan kedaulatan menyentuh soal siapa yang menjadi pemegang kedaulatan. Lingkup kedaulatan yang dimaksud meliputi proses pengambilan keputusan untuk mengukur seberapa besar kekuatan  keputusan yang ditetapkan, sementara jangkauan kedaulatan terkait pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan apa yang menjadi objek sararan dalam pengambilan keputusan atau wewenang apa yang dimiliki pemegang kekuasaan tersebut.
Pembagian kekuasaan dalam negara, dibahas lebih lanjut oleh Friedrich dalam paham konstituonalismenya.24  Sedangkan Maass, melihat pembagian kekuasaan dalam dua hal, yaitu : Capital Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara horisontal atau sering dipersamakan dengan pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan Areal Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara vertikal.25  Pembagian dan pemisahan, tergantung daripada prinsip-prinsip yang dianut dalam landasan hukum suatu negara. Smith melihat bahwa tujuan dalam areal division of power, dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut pandang pemerintah pusat (pemerintah) yang meliputi empat tujuan utama yang diharapkan, yaitu : 1. pendidikan politik. 2. pelatihan kepemimpinan. 3. penciptaan stabilitas politik; serta 4. mewujudkan demokratisasi sistim pemerintahan di daerah. Konsep kekuasaan atau kewenangan pemerintah daerah, menyangkut tentang struktur hukum yang bisa berwujud format bentuk dan susunan negara, pemerintahan di daerah, lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta aparatur pemerintahan pusat dan daerah.
Dari sisi substansi hukum tercermin, apresiasi pemerintah dan masyarakat (pusat dan daerah)  terhadap aturan-aturan formal, mengenai perwujudan sendi pelaksanaan pemerintahan di daerah, dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sudut pandang pemerintah daerah (daerah) meliputi : 1. Sarana dalam mewujudkan political equality. 2. Sarana dalam mewujudkan local accountability. 3. Sarana dalam mewujudkan local responsiveness. Kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam konteks negara kesatuan, bukan hanya berkenaan dengan pembagian kekuasaan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana proses kekuasaan dan kewenangan itu didapatkan. Beberapa teori yang menaruh perhatian terhadap kaitan antara elemen ini adalah, masalah legalitas kekuasaan atau kewenangan yang didapatkan, serta dari mana sumber kekuasaan atau kewenangan tersebut, dan bagimana proses penyerahan atau pelimpahan kekuasaan atau kewenangan itu.
Konsepsi pelaksanaan pemerintahan, merupakan salah satu sarana bagi pemerintah Indonesia, dalam mewujudkan pemerintahan yang bersifat demokratis. Melibatkan seluruh potensi masyarakat, untuk ikut serta memikirkan dan mengurus pelaksanaan pemerintahan di daerah. Suatu negara kesatuan, kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Walaupun pada dasarnya, negara kesatuan bisa berbentuk sentralisasi dan desentralisasi. Bentuk sentralisasi, segala garis kebijaksanaan dilaksanakan secara terpusat  Bentuk desentralisasi, segala garis kebijaksanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan dipencarkan. Pemencaran ini, merupakan wujud pemerintahan demokrasi, tatkala dijalankan secara efektif, guna pemberdayaan kemaslahatan rakyat.
Menurut Strong, bahwa negara kesatuan merupakan bentuk negara, dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan pada satu badan legislatif nasional atau pusat. Ciri yang melekat pada negara kesatuan yang bersifat esensil yaitu : 1. adanya supremasi dari parlemen atau lembaga perwakilan rakyat pusat; 2. tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absencee of subsidiary sovereign bodies). Ditinjau dari sudut kedaulatan, kedaulatan yang terdapat dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom, bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan disebabkan oleh hakekat daripada negara kesatuan itu sendiri. Prinsip pada negara kesatuan ialah, bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat (central government) tanpa adanya gangguan oleh suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (local government).
------------------------------------------------
1     George Jellinek, Algeimene Staatslehre, Berlin, 1914, hlm. 665.
2     Leon Duguit, Traite de Droit Constitusional, Paris, 1923, hlm. 607.
3     Kranenburg, Algeimene Staatsleer,  (Willink & Zoon, 1955), hlm. 80.
4     Sementara Utrecht memakai istilah bentuk pemerintah yang dibagi dalam 1. Monarki atau pewarisan yang terdiri dari monarchi absolute, monarchi konstitusional, monarchi parlementer. 2. Republik yang tediri dari republik mtlak, republik konstitutional, republik parlementer. Lihat Utrecht dan Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta, Ikhtiar Baru, 1983), hlm. 73
5     Mac Iver, The Web of Government, (New York : Macmillan, 1951), hlm. 147.
6     Suwirjadi, Teori dan Praktek Tatanegara,  (Jakarta : Pustaka Rakyat, 1961), hlm 5-9.
7     Harold J. Laski, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta : Pembangunan, 1959), hlm. 69.  Iswara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung : Dhiwantara, 1964), hlm. 164-165.
8     Bouger, Masalah-Masalah Demokrasi, (Jakarta :Yayasan Pembangunan, 1952), hlm.32-33.
9     Henry B, Mayo, An Introduction to Democratie Theory, (New York : Oxford University Press, 1960), hlm. 218. Bahwa nilai yang mendasari suatu negara demokrasi adalah : Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga, Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu perubahan, Melakukan pergantian pimpinan secara teratur, Membatasi pemakaian kekerasan secara minimun, Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka ragaman, Menjamin tegaknya keadilan. Suatu negara disebut negara demokrasi, apabila yang memerintah dalam negara tersebut adalah rakyat, bentuk pemerintahan yang diselenggarakan kekuasaannya terbatas.
10     Jimly Asshiddigie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI-Pusat Studi HTN FH-UI, 2004), hlm. 202-203.
11     Jack Lively & Adam Lively, Democracy In Britain : A Reader, (Cambridge : Maxwel, 1994), hlm. 104-107. Menurut Locke, walaupun semua orang harus diperlakukan sama, disebabkan kesamaan dalam “state of nature” mereka tidak mungkin mengartikulasinya dalam satu napas pada waktu bersamaan. Konstruksi social contract berlansung dalam level pactum unionis dan pactum subjektiones. Kebebasan sesorang dibatasi oleh hukum dan pemerintah
12     Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective, (Chicago, The University of Chicago Press, 1963), hlm. 90.
13     W. Friedmann, Legal Theory, (London, Steven & Sons Limited, 1960), hlm. 76. Rousseau membangun teorinya berdasarkan posisi equal manusia yang secara natural tidak dapat diabaikan. Kebebasan dan kesamaan setiap orang merupakan pondasi dalam membangun masyarakat yang modern.
14     K.C. Wheare, Federal Government, (London: London  Univ. Press, 1956), hlm 27.
15     Teori Kedaulatan Tuhan (Teori Teokrasi) menganggap kekuasaan tertinggi berasal dari Tuhan, yang dikembangkan oleh Augustinus, Thomas Aquinas. Teori Kedaulatan Rakyat (demokrasi), kekuasaan yang ada pada negara berasal dari rakyat. Faham ini dikembangkan oleh Montesquieu an John Locke. Teori kedaulatan Negara, kedaulatan tertinggi ada pada pemimpin negara yang melekat sejak negara itu ada. Dikembangkan oleh Paul Laband dan George Jellinek. Teori Kedaulatan Hukum, Kekuasaan yang dijalankan oleh pemimpin negara berdasarkan atas hukum, dan yang berdaulat adalah hukum. Faham ini dikembangkan oleh Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant.
16     John Locke berpendapat, bahwa Kekuasaan Legislatif adalah untuk membuat undang-undang, Kekuasaan Eksekutif adalam melaksanakan undang-undang, dan Kekuasaan Federatif adalah mengadakan perserikatan dan aliansi. Sedangkan Montesquieu berpendapat, bahwa Kekuasaan Legislatif dilaksanakan Parlemen, Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan Pemerintah (presiden bersama menteri), Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan badan peradilan.
17     Llyoid L. Weinreb, Natural Law and Justice, (London : Harvard University Press, 1985), hlm.10.
18     Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, (Jakarta : Mizan, 1996), hlm. 135.
19     Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkley : Univ. of California Press, 1978), hlm. 5
20     Joseph Raz, The Consept of The Legal System, an Introduction to The Theory of Legal System, (Oxford : Clarendom Press, 1978), hlm. 93-94.
21     Rouscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Brunswick & London  : Transaction Publisher, 1999), hlm. 52.
22     Roman Tomasic, The Sociology of Law, (London : Sage Pub., 1978), hlm. 99.
23     Jack H. Nagel, The Discriptive Analisis of Power, (New Haven : Yale University Press, 1975), hlm. 14.
24     Carl J. Friedrich, Constituional Government and Democracy : Theory and Practice in Europe and America, 5 th ed. (Weltham Mass : Blaisdel Publishing Company, 1967), hlm. 5.
25     Arthur Maass, Area and Power : A Theory of Local Government, (Glencoe, Illinois : The Free Press, 1959), hlm. 10.

Tidak ada komentar: