*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Tulisan Artikel :


KONSEP DASAR  POSITIVISME
DALAM PERKEMBANGAN KAJIAN ILMU HUKUM
Oleh : Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH., MH


ABSTRAK

Norma hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat disebut sebagai tata hukum yang berfungsi sebagai penuntun dalam menciptakan aturan bagi masyarakat. Tata hukum berisikan norma (kaidah) sebagai petunjuk (acuan), baik secara individual maupun berkelompok yang memuat ketentuan perintah (pemaksa) dan larangan (pengatur) berikut sanksi. Perintah dan larangan dimaknai sebagai wujud kesepakatan yang diciptakan, dalam mengatur interaksi yang bisa dijadikan sebagai pedoman menyeluruh dalam tata kehidupan. Sementara sanksi dimaksudkan sebagai ganjaran (hukuman), kepada setiap orang (kelompok) yang tidak mentaati (mematuhi) aturan tersebut. Ganjaran sebagai akibat yang muncul dari disepakatinya tata hukum, dan sekaligus sanksi yang terdapat dalam tata hukum tersebut merupakan motivasi psikologis dalam berbuat atau tidak berbuat.



P E N D A H U L U A N
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai aturan-aturan dan kaidah-kaidah sosial. Didalamnya termasuk kaidah-kaidah (norma) yang berbentuk aturan hidup,[1] yang menjadi pedoman (penuntun) dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini berdasarkan penelahan akal budi praktis dan gejala-gejala social masyarakat,  yang berasal dari norma moral.[2] Norma moral dalam keberlakuannya pada interaksi antara masyarakat dengan alam dan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, berkembang menjadi norma hukum, setelah diformulasi secara formalistik oleh negara.[3]
Norma hukum yang menguasai (mengatur) tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi, disebut sebagai tata hukum.[4] Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan aturan-aturan bagi masyarakat dalam berinteraksi. Tata hukum ini berisikan norma-norma (kaidah-kaidah)[5] sebagai petunjuk, acuan, pedoman bagi seluruh anggota masyarakat, baik secara individual maupun berkelompok. Tata hukum ini dalam penerapannya, memuat ketentuan perintah (pemaksa) dan larangan (pengatur) berikut sanksi.[6] Perintah dan larangan dimaknai sebagai wujud kesepakatan yang diciptakan, dalam mengatur interaksi yang bisa dijadikan sebagai pedoman secara menyeluruh dalam tata kehidupan bermasyarakat, supaya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang muncul dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.  Sementara sanksi dimaksudkan sebagai imbalan atau ganjaran (hukuman), kepada setiap orang atau kelompok yang tidak mentaati (mematuhi) aturan tersebut.[7] Imbalan atau ganjaran ini, sebagai salah satu akibat yang muncul dari disepakatinya tata hukum tersebut, dan sekaligus sanksi yang terdapat dalam tata hukum tersebut merupakan motivasi psikologis dalam berbuat atau tidak berbuat.[8]
Perkembangan keberlakuan tata hukum ini, mengalami perdebatan yang alot diantara kaum juris dan non-juris sampai sekarang. Perdebatan yang muncul bisa berupa sisi formalistik dan bentuk materialistik.[9] Sisi formalistik terperikan dalam konteks : apakah tata hukum itu, bagaimana menentukan bentuknya, siapa yang berkuasa membuatnya, berapa macam bentuknya, bagaimana bentuknya supaya ditaati. Sementara sisi materialistik (substansi) terformulasi dalam : bagaimana isi perintah dan larangannya, bagaimana sanksinya, siapa yang berhak memberikan sanksi, kepada siapa diberlakukan, darimana diperolehnya aturan itu.
Pertanyaan yang muncul dalam perdebatan tersebut, harus dijawab sendiri oleh aturan hukum. Hal ini berkenaan dengan pertanggungjawaban kaidah, yang berbentuk aturan hukum dalam keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat.[10] Menjawab pertanyaan tersebut, tidak bisa hanya dengan argumentasi sederhana, tetapi memerlukan analisa dan kajian yang mendalam. Salah satunya adalah dengan memasuki pintu filsafat yang mampu memberikan alasan apa, kenapa dan darimana sesuatu diperoleh (diperkenalkan).[11] Refleksi terhadap kajian filsafat diperlukan, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut berimplikasi terhadap tata hukum yang seharusnya dalam sosial kehidupan masyarakat, baik interaksi individual maupun kelompok. Refleksi filsafat hukum ini, dengan sendirinya diawali pada aspek pemikiran teori hukum, yang mempersoalkan hukum seharusnya dan hukum dalam kenyataan.[12] Sistematik teori hukum berkaitan dengan filsafat dan politik.
Teori hukum diilhami oleh manifestasi keinginan manusia dalam keteraturan hidup. Keinginan ini tidak terformulasi secara formal semata, tetapi juga harus berisikan penilaian moralitas. Keinginan formal terbingkai dalam hukum yang tetulis (positif), sementara penilaian moral merupakan wujud kaidah tidak tertulis, yang senantiasa hidup dan berkembang dalam nurani masyarakat. Teori Hukum memikirkan latar belakang hubungan konsepsi tentang manusia, dan interkasi manusia dengan lingkungan.[13]
Tugas teori hukum adalah menformulasi usaha untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya, sampai dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Sementara disisi lain, berusaha memberikan suatu lukisan sistematis tentang hukum positif sebagai suatu gejala umum dalam masyarakat. Begitupun dalam pencarian hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara masing-masing gejala hukum yang ditimbulkan dalam masyarakat, asas-asas dasar suatu tertib hukum postif.
 Keberlakuan hukum sebagai tindakan kausalitas (sebab-akibat), menggiring untuk memahami arti fungsi dan tujuan hukum dalam pergaulan hidup. Tujuan hukum[14] diformulasikan untuk membimbing manusia dalam mengenali arti hidup, interaksi sesama, serta dalam hubungan yang lebih luas lagi. Awal dari manusia memahami hukum, diorientasikan pada sisi keadilan dalam jiwa (roh) alam.[15] Hukum adalah keadilan, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang dikembangkan dalam sistem filsafat transendental mistis dalam ruang metapisika. Metapisika senantiasa dalam aspek pembuktian, menarik diri dari aspek verifikasi kebenaran fakta-fakta.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.[16] Hukum dalam keberlakuannya tidak melibatkan akal (rasio) secara mandiri. Hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi ideal dalam ajaran Hukum Alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama. Hukum dipersepsikan dengan simbol ke-alam-an dan lukisan kemutlakan religius, tanpa bisa tersentuh keutamaan dan kemandirian akan akal (rasio) manusia.
Stigma tujuan hukum untuk mencapai keadilan mutlak (absolute justice), kemudian dielaborasi pada sisi formalisitk.[17] Formalistik bergerak dalam ruang kepastian hukum sebagai tujuan hukum. Tujuan untuk mencapai kepastian hukum, diajarkan dalam sistim filsafat rasionalisme dan empirisme. Filsafat rasionalisme dan empirisme merupakan antithese ketidakpuasaan rasio manusia, akan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak nyata.[18]
Kemandirian akal (rasio) manusia diperkenalkan, sebagai antithesa kejenuhan akan keterkungkungan nilai abstraksi logika. Abstraksi logika menyangkut keangkeran alam dalam dekapan pesan-pesan religius kitab suci (ajaran agama) terhadap hidup dan alam kehidupan manusia. Keterkungkungan dilepas dengan evolusi berpikir yang mempergunakan logika, yang berasal dari pemberdayaan akal (rasio) untuk mengenali diri dan alam.
Kemandirian (kebebasan) akal dari keterkunkungan moral dan agama, menyambut kelahiran sistim filsafat baru. Filsafat baru ini, mereduksi sebagian konsep dasar ajaran filsafat transcendental-mistis. Kemutlakan alam-religius dan keabstraksian pemikiran terpinggirkan, oleh kemampuan evolusi akal (rasio) dalam mengenali diri dan alam kehidupannya.[19] Evolusi dalam pengembangan kemampuan mempergunakan akal (rasio), mengiringi lahirnya filsafat empirisme, rasionalisme, idealisme, dan konkritisisme, Kemampuan akal (rasio) manusia dijadikan sumber, dalam memahami dan menyelidiki alam kehidupan. Sementara norma hukum, dibingkai dalam formalisme aturan. Formalisme aturan, tidak menyerah pada sistim filsafat yang pasrah akan gejala alam dan ke-stagnasian ajaran religius.
Awal evolusi berpikir ditandai dengan lahirnya Zaman Renaissance,[20] sebagai awal pencerahan dan penyegaran rasio dalam memaknai hidup. Norma (tata hukum) diilhami filsafat empirisme,[21] yang menghendaki adanya suatu aturan yang nyata dan konkrit.[22] Tujuan hukum bukan lagi semata-mata mengejar sisi keadilan yang abstrak, tetapi dielaborasi dalam mencapai suatu kepastian hukum yang tetap, nyata dan konkrit.[23]
Kepastian hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersipat memaksa,[24] dan lahir dari suatu tatanan organisasi sosial yang berdaulat.[25] Hukum sebagai roh kekuasaan,[26] dalam mengimplementasikan stigma kebijakan[27] yang dikeluarkan sebagai alat paksa untuk memonopoli masyarakat dalam keterikatan. Monopoli melalui alat paksa ini, bertujuan untuk menata signifikansi interaksi antara masyarakat dengan cita dan tujuan bernegara.[28] Akhirnya cita dan tujuan negara, sinkron dengan makna kehidupan manusia, yang terbingkai dalam kemakmuran, keamanan, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia dalam bernegara.

KONSEP DASAR AJARAN POSITIVISME HUKUM.
Diawali pada abad XIX sebagai abad perkembangan dalam evolusi berpikir, berdasarkan bertambahnya kesadaran manusia atas kekuasaan (kekuatan) akan kemampuan rasio (akal) sendiri.[29] Akal manusia lepas dari ikatan faham religius semata, dan tidak lagi dilihat sebagai penjelmaan dari akal Tuhan (dijelmakan dalam ajaran agama). Akal (rasio) manusia dianggap sebagai sumber dari satu-satunya ilmu pengetahuan (hukum) dalam berevolusi.[30] Evolusi berpikir ini, sebagai awal dimulainya penyelidikan empiris dalam memikirkan asas-asas (norma) hukum dalam tataran filsafat idealisme. Filsafat Idealisme merupakan kesinambungan rasionalisme Kant, yang memandang teori hukum idealistik mendasarkan pada prinsip manusia sebagai makhluk rasional dan beretika serta perkembangan manusia sebagai subyek rohani.
Filsafat idealisme dalam konsep pengembangannya, menghargai akal (rasio) dan jati diri manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan. Disamping itu, filsafat idealisme menjadi salah satu peletak dasar dalam menjembatani lahirnya aliran Positivisme Hukum. Positivime Hukum[31] lahir (Abad XIX) atas jawaban akan ketidakpuasan konsep Hukum Alam (Abad XVII-XVIII) yang mengungkung dan memenjarakan rasio (akal) manusia dalam ekspresinya. Kelahirannya di awali pada zaman Renaissance (pada akhir Abad XVIII),[32] dimana rasio (akal) manusia menjadi pusat penyelidikan dalam perkembangan peradabadan manusia dan penyelidikan terhadap alam semesta.[33] Fositivisme sebagai aliran filsafat abad XIX, diilhami oleh filsafat Kant[34] yang mempunyai tiga cabang (sosiologis, yuridis, dan aliran hukum umum).[35]
Prinsip dasar ajaran Filsafat Positivisme, memandang bahwa ilmu positif adalah ilmu yang hanya dapat mengajarkan kenyataan (realita dalam kehidupan masyarakat); ilmu pengetahuan yang ditujukan pada pengamatan (melalui penyelidikan empiris) untuk mengenal keteraturan hukum; menolak semua pengetahuan yang tidak dapat diselidiki secara inderawi (berusaha menjauhi aspek abstraksi yang tidak dapat diverifikasi secara ilmiah). Konsep dasar filsafat posivisme dalam perkembangannya, menyentuh perkembangan ilmu hukum.
Filsafat Postivisme disini,[36] bukan secara lansung merupakan  aliran positivisme hukum yang lazim dikenal dalam Filsafat Hukum dan Teori Hukum, tetapi positivisme dalam suatu aliran filsafat bagi semua bidang kajian ilmu. Secara konseptual dan metodologis, ajaran Filsafat Positivisme belum mengkhususkan untuk mengkaji dan mengembakan ilmu hukum secara positif.[37] Filsafat Positivisme dalam implementasinya, menyelidiki perkembangan peradaban manusia maupun ilmu-ilmu yang menyelidiki alam semesta. Auguste Comte, sebagai salah satu peletak dasar Filsafat Positivisme memperkenalkan konsepsi tiga tahap. Konsepsi tiga tahapnya meliputi, pemikiran teonom (teokrasi), pemikiran hukum kodrat (falsafi), pemikiran hukum positif. Konsepsi ini diperkenankan menyelidiki ilmu pengetahuan dalam sistem filsafat,[38] untuk  memaknai pemikiran manusia dalam ber-evolusi akal (rasio).
Sistem filsafat positivisme memunculkan doktrin, bahwa hanya pengalaman yang benar, karena dapat dipastikan dalam kenyataan melalui ilmu pengetahuan, sehingga dapat ditentukan bahwa sesuatu itu adalah suatu kenyataan (kebenaran). Demikian pula dalam penyelidikan ilmu pengetahuan, kecenderungannya didasarkan pada fakta yang dapat diamati oleh pancaindera. Keteraturan hukum yang dapat ditemukan dalam fakta-fakta, menjadi satu-satunya obyek dalam ilmu pengetahuan. Teori hukum positivistik, berdasar pada pokok (dasar) aturan (kaidah) hukum itu sendiri, tanpa melibatkan kaidah-kaidah diluar non-hukum (etika, politik, ekonomi). Teori ini beranggapan, bahwa hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif. Metode yang dipergunakan dalam pengimplementasiannya, tidak menyentuh niali baik atau buruk, nilai efektifitas, serta diterima atau tidaknya keberlakuan aturan tersebut dalam masyarakat.
Dari perkembangan Ilmu Hukum pada abad XIX, yang didukung oleh berkembangnya Filsafat Idealisme dan Aliran Legisme, memberikan nuansa tersendiri, berbeda dari pada doktrin yang diajarkan oleh Aliran Hukum Alam. Implementasi konsep ilmu hukum (aturan hukum) dalam menata interaksi masyarakat, cenderung meninggalkan ajaran tentang keangkeran alam, kesakralan religius, dan kestagnasian akal. Nilai keadilan yang  akrab dengan nilai abstraksi dalam tujuan hukum absolut dari doktrin Aliran Hukum Alam, mulai ditinggalkan karena tidak dapat memberikan kepuasan perasaan hukum masyarakat. Masyarakat mulai mencari formula lain (baru), baik dari sisi metode implementasi maupun substansi tujuan penerapan hukum itu sendiri.
Implementasi hukum di dalam masyarakat, bukan untuk mencapai keadilan semata tetapi juga harus memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman masyarakat, dan pedoman tetap bagi aparat penegak hukum dalam mengambil suatu keputusan. Hukum mulai diperkenalkan (dipersepsikan) secara resmi dalam bentuk formalistik, seirama dengan berkembangnya (kemajuan) teori kedaulatan negara dalam bernegara. Konsepsi (bentuk) formalistik hukum ini, meresepsi ajaran Positivisme yuridisnya Comte. Ajaran Comte ini, dibingkai dalam Aliran Positivisme Hukum dalam lintasan sejarah perkembangan Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Teori Hukum.[39]
Aliran ini lahir dari beberapa sebab musabab, antara lain : Pertama, perkembangan doktrin Hukum Alam yang dijadikan penuntun manusia dalam berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, manusia dengan negara semakin tidak terpuaskan. Hukum Alam dalam doktrinnya mengedepankan ajaran yang bersifat sangat abstrak, sehingga sangat sulit untuk memberlakukan aturan hukum dalam ralitas kehidupan masyarakat.
Kedua, doktrin keadilan absolut sebagai tujuan hukum semata-mata, sangat sulit untuk diterapkan karena tidak dapat menjamin suatu kepastian dalam memutuskan atau menyelesaikan masalah-masalah (perkara-perkara) yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat, sehingga perasaan hukum masyarakat seringkali tidak terpuaskan. Penerapan aturan hukum, dari satu kasus ke kasus lainnya tidak mendapatkan suatu kepastian hukum yang bersipat tetap. Jadi dari segi konsepsi, doktrin Hukum Alam sangat ideal, tetapi dari segi implementasi sangat sulit karena mempunyai kaidah-kaidah yang sangat abstrak.
Ketiga, konsep ajaran Hukum Alam yang akrab dengan keangkeran alam dan kesakralan religius, tidak memberikan tempat bagi manusia dalam mengembangkan ide dan pemikiran dalam memaknai diri. Akibatnya akal (rasio) manusia dalam mengenali diri dan alam semesta, tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Keinginan dalam ber-evolusi pikiran tertutupi oleh doktrin alamiah dan agama. Aturan hukum yang dikedepankan dalam pemberlakuannya ditengah-tengah masyarakat, berasal dari alam dan doktrin (ajaran) agama, yang tidak memberi tempat kreasi akal (rasio) manusia dalam menentukan (membuat) aturan hukum yang bisa dijadikan pedoman atau penuntun bagi masyarakat dalam berinteraksi.
Keempat, bersamaan dengan keinginan rakyat (manusia) dalam membatasi kesewenang-wenangan raja (penguasa) yang mempunyai kekuasaan mutlak. Seperti yang sering tercermin dalam ungkapan, ucapan raja adalah hukum, titah raja adalah undang-undang, raja mempunyai kekebalan hukum yang berlaku mutlak. Dari kondisi demikiran, maka kehadiran positivisme hukum, memberikan batasan terhadap kekuasaan raja dalam pengelolaan negara (pemerintahan), serta memberikan perlindungan kepada rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa.
Kelima, seiring dengan perkembangan doktrin teori-teori bernegara, yang pada abad XIX berkembang teori kedaulatan negara. Teori Kedaulatan Negara memberikan justifikasi bagi penguasa untuk membuat aturan hukum yang bertujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat, disamping untuk memberikan pedoman kepada seluruh lapisan masyarakat dalam berinteraksi, sehingga tata interaksi yang ideal tercipta dalam bingkai aturan yang berlaku secara menyeluruh.
Dari beberapa hal yang mendasari tersebut, lahirlah Aliran Positivisme Hukum, yang merupakan hasil elaborasi dari konsepsi Aliran Hukum Alam. Aliran Postivisme Hukum mengembangkan dua sub-aliran utama dalam konsep dasarnya,[40] yaitu : Aliran Analitikal Jurisprudence dipelopori John Austin yang dituangkan dalam hasil karyanya (buku) The Province of Jurisprudence Determined dan Lectures on Jurisprudence (dikembangkan lebih lanjut oleh H.L.A. Hart), dan Ajaran Hukum Murni yang dipelopori Hans Kelsen dalam karyanya Pure Theory of Law (dikembangkan lebih lanjut oleh Dworkin).
Konsep dasar ajaran Analitikal yang dikembangkan oleh John Austin dalam Aliran Positivisme Hukum,[41] dapat dipahami (dimengerti) dalam beberapa konsepsi dasar ajarannya. Pertama : hukum dikonsepsikan (diartikan) sebagai “Law is A Command Of The Law Giver” atau sebagai perintah (teori perintah-bevelstheory) dari penguasa yang memegang kekuasaan tertinggi dan berdaulat (berwenang). Hukum sebagai perintah yang memaksa, dapat saja bersifat adil (bijaksana) atau sebaliknya.[42]
Kedua : hukum dari segi sifatnya, dikonsepsikan (dianggap) sebagai suatu sistem yang logis, bersifat tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). [43] Keputusan-keputusan hukum yang tepat dan benar, diperoleh dari peraturan yang ditetapkan sebelumnya dan tanpa memperhatikan (melibatkan) unsur diluar hukum, sehingga secara tegas memisahkan hukum dari moral (yang berkaitan keadilan), karena secara yuridis moral tidak penting bagi hukum walaupun mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Hukum tidak mempertimbangkan dan menilai mengenai hal yang baik dan buruk, karena diluar bidang kajian hukum.
Ketiga : hukum yang baik dan sesungguhnya, adalah hukum yang memuat kaidah perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.[44] Norma-norma hukum dasar adalah seperti yang disusun oleh pembuat Undang-Undang, sebagai sesuatu yang harus diterima oleh masyarakat.[45]
Sementara konsepsi hukum yang diperkenalkan Hans Kelsen dalam ajaran Hukum Murni-nya, bisa dipahami (dimengerti) dalam tiga konsep utama. Pertama : [46] konsepsi hukum secara metodis. Konsep penerapan hukum harus dengan pendekatan metode normatife dan bersih dari anasir non-yuridis, seperti : sosiologis, politis, histories, dan etis. Memisahkan hukum dari unsur etika, berarti menjauhkan hukum dari soal penilaian baik dan buruk. Pemisahan hukum unsur sosiologis,  berarti hukum positif memandang bahwa hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tidak begitu penting. Hukum adalah selalu merupakan hukum positif, yang terdapat dalam berbagai peraturan yang ada, karena yang dipersoalkan apa sebenarnya hukumnya, dan bukan bagaimana hukum itu seharusnya. Ilmu hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan, sifatnya lahir dari hipotesis kemauan dan akal manusia.
Kedua : konsepsi hukum positif adalah hukum yang seharusnya (sollenkategoris/ius constituendum) bukan hukum sebagai kenyataan (sein kategoris/ius constitutum).61 Ilmu Hukum adalah ilmu normatif, yang terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia. Seorang ilmuan hukum tidak bisa bekerja dalam bidang sollen (yang seharusnya ada) dengan konstruksi pemikiran dari dunia sein (yang ada) atau sebaliknya. Dunia sein berlaku aturan yang tidak bersifat kausalitas (sebab akibat) tetapi pertanggungjawaban.
Ketiga : konsepsi hukum dalam ajaran “Stufentheorie”.Norma dasar suatu tata hukum adalah peraturan tertinggi dari tata hukum sebagai peraturan fundamental dari berbagai norma tata hukum positif. Disamping ajaran hukum murninya, Kelsen berjasa dalam mengembangkan “Stuffentheory” yang dikembangkan lebih lanjut oleh Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu system yang terdiri dari sustu susunan norma-norma (kaidah-kaidah) yang berbentuk piramida.[47] Sesuatu aturan dianggap berlaku, karena berlandaskan pada aturan lain yang lebih  tinggi. Aturan yang lebih tinggi, berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi disebut sebagai “grundnorm” (norma dasar) yang tidak dapat dialihkan lagi kepada aturan yang lebih tinggi lagi. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma maka makin semakin abstrak, dan semakin rendah suatu norma maka semakin konkrit (nyata)
Keberlakuan Postivisme Hukum dalam konsep dasarnya, mengenal hukum dari bentuk hukum positif  yang dibuat oleh penguasa (yang berdaulat). Hukum lepas dari norma (kaidah) diluar norma hukum, karena akan mengganggu makna hukum yang sesungguhnya.[48] Hukum dipelajari dari bentuk yuridisnya, sebagai bentuk formal yang dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum materil. Kaidah hukum materil dipandang sebagai bukan ilmu pengetahuan hukum.[49]
Norma hukum (tata hukum) dipersepsikan sebagai suatu aturan yang mengikat, karena berasal dari penguasa (yang berdaulat).[50] Jadi formulasi keberlakuannya adalah sein atau ius constitutum (aturan yang nyata) bukan sollen atau ius constituendum (aturan yang seharusnya). Norma yang nyata dan konkrit dalam pengalaman manusia di sebut hukum yang di bingkai dalam formalistic. Postivisme Hukum mendapatkan formulasi yang lebih konkrit dari Hart. Hart sebagai penerus teori perintah Austin.
Menurut Hart,[51] bahwa ciri-ciri positivisme yang terdapat dalam hukum dewasa ini, yaitu : a) hukum adalah perintah dari manusia (penguasa yang berdaulat);  b) tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dengan kesusilaan atau hukum yang berlaku (sein/ ius constitutum) dengan hukum yang seharusnya (dicita-citakan/sollen/ius constituendum); c) hukum sebagai system logika yang tertutup dan tidak memperhatikan tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moralitas; d)  unsur diluar dari non-hukum dikesampingkan karena tidak dapat dibuktikan berdasarkan argumentasi logika (rasio).

PERKEMBANGAN DAN KRITIK TERHADAP POSTIVISME HUKUM.
Konsep dasar positivisme hukum merupakan antithesa dari perkembangan hukum alam yang berkembang dan mencapai puncaknya pada abad XVII – XVIII, yang mengalami penurunan pada saat memasuki zaman renaissance. Konsep Keadilan[52] sebagai tujuan dan fungsi utama dalam penerapan hokum, yang diketengahkan oleh para penganut Ajaran Hukum Alam, sangat berbeda dengan Konsep Kepastian Hukum yang diketengahkan oleh para penganut Positivisme Hukum pada abad XIX.[53] Konsep Kepastian Hukum, dari doktrin (ajaran) Aliran Positivisme Hukum yang senantiasa berusaha memisahkan konsep hukum dari anasir-anasir lainnya yang dibahas diluar hukum.
Walaupun konsep tujuan dan fungsi utama kepastian hukum dari Positivisme Hukum, pada dasarnya merupakan salah satu apresiasi dari konsep hukum sebelumnya, yang dipopulerkan (diketengahkan) aliran Hukum Alam. Namun, dalam perkembangannya Aliran Postivisme Hukum, juga menyentuh perkembangan konsep keadilan, tetapi konsep keadilan yang keluar dari roh keadilan itu sendiri. Keadilan yang tidak mampu mengikuti rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Konsep hukum yang dikembangkan adalah hukum yang tertulis (kodifikasi) sebagai hukum positif, sehingga tidak dapat diubah setiap saat. Sementara perasaan keadilan dan kebutuhan masyarakat akan kegunaan aturan hukum dalam penerapannya menjadi mutlak. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat membawa serta secara lansung perubahan fungsi dan tujuan hukum yang diinginkan oleh masyarakat.
Dari ketidakpuasan tersebut, orang (masyarakat) berusaha menjari  formulasi yang tepat sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, serta kebutuhan akan tatanan hukum yang biasa bersesuaian dengan dasar kebutuhan aturan hukum dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Perubahan-perubahan ini dalam perkembangan ilmu hukum masuk dalam doktrin akan kebangkitan hukum alam yang tidak memisahkan hukum dari unsure-unsur non-hukum. Kebangkitan hukum alam ini, dengan sendirinya tidak dalam bentuk dan corak hukum alam yang konvensional.
Formulasi doktrin ajaran hukum baru sebagai jawaban atas ketidakpuasaan konsep dasar Positivisme Hukum, diklasifikasikan dalam ajaran Mazhab Sejarah dan Utilitarianisme, yang cenderung memadukan antara sebagian konsep hukum alam dan sebagian konsep positivisme hukum. Makna ketidakpuasan tersebut, melahirkan beberapa kritikan terhadap konsep dasar Ajaran Positivisme Hukum dalam perkembangannya.
Pertama : Thomas Aquino memandang, bahwa walaupun Aliran Positivisme hukum lahir dari evolusi akal (rasion manusia), namun tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh Aliran Hukum Alam. Hukum positif buatan manusia lahir atau diciptakan (diturunkan) dari lex naturalis, yang merupakan bagian dari lex aeterna yang dapat ditangkap dan dimengerti oleh manusia sebagai makhluk yang mempunyai rasio. Hukum positif akan kehilangan kekuatannya, kalau bertentangan dengan Hukum Alam. Hukum Positif merupakan wahana justifikasi Hukum Alam, dalam keberlakuannya secara positif ditengah-tengah masyarakat.
Kedua : John Chipman Gray sebagai penganut Aliran Pragmatic Legal Realism mengeritik pandangan Kelsen tentang Teori Hukum Murninya. Hukum bukan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang, tetapi melainkan apa yang terdapat atau dilakukan dalam praktek diperadilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Hukum tercitrakan dari perilaku aparat (polisi, jaksa, hakim dan aparat penegak hukum lainnya), dan hukum tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh diluar non-hukum, seperti politik, sosiologis, psikologis, dan unsur lainnya.[54]
Ketiga : Austin sebagai salah satu pelopor (penganut) positivisme hokum, terkadang tidak konsisten dalam konsepnya menurut Thomas Aquino. Menurutnya, hokum bisa berasal dari Tuhan untuk manusia dan  dibuat manusia sendiri, yang disebut Hukum Positif yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang dan hokum yang dibuat oleh rakyat secara individual. Indikator yang dipergunakan untuk mengukur kualifikasi suatu aturan hokum adalah penguasa yang berdaulat, sehingga bisa dibedakan hokum yang sebenarnya dan hokum yang tidak sebenarnya.
Keempat : Teori Perintah Austin yang diteruskan oleh Hart, mendapat kritikan yang tajam. Hukum disini dipersamakan dengan konsep Thomas Hobbes, bahwa siapa yang kuat maka itulah yang menang (berkuasa) dalam konteks bermasyarakat. Penguasa dalam mengeluarkan aturan yang bersipat memaksa untuk ditaati, dipersamakan dengan seorang perampok (penyamun) yang memaksa korbannya untuk menuruti kehendaknya.
Kelima : Sementara Fichte[55] mendukung teori perintah Austin yang berasal dari negara, dan menganggap bahwa kewajiban moral adalah kewajiban hukum, sementara Austin menganggap bahwa kewajiban hukum berasal dari sipat perintah dan memaksanya hukum itu sendiri.
Keenam : Disamping itu, Hart juga kurang sependapat dengan beberapa dalil yang dikemukakan Kelsen. Pertama, bahwa suatu aturan hokum dapat berisi apasaja asal sesuai dengan stelsel Grundnorm, menurut Hart bahwa suatu atauran mempunyai syarat pinggir keharusan lamiah yang tidak dapat disingkirkan ketika membentuk peraturan. Kedua, berlakunya Grundnorm itu diterima dalam ilmu hukum, tetapi tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan menurut Hart. Cara berpikir pada zaman modern selama masa pencerahan, bersifat rasionalistis[56] dan individualistis. Dalam rasionalisme bertolak dari ide-ide umum yang berlaku bagi semua manusia, untuk kemudian diterafkan pada manusia secara individual. Cara berpikir demikian, memberikan keleluasan penyelidikan empiris dan mendapat kedudukan yang tetap dalam memikirkan asas-asas hukum, yang akhirnya dikembangkan dalam filsafat idealisme.[57] Filsafat idealistis (idealisme) mengkaji hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki rasio (akal) dan etika, yang berbeda dengan filsafat fositivistik dalam melihat hukum yang didasarkan pada pokok-pokok persoalan hukum itu sendiri, tanpa melibatkan aspek non-hukum.[58]
Ketujuh : Menurut L. Fuller, bahwa dalam pandangan positivisme hukum, hukum yang lebih tinggi boleh dipercaya pada keadilan, tetapi seseorang tidak boleh mencampurkan kepercayaan itu di dalam pelaksanaan hokum, karena akan keluar dari kaidah menurut ilmu pengetahuan hukum. Jadi apa yang dipahami sebagai hukum, adalah yang diakui, dibuat dan diumumkan oleh negara sebagai hukum. Dari pandangan ini jelas memperlihatkan, kedudukan hukum mutlak adanya tanpa bisa diganggu gugat, dan semuanya berlaku secara defenitif tanpa adanya keragu-raguan. Aspek inilah yang menimbulkan perdebatan, jika dipersandingkan antara Hukum Alam dengan Postivisme Hukum, mengenai sisi keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat. Hukum Alam yang rasionalistis, menganggap bahwa berlakunya hukum positif berdasarkan nilai dari isi aturan hokum, apakah isi dan norma suatu aturan hukum sesuai dengan hokum yang ideal berasal dari norma (moral) yang hidup dimasyarakat.
Kedelapan : Pandangan hukum alam ini ditentang oleh penganut positivisme, bahwa  pandangan yang demikian tidak benar dan tidak baik, karena akan menyalahi suatu putusan yang bernilai tetap (pasti). Berlakunya suatu aturan hukun positif, merupakan pelaksanaan peraturan secara nyata oleh penguasa dan bersesuai dengan system hokum yang berlaku. Dari bentuknya yang paling murni, positivisme hokum itu adalah suatu aliran dalam teori hokum yang ingin memahami hokum yang berlaku semata-mata untuk dirinya sendiri, dan menolak sedikitpun penilaian atas putusan mengenai peraturan hokum.
Kesembilan : Kant dalam dalil Kategorische Imperativenya,[59] menentang konsep dasar positivisme mengenai pemisahan mutlak hukum dan moral. Kant menganggap bahwa tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara Hukum dan Moral, karena hanya terletak pada ruang geraknya manusia, yaitu hukum bersipat ekstern dan moral bersipat intern.
 Kesepuluh : Sementara mengenai kajian hukum, Kant tidak sepakat dengan Austin dan Kelsen. Kant melihat hukum dalam kajiannya adalah hukum yang seharusnya, dan tidak mempersoalkan hukum yang seharusnya dan hukum dalam kenyataan.[60] Lain dengan Austin dan Kelsen yang melihat, bahwa hukum dalam hokum yang ada bukan hokum yang seharusnya. Neo-Kantianisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran positivisme pada abad ke.19, yang mendasarkan pandangannya pada filsafat idealisme dengan metode kritis yang dikembangkan oleh Kant, setelah mengalami reduksi metode analisisnya.[61]
Kesebelas : Sementara Stamler mendukung konsep tertutup dan tetapnya ajaran positivisme hukum. Menurutnya, hukum harus bersipat formal (bentuknya) dan universal, artinya harus terlepas dari pengalaman atau kenyataan social yang berubah-ubah.
Kedua belas : Unsur Kedaulatan dan Perintah dari konsep dasar ajaran Positivisme hokum, mendapat kritikan tajam dari Mazhab Sejarah dan Sosiological Jurisprudence.[62] Hukum ditaati (dipatuhi) oleh manusia karena dari hukum itu sendiri yang berdaulat (teori kedaulatan hokum), dan manusia tidak diperintah untuk mematuhi hokum, tetapi berdasar kemauan nurani sendiri karena berkenaan dengan nilai moral. Jadi hokum terlepas dari nilai kedaulatan dan perintah.
Ketiga belas : Von Savigny mengkritik Positivisme Hukum dalam konsep  bentuk formalnya (kodifikasi). Kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek yang negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Sejarah peradaban manusia jaran terus, tetapi hukum sudah dikodifikasi yang sulit untuk dirubah mengikuti perkembangan.
Keempat belas : Utrecht[63] mendukung kepastian hukum sebagai tujuan dalam konsep dasar positivisme hukum. Menurutnya bahwa hanya keputusan dapat membuat kepastian hukum sepenuhnya, maka hokum bersipat sebagai alat untuk mencapai kepastian hokum. Hukum sebagai suatu gejala kekuatan untuk mencapai kedudukan tertentu dalam menerapkan hokum yang pasti dan tetap.

P E N U T U P
Usaha dalam memaham konsep dasar ajaran Positivisme Hukum, tidak terlepas dari sudut pandang ideaolgi, aliran serta paham yang dianut. Penganut (pelopor) Positivisme Hokum dalam Filsafat Hukum dan Teori Hukum, sangat sulit menempatkannya secara pas. Hal ini disebabkan oleh inkonsistensi masing-masing ajaran dari aliran (mazhab) dalam memegang teguh prinsip dasar yang dianutnya. Baik dari segi metodologis, substansi, maupun dalam aspek fungsionalnya.
Seperti dalam konsep bagaimana manusia (orang) mematuhi hokum?, dari mana norma hukum itu, sehingga bisa mengikat setiap orang?, siapa yang berhak membuat dan memberikan sanksi?, bagaiamana tujuan dan fungsi hokum yang ideal?. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sangat sulit memilah yang mana pendapat (pandangan) pakar hokum yang tepat dan aliran mana yang dapat memecahkan (menjawab) pertanyaan tersebut secara konprehensip, sehingga dapat memuaskan setiap orang, dan dapat berlaku secara universal.
Jadi dalam perkembangan ilmu hokum, yang menjadi objek analisis Filsafat Hukum dan Teori Hukum kembali pada ungkapan, bahwa tidak ada suatu ajaran yang bersipat permanen. Permanen dimaksudkan disini adalah, bahwa konsep dasar suatu aliran (mazhab) maupun para pakar, berkembang seiring dengan perkembangan alur berpikir, lingkungan atau tempat diterapkan, kematangan kualitas analisis dan dari sudut pandang mana mereka melihat hokum itu
Formulasi thesa mengakibatkan antithesa yang akhirnya lahirlah sinthesa, senatiasa juga berlaku dalam perkembangan pemikiran dalam Filsafat Hukum dan Teori Hukum. Dari zaman purbakala sampai zaman modern sekarang ini, belum ada satupun konsep dasar masing-masing mazhab (aliran) yang dapat diterima secara mutlak. Begitupula dengan pendapat (pandangan) para ahli hokum, belum ada seorangpun yang dapat memberikan (mengemukakan) suatu teori yang dapat dijadikan pegangan semua orang, semua negara, dimana dan kapanpun.
Akhirnya, perkembangan ilmu hukum ber-evolusi sesuai dengan poros peradaban dan kebutuhan umat manusia, yang bermuara pada kebutuhan akan suatu aturan hokum yang tidak pernah terpuaskan. Perkembangan pemikiran ilmuan hokum, senantiasa berakselerasi pada gejala alam, dorongan nurani, serta dalam pencarian model (bentuk) aturan ideal yang tidak pernah tertemukan. Akhirnya akan menggiring pada metode mencari, mencari, dan mencari dengan mempergunakan metode dan analisis ilmiah untuk memecahkan kemisteriusan nilai jati diri manusia dan alam yang tidak pernah ditemukan.

DAFTAR  BACAAN


Abdurrahman, 1995, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Apeldoorn, L. J. Van, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Bix, Brian, 1999, Jurisprudence : Theory And Context-Second Edition, Sweet And Maxwell, London.
Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum (Alih Bahasa Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Darmodihardjo, Darji & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Mengapa Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Davies, Howard dan David Holdcooft, 1991, Jurisprudence : Text And Commentary, Butterworths, London.
Dias, R.M.M, 1976, Jurisprudence, Butterworhs, London.
Dworkin, R.M, 1977, The Philosophy Of Law, Oxford University Press, London.
Finch, John, 1974, Introduction To Legal Theory, Sweet dan Maxwell, London.
Freeman, M.D.A, 1994, Introduction To Jurisprudence-Sixth Edition, Sweet dan Maxwell, London.
Friedmann, Wolfgang, 1993, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I,II,III), terjemahan Moh. Arifin, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
----------------------------, 1970, Legal Theory, Columbia University Press, New York.
Hart, H. L. A, 1962, Law, Liberty And Morality, Stanford University Press, California.
-------------------, 1979, The Concept Of Law, Oxford at The Clarendon Press, London.
Huijbers, Theo, 1992, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah-Cetakan Keenam, Kanisius, Yokyakarta.
Kelsen, Hans, 1978, Pure Theory Of Law, University Of California Press.
----------------, 1995, Teori Hukum Murni (alih Bahasa Somardi), Rimdi Press, Jakarta.
Kattsoff, Louis O, 1986, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Lloyd, Dennis, 1994, Introduction To Jurisprudence-Sixth Edition, Sweet And Maxwell, London.
Lloyd, Lord, 1972, Introducrtion to Jurisprudence-Third Edition, Steven & Son, London.
Paton, George Whitecross, 1979, A Text Book Of Jurisprudence (terjemahan Arieeff, S-Jilid I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Rasjidi, Lili, 1985, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung.
--------------,1988, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?-Edisi Kedua, Remadja Karya, Bandung.
--------------, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Roestandi, Achmad, 1987, Responsi Filsafat Hukum-Cetakan Kedua, Armico, Bandung.
Rahardjo, Satjipto 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Setiardja, Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral, Kanisius, Yogyakarta.
Soetiksno, 1976, Filsafat Hukum (Bagian 1 dan 2-Cetakan Kelima), Pradnya Paramita, Jakarta.
Utrecht, E dan Moh. Saleh Djindang, 1982, Pengantar Dalam Hukum Indonesia-Cetakan Kesepuluh, Ichtiat Baru, Jakarta.


[1]     Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3. Sebagai kaidah (norma) hokum, dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa kalau tidak ditaati atau tidak dipatuhi.
[2]     Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992), hlm 101. Norma moral dipersepsikan sebagai suatu kaidah yang bersifat abstrak dan mengikat, karena menjadi suatu tuntunan yang mengacu pada aspek estetika dan nilai etis perilaku manusia dalam berinteraksi.
[3]     Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987),  hlm. 68. Menurut Austin, bahwa tata hukum adalah peraturan yang diperuntukkan kepada makhluk berakal (berpikir) dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka.
[4]     Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985), hlm. 13.
[5]     Norma hukum atau kaidah ini berkembang dan hidup ditengah-tengah masyarakat, baik yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis, berdasarkan dengan perkembangan keinginan, kemauan dan kebutuhan dalam berinteraksi.
[6]     Aturan ini dengan sendirinya sebagai suatu imbauan yang menggiring untuk berbuat dan tidak berbuat, sehingga tindakan (perilaku) seseorang tidak melanggar atau merugikan kepentingan orang lain. Ketidaktaatan terhadap aturan tersebut akan membuat adanya imbalan (sanksi) yang akan didapatkan oleh institusi yang berwenang memberikan ganjaran.
[7]     Sanksi tersebut merupakan wadah untuk membuat orang bertindak (bertingkah laku) seperti yang dimuat dalam aturan, karena kalau tidak akan mendapat ganjaran (imbalan) atas ketidaktaatannya terhadap aturan yang berlaku.
[8]     Imbalan (sanksi) terhadap tidak ditaatinya hokum tersebut mutlak adanya, karena tata hokum tersebut adalah merupakan kumpulan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam suatu negara yang diperuntukkan kepada masyarakatnya, dan semua masyarakat secara bersama-sama menetapkan apa yang merupakan hokum di dalam perbuatan orang-orang terhadap satu sama lain.
[9]     Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 72.
[10]   Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985),  hlm. 15.
[11]   Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm 119. Lihat juga Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988),  hlm. 10.
[12]   W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993), hlm. 1.
[13]   Abdurrahman, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 112-113. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 8.
[14]   Menurut Radbruch : bahwa tujuan hukum dipersepsikan sebagai cita hukum, yaitu : Keadilan, Kegunaan, dan Kepastian.
[15]   Aristoteles menganggap bahwa keadilan menurut hokum adalah sama dengan keadilan umum, yang diserahkan pada penilaian kebiasaan manusia dan alam semesta.
[16]   H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979), hlm. 183.
[17]   Theo Huijebrs, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Op. Cit., hlm. 79. Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hokum).
[18]   D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 67.
[19]   Akal manusia merupakan sumber satu-satunya sumber dari hokum maupun dalam penyelidikan alam semesta. Logika manusia sebagai pengejewantahan perkembangan berpikir memegang peranan penting dalam pembentukan hukum.
[20]   Zaman Renaissance dijiwai filsafat rasionalisme. Penganutnya : Pufendorf, Thomasius, Zpinoza, Leibniz, Wolf, Mountesgiue, Voltaire, dan J.J. Rousseau serta puncaknya pada Immanuel Kant pada abad 17-18, yang mengutamakan akal budi (rasio) manusia sebagai sumber kekuasaan tentang hidup dan dunia.
[21]   Menurut filosof Descartes, John Locke, Berkeley Hume : menganggap bahwa empirisme sebagai antithese rasionalisme, bukan lagi pikiran tetapi pengalaman sebagai sumber segala pengetahuan.
[22]   Ajaran Postivisme Hukum, yang menghendaki suatu aturan yang nyata dan konkrit, serta mempunyai kepastian tetap dalam keberlakuannya.
[23]   Potret keadilan tercermin dalam undang-undang pada saat dikitabkan dalam hokum positif, yang dapat memberikan kepastian hukum yang tetap.
[24] Hukum yang mempunyai daya sifat memaksa, diharapkan dapat menciptkan suatu kepastian dalam memberlakukan hokum ditengah-tengah masyarakat, karena tanpa daya paksa dalam memberlakukan hokum maka hokum itu dianggap sebagai motivasi moral yang tidak mempunyai tujuan yang jelas, sehingga organ yang menciptakan dan membuat hokum tidak akan mempunyai kewibawaan dalam mengatur masyarakat.
[25]   Pandangan Jean Bodin, bahwa dalam negara yang berdaulat terdapat suatu kekuasaan atas warga negara, yang tidak dibatasi oleh kekuasaan lain selain negara.
[26]   Kekuasaan sebagai pondasi bagi hukum dalam keberlakuannya, karena mendapat legitimasi oleh institusi yang berwibawa.
[27]   Hukum adalah suatu organisasi paksaan, sebab melekat penggunaan paksaan di dalam hubungan antar manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 19.
[28]   Von Jhering berpendapat, bahwa negara dan hukum mendapat asalnya dari suatu motif egoistis, yakni paksaan, karena negara adalah organisasi kekuasaan yang memaksakan.
[29]   Dari memudarnya perkembangan doktrin keadilan Hukum Alam pada abad XVII-XVIII, Ajaran Postisme Hukum mengedepankan doktrinnya pada asepk keadilan yang dilihat (dipotret) dalam undang-undang pada saat dikitabkan (dipositifkan).
[30]   Akal (rasio) manusia menjadi pusat setelah melalui penceran dalam ber-evolusi untuk mempergunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimiliki. Hal ini menggiring untuk menjadikan akal manusia sebagai pusat dalam pencaharian dan penyelidikan ilmu pengetahuan.
[31]   Positivisme Hukum diilhami oleh Zaman Ranaissance dan buah filsafat dari filosof Augustte Comte (1789-1857) yang pertama kali memperkenalkan Teori Tiga Tahap. Ketiga tahap tersebut, yaitu : 1) Pemikiran Teonom (teokratis), kehendak Tuhan untuk para dewa merupakan tolak ukur terakhir dari apa yang dinyatakan sebagai hokum; 2) Pemikiran hukum kodrat atau tahap falsafati, norma-norma prayuridis yang bersifat etis, didasarkan atas kodrat (hakikat) manusia, yang menentukan garis-garis pokok hukum; 3) Pemikiran hukum positif, sepenuhnya mandiri dari setiap instansi lain dari pada kehendak pembuat undang-undang dan dengan sendirinya harus diakui sebagai hukum yang sesungguhnya semata-mata. Dari ajarannya, diperkenankan teori bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia haruslah ber-evolusi dari stadium Teologis (mitis) ke-stadium falsafati, untuk akhirnya tiba pada kemenangan pasti akal dalam stadium positivistis.
[32]   Zaman Renaissance dimotori oleh Filsafat Rasionalisme, yang mengutamakan akal budi manusia sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.
[33] Kecenderungan dalam penyeleidikan ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang dapat diamati oleh pancaindera dan ketentuan hukum yang dapat ditemukan dalam fakta-fakta menjadi satu-satunya objek dalam ilmu pengetahuan hukum.
[34]   Menurut Kant, bahwa manusia tidak mampu mengetahui realitas material selain melalui ilmu pengetahuan.
[35]   Positivisme Sosiologis, memandang hukum sebagai gejala sosial yang diselidiki oleh ilmu sosiologi, positivisme yuridis menyelidiki hokum melalui ilmu hukum positif, Ajaran Hukum Umum, dengan metode filsafat empirisme.
[36]   Postivisme adalah suatu aliran dalam filsafat, yang ingin bekerja semata-mata dengan pengetahuan yang berdasarkan dengan fakta pengalaman, yang dapat diperiksa kebenarannya (verifiebaar) atau kepalsuannya (falsifiebaar) dan kemudian data itu akan dikerjakan dengan cara ilmu pengetahuan yang cermat. Lihat dalam N.E.Algra, et.al, Mula Hukum (Beberapa bab mengenai hukum dan ilmu untuk pendidikan  hukum dalam pengantar ilmu hukum), (Jakarta : Bina Cipta, 1983), hlm. 133.
[37]   Prinsip-prinsip pokok ajaran positivisme pada saat itu adalah : 1) Ilmu-ilmu positif adalah ilmu yang hanya dapat mengajarkan tentang kenyataan; 2) Ilmu pengetahuan yang ditujukan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal keteraturan hokum di dalamnya; 3) Positivisme menolak semua pengetahuan yang tidak dapat diselidiki secara inderawi.
[38]   Manusia ber-evolusi dalam stadium (tahapan) Teologis yang bersifat mistis, tahapan Falsafi, untuk akhirnya tiba pada kewenangan akal (rasio) dalam tahapan positivis.
[39]   Norma (tata hukum) mendapat bentuk positif dari suatu instansi yang berwenang (berdaulat). Hukum dianggap tidak berlaku kalau dasarnya dari kehidupan social, sumbernya dari jiwa bangsa, serta cerminnya dari hokum alam. Karena hokum tidak akrab dengan norma yang diluar dari norma hukum.
[40]   Sementara Friedmann memasukkan juga Positivisme Fungsional-Pragmatis, yang menganggap bahwa kenyataan-kenyataan social adalah penentu konsepsi-konsepsi hukum.
[41]   W. Friedmann, Legal Theory (London : Stevens & Sons Limited, Third Edition, 1953), hlm. 151. Hukum semata-mata dipandang dalam bentuk formalnya, yang dipisahkan dalam bentuk materialnya. Proses pembentukan hukum dilakukan melalui cara tertentu agar mempunyai dasar validitasnya, sehingga hukum didasarkan pada kekuasaan dari pihak yang berkuasa, tidak pada prinsip keadilan, moralitas yang baik dan buruk. Lihat juga G.W. Paton, A Text Book Of Jurisprudence, terjemahan Arief, S.S.T, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 16. Konsep hukum sebagai perintah dari penguasa, dimaksudkan dalam suatu aturan (hukum) implisit didalamnya perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari pemegang kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu negara. Lihat juga Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Op. Cit., hlm. 81. Aliran Analitical lahir dalam paham campuran konsepsi negara nasional di Inggris yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar serta mendapatkan pentaatan tanpa syarat dari rakyatnya. Di Jerman didukung oleh para penganut Teori Kedulatan Negara, yaitu Paul Labank dan Jellinek, bahwa hanya kaidah yang berasal dari kehendak dari negara saja sebagai hokum, dan kehendak itu termuat dalam Undang-Undang.
[42]   Brian Bix, Jurisprudence : Theory and Context (London : Sweet & Maxwell, 1991), hlm. 31.  Brian Bix menyatakan bahwa : “ In simple terms, legal positivism is built around the belief, the assumption, the dogma, that the question of what is the law is separate from, and must be kept separate from, the question of the law should be”. Hukum berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial masyarakat dan bukan bersumber dari jiwa bangsa serta bukan karena dasar mengikatnya hukum alam, melainkan karena hukum mendapatkan kekuatan berlakunya dari perintah dari suatu institusi yang berwenang dan berdaulat. Lihat juga Darji Darmodihardjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Mengapa Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1995), hlm. 97.  Lihat juga Soetiksno,  Filsafat Hukum, Cet. 5,  (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), hlm. 54.
[43]   Keputusan-keputuan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.
[44]   Kaidah perintah, supaya orang lain melakukan kehendak yang diinginkan hukum, dan merupakan pembebanan kewajiban bagi yang diperintah, sehingga kewajiban ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah tersebut adalah pihak yang berdaulat (dapat berupa seseorang atau sekelompok orang). Kaidah sanksi, akan mengalami penderitaan kalau hukum tidak ditaati atau dipatuhi. Kaidah kewajiban, membuat pembebanan kewajiban kepada orang yang diperintah. Kaidah kedaulatan, yang memerintah adalah pihak yang berdaulat (berkuasa) atas orang lain. Hukum Positif yang tidak memenuhi unsur, perintah (command), sanksi ( sanction), kewajiban (duty), kedaulatan (sovereignty) disebut sebagai moral positif.
[45]   Hukum adalah suatu tata bersifat memaksa, ganjaran sebagai tekhnik motivasi, hukuman sebagai tekhni paksaan, dan kepatuhan sukarela bukan sebagai kebebasan, tetapi merupakan motivasi paksaan dalam arti psikologis.
[46]   Hans Kelsen, Pure Theory of Law, diterjemahkan oleh Max Knight dari Bahasa Jerman (Berkeley : University of California Press, 1967), hlm. 1. Kelsen menyatakan : “ It is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attemps to eliminate from the object of this description everything that is not strictly law. Its aim is to free the science of law from alien elements”. Lihat juga R. M. Dworkin, The Philosophy of Law (New York : Oxford University Press, 1977), hlm. 17-37. Lihat juga John Arthur dan William H. Shaw, Reading in the Philosphy of Law ( New Jersey : Prentice Hall, 1993), hlm. 97-107. Menurutnya, bahwa Ajaran Hukum Murni Hans Kelsen, sesungguhnya merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yang hanya mengembangkan hokum sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter.
61   Kelsen memandang hukum sebagai keharusan yang terlepas sama sekali dari hukum sebagai kenyataan. Hukum ditaati oleh masyarakat, karena merasa wajib mentaati sebagai perintah dari negara (penguasa).
[47]   Sistem hukum pada hakekatnya merupakan sistem hierarkhies yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi (groundnorm). Lihat juga Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni diterjemahkan oleh Somardi (Rimdi Press, 1995), hlm. 126-137.
[48]   Validitas suatu norma hukum tidak dapat dipertanyakan atas dasar bahwa isi-isinya tidak sesuai dengan suatu nilai moral dan politik.
[49]   Jean Bodin, Ajaran Positivisme Hukum salah satunya dipengaruhi oleh Aliran Humanisme, dengan ide tentang kedaulatan raja (negara), bahwa satu-satunya sumber hukum adalah pembentukannya oleh negara.
[50]   Tercermin dalam dialektika Hegel, bahwa satu-satunya hukum yang berlaku adalah dari negara dan penguasa yang berdaulat.
[51]   Lord Lloyd, Introducrtion to Jurisprudence-Third Edition, (London : Steven & Son, 1972), hlm. 271. Lihat juga R.M. M. Dias, Jurisprudence, (London : Butterworhs, 1976),  hlm. 451.
[52]   Keadilan menurut Aristoteles adalah keadilan umum, yang harus ditaati.
[53]   Ajaran Hukum Alam bersifat umum dan Absrtrak, jadi diperlukan suatu susunan Hukum Postif sebagai Undang-Undang Negara yasng konkrit dalam keberlakuannya. Hukum Alam hanya bersifat (berfungsi)  regulative, sehingga tidak dapat berlaku sebagai aturan yang sifatnya nyata (konkrit).  Pufendorf menganggap Hukum Alam hanya sebagai norma moral bukan sebagai norma hukum (tata hukum). John Locke menyatakan hanya sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hukum, yang sesungguhnya.
[54]   Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung : Remadja Rosdakarya, 1993), hlm. 65. John Chipman Gray yang mempunyai slogan “all the law is judge made law”, mengemukakan contoh di Inggris dan USA yang menunjukkan bagaimana faktor-faktor  non-hukum memberi pengaruh besar terhadap penyelesaian terhadap suatu masalah.
[55]   Penguasa tidak tunduk pada hokum maupun asas-asas hokum yang berasal dari atas (segi moral).
[56]   Descartes dalam kajian filsafatnya, sangat mempengaruhi Filsafat Rasionalisme disamping Empirisme.
[57]   Filsafat idealisme dikembangkan oleh Hegel sebagai kesinambungan rasionalisme Kant. Hukum dipandang sebagai salah satu hasil perkembangan manusia sebagai subjek rohani.
[58]   Menurut L. Fuller, dalam pandangan postivisme hokum, seorang boleh mempercayai suatu hukum yang lebih tinggi,  pada keadilan, tetapi seseorang tidak boleh mencampurkan kepercayaan itu di dalam pelaksanaan hukum.
[59]   Filsafat etika Kant, mendasarkan kategori pada fungsi rasio manusia yang kedua, yakni keinginan bukan pada fungsi rasio yang pertama yakni pemikiran. Seperti contoh dalam dalilnya, yaitu bertindaklah kamu sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu dapat menjadi dasar bagi tindakan semua orang.
[60]   Pandangan Kant ini sejalan dengan pandangan Fichte, yang menyatakan bahwa kewajiban moral adalah menjadi keawajiban hokum, tetapi hokum hanya dapat dikendalikan oleh dan di dalam negara.
[61]   Filsafat Kant diperkuat oleh Hegel dengan filsafat monistisnya, yang mengetengahkan bahwa hanya ada satu kenyataan yaitu idea karena adanya proses dialektika (proses yang terjadi karena dalam setiap these selalu ada antithese yang menimbulkan sinthese).
[62]   Hukum tidak dimungkinkan untuk diterapkan oleh pemerintah (penguasa) tanpa melihat kaidah-kaidah yang hidup dan berlaku ditengah-tengah masyarakat, serta dalam perkembangannya senantiasa berkait dengan sejarah perkembangan peradaban manusia dalam memaknai kehidupan di atas dunia.
[63]   Hukum bertugas utama untuk menjamin kepastian hokum (rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia, disamping membuat adanya keadilan dan mewujudkan untuk berfaedah ditengah-tengah masyarakat.

Tidak ada komentar: