*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Jumat, 14 Januari 2011

Tulisan Artikel :


 “KONSEP-KONSEP DASAR RASIONALISME”
Oleh : Agussalim Andi Gadjong, SH., MH

ABSTRAK
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai norma dan kaidah sosial. Di dalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup, sebagai pedoman (penuntun) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelaahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat. Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia), dan manusia (warga negara) dengan negara. Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara (pemerintah atau penguasa). Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat,  berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat. 2 
Adanya kekuasaan “yang nyata” dapat memberikan suatu pedoman yang menyenangkan kepada para ahli hukum hanya karena ia menerima kesamaan antara kekuasaan dan kebenaran sebagai suatu dalil yang mutlak. “Ideologi” politik istilah itu terang hanya merupakan pernyataan nilai-nilai belaka; begitu pula relativisme yang menutupinya serta “pancaran emosionil” (emotional aura) yang mereka pupuk secara fundamentil merubah sifat moral atau immoralnya. Verum dan Certum dalam hukum, “Kebenaran” hukum adalah nilai moral yang dikandungnya, cahaya dan kegemilangan akal alamiah”. Tetapi unsur moral didalam hukum seharusnya jangan sampai membuat kita menutup mata terhadap aspek lainnya yang perlu, yakni nilai-nilai yang terkandung didalam perundang-undangan positif bila nilai-nilai “dikhususkan” atau dimasukkan kedalam suatu sistim peraturan-peraturan yang berkuasa. “Kepastian hukum mengakibatkan pengaburan akal, selama akal hanya dibantu oleh kekuasaan. Ini menyebabkan kita mengalami betapa sukarnya mentaati hukum, namun kita terpaksa mentaatinya, disebabkan sifat kepastiannya”.

1.  P e n d a h u l u a n.
Aktifitas manusia dalam bermasyarakat, dikuasai oleh berbagai norma-norma dan kaidah-kaidah sosial. Di dalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup[1], sebagai pedoman (penuntun) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelaahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat.[2] Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia  dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia), dan manusia (warga negara) dengan negara.
Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya,  berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh negara (pemerintah atau penguasa).[3] Walaupun secara positif,  norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak  secara keseluruhan diformulasi dalam bentuk aturan yang tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetap menjadi penuntun hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat,  berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatutan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku di masyarakat.
Norma (aturan) hukum yang menguasai dan mengatur tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi, disebut sebagai tata hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis).[4] Tata hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan tata keteraturan dan ketertiban bagi masyarakat dalam berinteraksi.
 Dalam penerapannya, tata hukum tersebut dimaknai sebagai wujud kesepakatan antara warga negara (masyarakat) dengan pemerintah (penguasa), yang dibuat atau diciptakan untuk mengatur tata kehidupan sosial masyarakat. Pertanyaan dan masalah-masalah sering muncul dalam pemaknaannya. Pemaknaan yang cenderung tidak terselesaikan sampai sekarang ini, harus dibedah, dikaji, dan ditelaah secara mendalam dan dijawab sendiri oleh ilmu hukum dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal ini berkenaan dengan pertanggungjawaban kaidah ilmiah, yang berkenaan dengan keberlakuan dan penerapan hukum ditengah-tengah masyarakat.[5]
Menjawab dan menyelesaikan pertanyaan serta masalah-masalah yang muncul, tidak bisa hanya dengan argumentasi dan analisa yang sederhana, tetapi memerlukan kajian yang mendalam. Salah satunya adalah dengan memasuki pintu kajian filsafat, yang mampu memberikan alasan apa, kenapa dan darimana sesuatu diperoleh (diperkenalkan).[6]
Refleksi terhadap kajian filsafat diperlukan, karena pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah tersebut, berimplikasi terhadap keberlakuan tata hukum yang seharusnya dalam sosial kehidupan masyarakat, baik interaksi individual maupun kelompok.[7] Kajian filsafat dengan sendirinya diawali pada aspek pemikiran yang tidak mampu dijawab dalam kajian ilmu hukum pada umumnya.[8]
Jadi filsafat hukum sebagai bejana (wadah) bagi kaum juris, dalam mengapresiasikan ide dan pemikiran dalam menyelesaikan masalah-masalah dan pertanyaan yang berkenaan dengan perkembangan ilmu hukum. Sementara disisi lain, filsafat hukum sebagai dapur dan atau perapian, dalam mengolah dan menganalisis lebih lanjut masalah-masalah dan pertanyaan yang tidak dapat (belum dapat) dipecahkan atau diselesaikan oleh ilmu hukum. Sehingga tata hukum dalam keberlakuannya, betul-betul dapat berfungsi sebagai sarana dalam mengatur dan menuntun tata kehidupan social masyarakat yang ideal.
Keberlakuan tata hukum sebagai tindakan kausalitas (sebab-akibat) antara alam, agama dan manusia dalam perkembangan ilmu hukum pada masa Yunani sampai Abad VI SM. Hukum dalam masa Yunani Kuno[9], hukum dipersepsikan dengan gejala-gejala alam sekitar. Sementara pada Abad Pertengahan dengan berkembangnya Ajaran Agama (Kristiani), hukum di analogikan sebagai hukum Tuhan. Hukum berasal dari ajaran Agama, sehingga berkembang dalam doktrin saat itu bahwa hukum adalah agama, dan agama adalah hukum serta aparat hukum adalah wakil Tuhan di dunia dalam menerapkan hukum.
Perkembangan pemikiran hukum dalam Abad Pertengahan (menjelang Abad XIII-XVI),[10] banyak diwarnai oleh ketergantungan perkembangan ajaran agama. Pintu logika dan kemandirian akal manusia, terkooptasi dalam ajaran agama. Fungsi hukum di maknai sebagai sarana dalam mengatur tata pergaulan manusia, yang berasal dari doktrin alam dan agama. Tujuan hukum[11] diformulasikan untuk membimbing manusia dalam mengenali arti hidup, interaksi sesama, serta dalam hubungan yang lebih luas lagi. Sehingga konsep awal dari manusia memahami hukum, diorientasikan pada sisi keadilan dalam jiwa (roh) alam dan doktrin agama.[12]
Hukum adalah keadilan yang termanifestasikan dalam doktrin alam dan agama, dan keadilan adalah tujuan hukum semata, yang berlaku mutlak dalam keberlakuan hukum ditengah-tengah masyarakat.[13] Doktrin fungsi dan tujuan hukum ini, dikembangkan dalam sistem filsafat transcendental-mistis dan kesakralan religius dalam bingkai ruang metapisika. Aspek pembuktian akan keberlakuannya, senantiasa menarik diri dari sudut verifikasi akan kebenaran fakta-fakta sosial ditengah-tengah masyarakat, yang senantiasa berkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Filsafat transcendental-mistis dalam ajarannya, mengkooptasi kemandirian akal (rasio) manusia.[14] Hukum dalam keberlakuannya, tidak melibatkan apreasiasi kemampuan akal (rasio) manusia secara mandiri. Konsep hukum dalam bentuk ini, menemukan formulasi yang ideal dalam perkembangan doktrin ajaran Hukum Alam.[15] Segala sesuatu berasal dari alam dan pesan religius, berikut simbol keberpihakan akan kemutlakannya. Manusia dalam berpikir, terkoptasi oleh makna simbolik alam dan agama.
Hukum dipersepsikan dengan simbol ke-alam-an dan lukisan kemutlakan religius, tanpa bisa tersentuh keutamaan dan kemandirian akan akal (rasio) manusia.[16] Stigma tujuan hukum untuk mencapai keadilan mutlak (absolute justice), kemudian dielaborasi pada sisi pencerahan pemikiran dengan mempergunakan akal dan rasio manusia.[17] Sisi pencerahan ini, berkembang pada Zaman Renaissance dengan mengutamakan kemampuan akal dan pikiran manusia, baik dalam mengenali diri maupun segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia (termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran hukum).[18]
Memasuki Zaman Renaissansce (mulai pertengahan Abad XVII), perkembangan pemikiran hukum memasuki babakan baru, dengan berkembangnya doktrin (filsafat) Rasionalisme dan Empirisme.[19] Filsafat rasionalisme dan empirisme merupakan antithese ketidakpuasaan rasio manusia, akan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak nyata.[20]
Kemandirian akal (rasio) manusia diperkenalkan, sebagai antithesa kejenuhan akan keterkungkungan nilai abstraksi logika.[21] Abstraksi logika manusia yang menyangkut keangkeran alam dalam dekapan pesan-pesan religius kitab suci (ajaran agama) mulai terpinggirkan. Logika manusia menuju pada nilai konkritisisme dan rasionalisme, terhadap penyelidikan makna hidup dan alam kehidupan manusia. Keterkungkungan akal (rasio) manusia dilepas dengan evolusi pikir dengan mempergunakan logika, yang berasal dari pemberdayaan akal (rasio) untuk mengenali diri dan alam semesta. Pusat kajian (penelitian) sumber-sumber ilmu pengetahuan mengalami pergeseran, dari kemutlakan alam dan doktrin agama kepada pemberdayaan kemampuan dan keutamaan akal (rasio) dan keberadaan manusia dalam mengenali jati diri dan alam semesta.
Filsafat baru ini,[22] mereduksi dan mengelaborasi sebagian konsep dasar ajaran filsafat transendental-mistis. Kemutlakan alam-religius dan keabstraksian pemikiran terpinggirkan, oleh kemampuan evolusi akal (rasio) dalam mengenali diri dan alam kehidupannya. Evolusi pikir dalam pengembangan kemampuan mempergunakan logika akal (rasio), mengiringi lahirnya filsafat empirisme, rasionalisme, idealisme, dan konkritisisme, Kemampuan logika akal (rasio) manusia dijadikan sebagai salah satu sumber, untuk memahami dan menyelidiki manusia dan alam kehidupan semesta.
Awal evolusi pikir dalam kehidupan manusia ditandai dengan lahirnya Zaman Renaissance,[23] sebagai awal pencerahan dan penyegaran rasio dalam memaknai hidup. Kajian tentang norma atau tata hukum diilhami filsafat empirisme,[24] yang menghendaki adanya suatu aturan yang nyata dan konkrit.[25] Tujuan hukum bukan lagi semata-mata mengejar sisi keadilan yang abstrak, tetapi dielaborasi dalam mencapai suatu kepastian hukum yang tetap, nyata dan konkrit.[26]
Hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersipat tetap, yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat.[27]  Kodifikasi aturan hukum dalam bentuk tertulis, mulai diperkenankan secara resmi dalam keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat.[28]
 Hukum dijadikan sebagai roh kekuasaan dalam pelaksanaannya, karena kekuasaan tanpa adanya justifikasi dari aturan hukum yang tertulis, akan memberi dampak ketidakpercaryaan masyarakat terhadap penguasa yang ada[29] atau kekuasaan yang cenderung melahirkan tirani (kesewenang-wenangan). Sementara aturan hukum  dalam implementasinya, memerlukan kekuasaan sebagai pengawal dalam penerapannya. Setiap stigma kebijakan[30] yang dikeluarkan oleh penguasa, memerlukan landasan aturan hukum yang positif, sebagai alat paksa untuk memonopoli masyarakat dalam keterikatan.
Monopoli penguasa dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban, dijelmakan melalui kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam aturan hukum. Aturan hukum sebagai alat paksa penguasa, bertujuan untuk menata signifikansi antara interaksi  masyarakat dengan negara yang sesuai dengan cita dan tujuan bernegara.[31] Akhirnya, cita dan tujuan bernegara, diharapkan sinkron dengan makna kehidupan manusia, yang terbingkai dalam kemakmuran, keamanan, keselamatan, kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia dalam bernegara.

2.      Konsep Dasar Rasionalisme Hukum.
Filsafat yang melahirkan pemikiran hukum, sudah mulai berkembang di Yunani pada Abad VI SM.[32] Awal dari pemikiran hukum ini, berkembang pemikiran hubungan antara hukum dan moral, yang dalam perkembangannya menyentuh perdebatan yang lebih luas antara hukum, moral, negara dan masyarakat.[33]
Gagasan pemikiran hukum, moral dan agama di Yunani (dipelopori oleh Anaximandros Heraklitos, Parmenides, Sokrates, Plato, dan Aristoteles), kemudian bergeser (masuk) ke Romawi melalui adopsi kebudayaan dan kemudian berkembang di daratan Eropah. Kemudian dari Eropah, berkembanglah (diterimalah) pemikiran hukum oleh banyak bangsa di dunia ini.[34]
Pelopor pemikiran hukum pada zaman Yunani dan kejayaan Romawi, seperti Aristoteles senantiasa menekankan filsafatnya pada aspek hukum sebagai tatanan semesta alam yang juga mengatur kehidupan bersama manusia dalam bermasyarakat. Filsafat Aristoteles ini dalam lintasan perkembangan pemikiran hukum, menjadi salah satu peletak filsafat hukum alam, yang senantiasa mengedepankan hukum alam yang didasarkan pada kodrat manusia.[35]
Setelah memasuki abad pertengahan, bersamaan dengan runtuhnya kejayaan Romawi, filsafat hukum alam yang senantiasa diletakkan pada konsepsi alam dan kodrat manusia, mengalami pergeseran nilai. Hukum Agama (khususnya agama Kristiani) turut berpengaruh dan menentukan pemikiran hukum selanjutnya dalam perkembangannya.[36] Doktrin Agama diadopsi menjadi aturan hukum, sehingga perkembangan pemikiran hukum terbelenggu dalam nilai statisme teologis, tanpa mengikutsertakan manusia sebagai subjek dalam berkreasi pikir dan ide.
Setelah berkembang sekian lama, pemikiran hukum yang mengadopsi doktrin agama, mengalami pergeseran dan kejenuhan dalam konsepsinya. Manusia berusaha mencari sesuatu hal, yang senantiasa dapat memuaskan perasaan hukum masyarakat banyak. Proses pencarian ini, mendapat tempat yang layak dengan lahirnya (memasuki) Zaman Renaissance.[37]
Zaman Renaissance sebagai alternatif pencerahan pemikiran manusia dalam perkembangan pemikiran hukum, meletakkan doktrin dan kajiannya pada Filsafat Individualisme.[38] Manusia sebagai subjek mendapatkan tempat yang layak, dalam memikirkan perkembangan ilmu hukum. Rasio dan akal diperkenankan berkreasi, disamping doktrin alam dan teologi. Dari perkembangan zaman ini, khusus dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat muncul (lahirlah) Aliran Rasionalisme.[39]
Perkembangan pemikiran hukum dalam Aliran Rasionalisme, berusaha melepaskan diri dari ikatan teologi semata. Hukum dipersepsikan sebagai suatu aturan atau ketentuan yang dikembangkan dengan mempergunakan rasio manusia. Hukum lepas dari kehendak Tuhan semata, dan yang selalu dapat di deduksikan dalam penerapannya. Metode yang dipergunakan adalah metode deduksi, yang berpangkal dari dalil-dalil tetap, bukan dari kenyataan dan pengalaman-pengalaman yang berubah-ubah dan berlainan menurut waktu dan tempat.[40]
Abad XIX dicitrakan sebagai abad perkembangan dalam evolusi pikir, dengan bertambahnya kesadaran manusia atas kekuasaan (kekuatan) akan kemampuan rasio (akal) manusia sendiri.[41] Akal (rasio) manusia lepas dari ikatan kemutlakan faham religius,  sebagai penjelmaan dari akal Tuhan (dijelmakan dalam doktrin ajaran agama). Akal (rasio) manusia dianggap dan diterima sebagai salah satu sumber dari penyelidikan ilmu pengetahuan (hukum), alam semesta dan manusia.[42]
Perkembangan evolusi pikir manusia dengan mempergunakan akal dan rasio, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari Filsuf DESCARTES.[43] Pemikiran Descartes mampu menerobos relung kegelapan perkembangan filsafat di abad pertengahan, dengan memulai dunia pemikiran yang baru dalam bidang filsafat. Dari perkembangan pemikirannya, menempatkan manusia sebagai sumber dalam meninjau hubungan manusia dengan alam semesta.
Ajaran filsafat Descartes dalam perkembangannya, dapat dipahami dalam beberapa hal, antara lain; Pertama [44]:  Titik tolak filsafat Descartes, diawali dari sesuatu kebenaran yang harus dibuktikan dari dalam dirinya sendiri. Pembuktian kebenaran ini, tidak berada diluar dari kebenaran itu sendiri.  Kebenaran itu harus benar-benar pasti dan tidak boleh diragukan, karena hal ini merupakan titik utama (dasar) dalam memulai suatu kajian filsafat.
Dari titik tolak utama ini, dimulailah suatu petualangan nalar manausia, dalam membuktikan suatu itu benar yang berdasar pada pengamatan inderawi dan pengenalan bathiniah. Pandangannya dalam melihat dan meninjau alam semesta dilihat dari manusia. Manusia sebagai sumber dalam mengkaji perkambangan alam dan peradaban manusia;
Kedua [45]: Metode filsafat yang dipergunakan Descartes, dimulai dari sisi keraguan akan sesuatu kebenaran, yang dalam kajian filsafat disebut “Metode Ragu”. Metode ini berusaha meragukan apa yang dianggapnya diketahui, dan apa yang tampak padanya sebagai sesuatu yang paling tidak diragukan.
Namun, metode ragu ini bukan mengandung “skeptisisme”[46] yang bisa mengaburkan makna keraguan akan kebenaran secara universal, tetapi sebagai pijakan dalam memulai pencarian tentang sesuatu kebenaran. Descartes dengan metode ragunya, berusaha menyingkap tabir keruwetan dan kekacaubalauan hubungan antara filsafat dan teologi, sebagai peninggalan ajaran hukum alam di abad pertengahan. Descartes dengan ajarannya, berusaha melepaskan kajian filsafat dari agama, serta memberikan ajaran tentang adanya Tuhan dan kekekalan manusia dengan bantuan argumen rasio filsafat manusia;
Ketiga [47]: Hasil dari penelusuran filsafat Descartes tentang kebenaran, akan bermuara pada penemuan pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dari kajian filsafat, diperoleh berdasarkan pada pengamatan inderawi dan pengenalan bathiniah. Hubungan antara keduanya merupakan satu simpul yang saling melengkapi. Pengetahuan diawali dari keraguan akan kebenarannya, kemudian dikaji dalam suatu metode penyelidikan yang sistematis, yang akhirnya sampai pada pembenaran inderawi dan pengesahan banthiniah, bahwa sesuatu itu adalah pasti kebenaran pengetahuan dan tidak dapat diragukan sama sekali mengenai kebenaran akan keberadaannya, karena kebenaran itu dimunculkan dalam dirinya sendiri.
Disisi lain, ajaran filsafat Descarter merupakan peletak dasar dalam menentukan perkembangan filsafat hukum modern, yang dalam pandangan filsafatnya banyak berpengaruh terhadap ajaran filsuf lainnya. Buah pikirannya dapat dilihat konsep tentang keadaan alam, konsep perjanjian masyarakat, konsep tentang HAM, konsep hubungan antara masyarakat, agama dan negara;
Keempat [48]: memperkenalkan ajaran pembuktian kebenaran melalui argumentasi nalar dan rasio, bahwa suatu kejelasan atau kejernihan dapat dipahami oleh setiap orang dengan akal yang sehat. Sesuatu  mungkin benar kalau dapat dibuktikan dalam pakta yang jelas dan jernih;
Kelima [49]: mengajarkan sitim filsafat yang sistimatis, serta menolak segala praduga. Filsafat sistimatis digambarkan dalam hubungan bahwa suatu dalil dari suatu sistim filsafat saling dihubungkan dengan sedemikian rupa, sehingga dalil yang satu timbul dari dalil yang lainnya. Sistim filsafat ini dibangun dalam konsep “ More Geometrico” artinya “Menurut Pola Geometri”.
Manusia sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, bukan karena ketundukannya secara mutlak terhadap alam dan doktrin agama, tetapi manusia mempunyai kemampuan akal dan rasio dalam mengenali diri dan menciptakan peradabannya. Dari ajaran Filsafat Descarter turut mempengaruhi pandangan filsuf lainnya, seperti; Thomas Hobbes; J.J.Rousseau dalam menentukan hukum modern (Ajaran Perjanjian Masyarakat, Gagasan Hak Asasi Manusia).[50]
Dari perkembangan doktrin Aliran Rasionalisme sebagai suatu sistem filsafat dalam bidang pemikiran hukum, setidaknya kelahirannya di dorong oleh beberapa sebab, antara lain : Pertama ; kelahirannya disebabkan oleh berkembangnya pemikiran dalam ilmu yang memasuki Zaman Renaissance. Zaman ini dikenal sebagai salah zaman dalam perkembangan lintasan sejarah filsafat pencerahan, dimana akal dan rasio manusia mendapatkan tempat yang layak dalam penyelidikan ilmu pengetahuan dan filsafat;[51]
Kedua : Sebagai jawaban atas kritik keberlakuan  sistem filsafat transendental-mistis, yang senantiasa dikembangkan dalam doktrin hukum alam (hukum yang diadopsi dari doktrin teologi/agama). Filsafat transendental-mistis, senantiasa memenjarakan rasio dan akal manusia dalam dekapan kemutlakan fenomena alam dan kemutlakan doktrin agama. Aliran Rasionalisme dalam perkembangannya, senantiasa mengutamakan aspek rasional manusia sebagai subjek dan fakta-fakta yang konkrit dimasyarakat;[52]
Ketiga : adanya usaha para pemikir filsafat (khususnya di bidang hukum), untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang berdasar pada fakta-fakta empiris yang dapat diverifikasi secara ilmiah dari aspek pembuktiannya. Metode penyelidikan ilmiah ini, sejalan dengan metode yang diperkenalkan oleh Aliran Rasionalisme, yang dalam penyelidikan senantiasa mengedepankan aspek pembuktian ilmiah dan fakta, sehingga hukum yang dibuat dan diterapkan ditengah-tengah masyarakat berdasarkan dengan fakta yang ada di tengah-tengah masyarakat, serta dapat dipertanggungjawabkan dalam aspek pembuktian dan keberlakuannya.[53]
Doktrin Aliran Rasionalisme dalam pemikiran hukum dalam perkembangannya, banyak mendapat tempat dalam pemikiran para filosof seperti Immanuel Kant. Kant sebagai salah satu penganut Rasionalisme memperkenalkan ajarannya, yang terkenal dengan nama Rasionalisme Kant.[54]
Inti ajarannya mendasarkan pada teori hukum idealistik yaitu : bahwa manusia sebagai makhluk rasional dan beretika, serta mengkaji perkembangan manusia sebagai subyek rohani dalam mengenali diri dan alam sekitarnya. Dalam mengenali diri dan alam semesta, manusia diperkenalkan pada kemampuan akal (rasio) yang dibawa semenjak manusia lahir. [55]
3. Perkembangan Doktrin Aliran Rasionalisme.
            Perkembangan Doktrin Aliran Rasionalisme, seiring dengan alur perkembangan dalam pemikiran hukum, yang membawa hasil pada beraneka ragamnya sudut pandang para pakar dan situasi yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Ajaran Rasionalisme Kritikal sebagai salah satu hasil pengembangan dari dasar ajaran Rasionalisme, membawa pada tataran pemikiran yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan dari masalah yang ada.[56]
Aliran Rasionalisme Kritikal dikembangkan oleh Karl Popper,[57] sebagai jawaban dalam mengembangkan pengetahuan hukum. Menurutnya, bahwa pengetahuan ilmiah harus objektif dan teoritikal, yang akhirnya merupakan penggambaran dari dunia yang dapat diamati secara inderawi. Ini sejalan dengan teori korespondensi yang melihat tentang kebenaran yang dihasilkan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Pengetahuan ilmiah adalah benar, kalau secara inderawi sesuai dengan kenyataan dapat dibuktikan dengan memakai metode deduksi, tanpa meninggalkan metode induksi dengan asas verifikasi. Untuk mengembangkan doktrinnya lebih lanjut khususnya dalam penelitian hukum, Rasionalisme Kritikal dalam melakukan penelitian, menjadikan metode deduksi dan asas falsifikasi sebagai kriterium penguji  tentang kebenaran yang ideal dari ilmu.[58] 
Ajaran Rasionalisme Kritikal,[59] memulai dengan merumuskan hipotesis-hipotesis secara deduktif pada fakta-fakta yang dapat diamati, agar timbul sebuah teori ilmiah yang objektif. Hipotesis dijadikan sebagai penunjuk jalan, yang didasarkan pada pandangan intersubjektif tentang bagaimana seharusnya penelitian itu dilakukan. Hipotesis juga berfungsi sebagai konstitutif bagi fakta yang teramati, sehingga peneliti mendapatkan aspek-aspek relevan dari kenyataan yang harus diteliti.

4. P e n u t u p.
Usaha dalam memaham konsep dasar ajaran Rasionalisme Hukum, tidak terlepas dari sudut pandang ideolgi, aliran serta paham yang dianut. Penganut (pelopor) Rasionalisme Hukum dalam Filsafat dan Filsafat Hukum, sangat sulit menempatkannya secara pas. Hal ini disebabkan oleh sering terjadi inkonsistensi masing-masing penganut mazhab dan aliran dalam memegang teguh prinsip dasar yang dianutnya. Baik dari segi metodologis, substansi, maupun dalam aspek fungsionalnya.
Seperti dalam konsep bagaimana manusia (orang) mematuhi hukum?, dari mana norma hukum itu, sehingga bisa mengikat setiap orang?, siapa yang berhak membuat dan memberikan sanksi?, bagaiamana tujuan dan fungsi hukum yang ideal?. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sangat sulit memilah yang mana pendapat (pandangan) pakar hukum yang tepat dan aliran mana yang dapat memecahkan (menjawab) pertanyaan tersebut secara konprehensip, sehingga dapat memuaskan setiap orang, dan dapat berlaku secara universal.
Jadi dalam perkembangan ilmu hukum, yang menjadi objek analisis atau kajian dari Filsafat dan Filsafat Hukum kembali pada ungkapan, bahwa tidak ada suatu ajaran yang bersipat permanen. Permanen dimaksudkan disini adalah, bahwa konsep dasar suatu aliran (mazhab) maupun pandangan para pakar (ahli), berkembang seiring dengan perkembangan alur berpikir, lingkungan atau tempat diterapkan, kematangan kualitas analisis dan dari sudut pandang mana mereka melihat hukum itu
Formulasi thesa yang mengakibatkan antithesa pada akhirnya lahirlah sinthesa, senatiasa juga berlaku dalam perkembangan pemikiran dalam Filsafat dan Filsafat Hukum. Dari zaman purbakala sampai zaman modern sekarang ini, belum ada satupun konsep dasar masing-masing mazhab (aliran) yang dapat diterima secara mutlak. Begitu pula dengan pendapat (pandangan) para ahli hukum, belum ada seorangpun yang dapat memberikan (mengemukakan) suatu teori yang dapat dijadikan pegangan semua orang, semua negara, dimana dan kapanpun.
Akhirnya, perkembangan ilmu hukum ber-evolusi sesuai dengan poros peradaban dan kebutuhan umat manusia, yang bermuara pada kebutuhan akan suatu aturan hukum yang tidak pernah terpuaskan. Perkembangan pemikiran ilmuan (pakar) hukum, senantiasa berakselerasi pada gejala alam, dorongan nurani, serta dalam pencarian model (bentuk) aturan ideal yang tidak pernah tertemukan. Akhirnya akan menggiring pada metode mencari, mencari, dan mencari dengan mempergunakan metode dan analisis ilmiah untuk memecahkan kemisteriusan nilai jati diri manusia dan alam yang tidak pernah ditemukan.

Jakarta, 01 Agustus 2002.
Oleh  : Agussalim Andi Gadjong









DAFTAR  BACAAN

Abdurrahman, 1995, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Apeldoorn, L. J. Van, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Arry Mth. Soekowathy, 2001, Orientasi Filsafat Hukum, Philosophy Press, Yogyakarta.
Bix, Brian, 1999, Jurisprudence : Theory And Context-Second Edition, Sweet And Maxwell, London.
Bodenheir, Edgar, 1978, Jurisprudence : The Philosophy and Method of the Law,  Harvard University Press, USA.
Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum (Alih Bahasa Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Costas Douzinas, Ronnie Warrington, Shaun McVeigh, 1991, Postmodern Jurisprudence,  Routledge, London.
Darmodihardjo, Darji & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Mengapa Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Davies, Howard dan David Holdcooft, 1991, Jurisprudence : Text And Commentary, Butterworths, London.
Dias, R.M.M, 1976, Jurisprudence, Butterworhs, London.
Dworkin, R.M, 1977, The Philosophy Of Law, Oxford University Press, London.
Finch, John, 1974, Introduction To Legal Theory, Sweet dan Maxwell, London.
Fletcher, P. George, 1996, Basic Concepts of Legal Thought, Oxford University Press, New York.
Freeman, M.D.A, 1994, Introduction To Jurisprudence-Sixth Edition, Sweet dan Maxwell, London.
Friedmann, Wolfgang, 1993, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I,II,III), terjemahan Moh. Arifin, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
----------------------------, 1970, Legal Theory, Columbia University Press, New York.
Hart, H. L. A, 1962, Law, Liberty And Morality, Stanford University Press, California.
-------------------, 1979, The Concept Of Law, Oxford at The Clarendon Press, London.
Huijbers, Theo, 1992, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah-Cetakan Keenam, Kanisius, Yokyakarta.
Kelsen, Hans, 1978, Pure Theory Of Law, University Of California Press.
----------------, 1995, Teori Hukum Murni (alih Bahasa Somardi), Rimdi Press, Jakarta.
Kattsoff, Louis O, 1986, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Kartasapoetra, G. Rien, 1988, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta.
Lloyd, Dennis, 1994, Introduction To Jurisprudence-Sixth Edition, Sweet And Maxwell, London.
Lloyd, Lord, 1972, Introducrtion to Jurisprudence-Third Edition, Steven & Son, London.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum : Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Murphy, G. Jeffrie and Jules L. Coleman, Philosophy of Law : An Introduction to Jurisprudence, (USA : Westview Press, 1990)
Paton, George Whitecross, 1979, A Text Book Of Jurisprudence (terjemahan Arieeff, S-Jilid I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Radbruch, G, 1950, Rechtsphilosophie, Koehler Verlag, Stuttgart.
Rasjidi, Lili, 1985, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung.
--------------,1988, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?-Edisi Kedua, Remadja Karya, Bandung.
--------------, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Roestandi, Achmad, 1987, Responsi Filsafat Hukum-Cetakan Kedua, Armico, Bandung.
Rommen, A. Heinrich, 1998, Natural Law : A Study in Legal and Social History and Philosophy, Liberty Fund, Inc., Indianapolis.
Scheltens, D.F/Bakri Siregar, 1984, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta.
Setiardja, Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral, Kanisius, Yogyakarta.
Soetiksno, 1976, Filsafat Hukum (Bagian 1 dan 2-Cetakan Kelima), Pradnya Paramita, Jakarta.
Utrecht, E dan Moh. Saleh Djindang, 1982, Pengantar Dalam Hukum Indonesia-Cetakan Kesepuluh, Ichtiat Baru, Jakarta.


[1]Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3. Sebagai kaidah (norma) hokum, dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah atau penguasa kalau tidak ditaati atau tidak dipatuhi.
[2]Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yokyakarta : Kanisius, 1992), hlm 101. Norma moral dipersepsikan sebagai suatu kaidah yang bersifat abstrak dan mengikat, karena menjadi suatu tuntunan yang mengacu pada aspek estetika dan nilai etis perilaku manusia dalam berinteraksi.
[3]Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Edisi Kedua, (Bandung : Armico, 1987),  hlm. 68. Menurut Austin, bahwa tata hukum adalah peraturan yang diperuntukkan kepada makhluk berakal (berpikir) dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka.
[4]Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung : Remadja Karya, 1985), hlm. 13. Lihat juga Utrecht dan Moh. Saleh Jindang, 1983, Op. Cit.,  hlm. 27.
[5]Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1985),  hlm. 15.
[6]Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yokyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm 119. Lihat juga dalam  Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  (Bandung : Remadja Karya, 1988),  hlm. 10.
[7]Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 79. Lihat juga Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab & Refleksinya, Op. Cit., hlm. 15. Kajian Filsafat Hukum akan mengarahkan untuk membahasa ilmu hukum sampai kepada akar masalahnya, dengan diawali oleh ide-ide dan pemikiran yang berkembang dalam dalam keberlakuan tata hukum.
[8]W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, (Jakarta : Radjawali Pers, 1993), hlm. 1. Filsafat hukum membedah dan menganalisis permasalahan-permasalahan hukum, dengan berusaha menjawab dan menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh perkembangan teori hukum, dalam perkembangan pemikiran hukum yang dipaparkan oleh kaum juris.
[9]Howard Davies dan David Holdcroft, Jurisfrudence : Texts and Commentary, (London : Butterworths, 1991), hlm. 153-152. Orang Yunani terkesan akan keteraturan dan ketertiban yang terdapat dalam alam kodrat, substansi ditempatkan dalam keyakinan alam kodrat, sehingga alam sebagai keanekaragaman setempat di dalam kerangka prima yang sejenis yang dijumbuhkan dalam pengertian ilahi. Istilah alam menunjuk pada sesuatu yang menyebabkan apa saja mengambil sikap serta keadaan seperti yang terdapat dalam kenyataan. Lihat dalam  Louis Kattsoff, 1987, Op. Cit., hlm. 264.
[10]Edgar Bodenheir, Jurisprudence : The Philosophy and Method of the Law, (USA : Harvard University Press, 1978), hlm. 21-23.
[11]Menurut Radbruch : bahwa tujuan hukum dipersepsikan sebagai cita hukum, yaitu : Keadilan, Kegunaan, dan Kepastian. Lihat dalam G. Radbruch, Rechtsphilosophie, (Stuttgart : Koehler Verlag, 1950), hlm. 209. Lihat juga dalam Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Op. Cit., hlm. 77.
[12]Howard Davies dan David Holdcroft, Op. Cit., hlm. 155-156. Lihat juga dalam Edgar Bodenheir, Op. Cit., 26. Lihat juga dalam Theo Huijebrs, Op. Cit., hlm. 29. Aristoteles menganggap bahwa keadilan menurut hukum  sama dengan keadilan umum, yang diserahkan pada penilaian kebiasaan manusia dan alam semesta.
[13]Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Op. Cit.,  hlm. 11.
[14]H.L.A. Hart, The Concept Of Law (London : Oxford at The Clarendon Press, 1979), hlm. 183. Lihat juga dalam  Louis Kattsoff, Op. Cit., hlm. 268-269.
[15]Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  Op. Cit.,  hlm. 45. Doktrin hukum alam dari sisi substansi ajarannya, memperkenalkan akan ketundukan manusia terhadap gejala-gejala alam dan doktrin-doktrin agama dalam kemutlakannya, sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun akan usaha manusia dalam mengapresiasikan kemampuan akal (rasio) yang dimilikinya dalam mengenali diri dan alam sekitarnya.
[16]Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  Op. Cit.,  hlm. 140. Aturan-aturan hukum yang diberlakukan berasal dari simbol-simbol kealaman dan doktrin-doktrin agama, yang senantiasa diperkenankan oleh pakar, ahli, dan ilmuan pada waktu itu. Manusia harus pasrah dalam penerimaannya, tanpa ada sedikitpun kesempatan untuk menerjemahkan aturan tersebut dengan mempergunakan kemampuan bedah akal (rasio) manusia.
[17]Theo Huijebrs, Op. Cit., hlm. 79. Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hukum).
[18]Achmad Rustandi, Op. Cit., hlm. 51. Zaman Renaissance diartikan sebagai zaman kelahiran atau kebangkitan kembali. Kebangkitan kembali dipersepsikan sebagai suatu kebangkitan kembali dari kesadaran manusia atas kemampuannya sendiri sebagai individu yang mempunyai rasio. Sekaligus Renaissance diartikan sebagai gerakan yang timbul sebagai reaksi atas sistem klerikalisme dan feodalisme di abad pertengahan, yang menganggap manusia hanya sebagai objek dan manusia terbelenggu dalam doktrin teologi (agama)
[19]Utrecht & Moh.Saleh Jindang, Op. Cit.,  hlm. 13. Kelahiran sistim filsafat rasionalisme dan empirisme, diawali pada pertengahan abad ke-XVII sebagai salah satu usaha manusia dalam berpikir rasional untuk mengenali diri dan alam semesta, dan melakukan penyeleidikan-penyelidikan ilmiah yang berdasar dengan fakta-fakta empiris, yang bisa diverifikasi secara ilmiah dari aspek pembuktiannya.
[20]D.F. Scheltens, Inleiding Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht, Terjemahan Bakri Siregar,  Pengantar Filsafat Hukum (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 67. Sebagai jawaban atas kritik keberlakuan system filsafat transcendental-mistis, yang senantiasa memenjarakan dan mengungkung keberadaan kemampuan rasio dan akal manusia dalam dekapan kemutlakan alam dan doktrin agama. Sehingga dalam perkembangannya Aliran Rasionalisme memperkenalkan keutamaan aspek rasional dan fakta-fakta yang ada.
[21]H.L.A. Hart,  Op. Cit.,  hlm. 19.
[22]Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?, Op. Cit.,  hlm. 21-22. Akal manusia merupakan sumber satu-satunya sumber hukum maupun dalam penyelidikan alam semesta. Logika manusia sebagai pengejewantahan perkembangan berpikir memegang peranan penting dalam pembentukan hukum.
[23]Zaman Renaissance dijiwai filsafat rasionalisme. Penganutnya : Pufendorf, Thomasius, Zpinoza, Leibniz, Wolf, Mountesgiue, Voltaire, dan J.J. Rousseau serta puncaknya pada Immanuel Kant pada abad 17-18, yang mengutamakan akal budi (rasio) manusia sebagai sumber kekuasaan tentang hidup dan dunia. Lihat dalam Theo Huijebrs, Op. Cit., hlm. 63.
[24]Theo Huijebrs, Op. Cit., hlm. 79. Menurut John Locke sebagai salah satu perintis Filsafat Empirisme Modern, mengedepankan penyelidikan tentang alam berdasarkan pengalaman. Jadi pengetahuan hanya berasal dari pengalaman. Hukum Alam sebagai petunjuk moral, bukan sebagai hokum yang sesungguhnya, jadi tidak dapat dipertahankan dalam keberlakuannya yang sangat abstrak. Manusia memerlukan suatu aturan yang sangat konkrit dan realistis, dalam menata interaksi manusia dan alam sekitarnya. Sementara Pupendorf berpandangan, bahwa hokum alam hanya berlaku sebagai suatu norma moral, dan bukan sebagai norma hokum (tata hokum). Sementara menurut filosof Descartes, John Locke, Berkeley Hume : menganggap bahwa empirisme sebagai antithese rasionalisme, bukan lagi pikiran tetapi pengalaman sebagai sumber segala pengetahuan.
[25]Theo Huijebrs, Op. Cit., hlm. 69
[26]Potret keadilan tercermin dalam undang-undang pada saat dikitabkan dalam hokum positif, yang dapat memberikan kepastian hukum yang tetap. Lihat dalam Lili Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?, Op. Cit., hlm. 47.
[27]Theo Huijbers, Op. Cit., hlm. 42. Hukum yang mempunyai daya sifat memaksa, diharapkan dapat menciptkan suatu kepastian dalam memberlakukan hokum ditengah-tengah masyarakat, karena tanpa daya paksa dalam memberlakukan hokum maka hokum itu dianggap sebagai motivasi moral yang tidak mempunyai tujuan yang jelas, sehingga organ yang menciptakan dan membuat hokum tidak akan mempunyai kewibawaan dalam mengatur masyarakat.
[28]Pandangan Jean Bodin, bahwa dalam negara yang berdaulat terdapat suatu kekuasaan atas warga negara, yang tidak dibatasi oleh kekuasaan lain selain negara. Lihat Theo Huijebrs, Op. Cit.,  hlm. 57.
[29]Kekuasaan sebagai pondasi bagi hukum dalam keberlakuannya, karena mendapat legitimasi oleh institusi yang berwibawa. Lihat Theo Huijebrs, Op.Cit.,hlm. 62.
[30]Hukum adalah suatu organisasi paksaan, sebab melekat penggunaan paksaan di dalam hubungan antar manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Lihat dalam Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Somardi, Teori Hukum Murni, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), hlm. 19.
[31]Von Jhering berpendapat, bahwa negara dan hokum mendapat asalnya dari suatu motif egoistis, yakni paksaan, karena negara adalah organisasi kekuasaan yang memaksakan. Lihat dalam Theo Huijebrs, Op. Cit., hlm. 133.
[32]A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral : Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Kanisius, 1990), hlm. 15.
[33]Heinrich A. Rommen, Natural Law : A Study in Legal and Social History and Philosophy, (Indianapolis : Liberty Fund, Inc., 1998), hlm. 3. Lihat juga dalam A. Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 17. Pemikiran ini ditemukan di Yunani Kuno tentang fenomena hukum dan moral. Dalam perkembangan pemikiran hukum sekarang tidak akan lepas dari aspek penelitian sejarah. Jadi untuk memahami dengan baik perkembangan pemikiran tersebut, hubungan antara pemikiran hukum, moral, negara dan masyarakat, maka kita harus mengetahui dan memahami sejarah perkembangan sejak zaman Yunani kuno dahulu.
[34]Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Philosophy of Law : An Introduction to Jurisprudence, (USA : Westview Press, 1990), hlm. 11.  Lihat juga dalam Heinrich A. Rommen, Op. Cit., hlm. 3. Lihat juga dalam A. Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 19. Pergesaran keberbagai negara mengenai pemikiran hukum, moral dan agama dapat dilihat dari adopsi kebudayaan seperti :Wiracita Yunani Ilias, Mahabarata dan Ramayana, Istilah Polis pada Kota Athena, Sparta dan Milete,  serta dalam versi masyarakat Indonesia tercermin dalam Jawa Brontoyudo dan Serat Romo.
[35]Arry Mth. Soekowathy, Orientasi Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Philosophy Press, 2001), hlm. 42-43. Lihat juga dalam Achmad Rustandi, Op. Cit.,  hlm. 50.
[36]George P. Fletcher, Basic Concepts of Legal Thought, (New York : Oxford University Press, 1996), hlm. 139-140. Lihat juga dalam Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Op. Cit., hlm. 68-70. Lihat juga dalam Achmad Rustandi, Op. Cit., hlm. 52. Pengaruh Hukum Agama dalam pemikiran hukum dapat dilihat dari konsep-konsep dan teori-teori hukum yang dikedepankan oleh Thomas Aquino dalam filsafat skolastiknya yang berusaha untuk menemukan keseimbangan antara hukum, moral, negara, budi dan iman. Jadi konsep pemikiran hukum bagi Thomas Aquinos berusaha mengembangkan/memperluas pemikiran Aristoteles.
[37]George P. Fletcher, Op. Cit., hlm. 151. Lihat juga dalam Achmad Rustandi, Op. Cit., hlm. 57. Kelahiran Renaissance diawali dengan berkembangnya pengaruh Islam dan Yahudi di Benua Eropah, serta adanya pergeseran cara-cara berpikir pada abad pertengahan yang membuka peluang dalam menjadikan manusia sebagai subjek dan objek terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
[38]Achmad Rustandi, Op. Cit., hlm. 59. Filsafat Individualisme, menekankan doktrinnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat pada pengakuan dan pengagungan individu (manusia) sebagai pusat dan tujuan  daripada segala sesuatu di dunia ini. Manusia sebagai sumber dari segala sesuatu dalam perkembangan dan pemahaman lingkungan alam sekitar (termasuk di dalamnya pemberdayaan akal dan rasio manusia dalam mengembangkan pemikiran hukum).
[39]Zaman Rasionalisme berlansung dari pertengahan Abad XVII sampai akhir Abad XVIII. Istilah Rasionalisme menandakan semangat akal budi manusia diutamakan, sebagai anthithese dari abad pertengahan yang mengutamakan doktrin agama yang berpusat pada Allah. Lihat dalam Theo Huijbers, Op. Cit., hlm. 68. Lihat juga dalam Achmad Rustandi, Op. Cit., hlm. 52. Aliran Rasionalisme muncul sebagai akibat dari gerakan Renaissance yang mengedepankan rasio dan akal manusia dalam mengenali diri dan lingkungan, yang berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Aliran (faham) Rasionalisme dipelopori oleh Francis Bacon dan Descartes dalam bidang filsafat, Gallilleo Gallillei dan Newton dalam bidang ilmu pengatahuan alam serta Hugo de Groot (Grotius) dalam bidang hukum alam.
[40]Achmad Rustandi, Op. Cit., hlm. 53-54.
[41]Lili Rasjidi,  Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  Op. Cit.,  hlm. 21. Dari memudarnya perkembangan doktrin keadilan Hukum Alam pada abad XVII-XVIII, Ajaran Postisme Hukum mengedepankan doktrinnya pada asepk keadilan yang dilihat (dipotret) dalam undang-undang pada saat dikitabkan (dipositifkan).
[42]Costas Douzinas, Ronnie Warrington, Shaun McVeigh, Postmodern Jurisprudence, (London : Routledge, 1991), hlm. 74. Lihat juga dalam Lili Rasjidi,  Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu?,  Op. Cit., hlm. 22. Akal (rasio) manusia menjadi pusat setelah melalui penceran dalam ber-evolusi untuk mempergunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimiliki. Hal ini menggiring untuk menjadikan akal manusia sebagai pusat dalam pencaharian dan penyelidikan ilmu pengetahuan.
[43]Semangat filsafat Descartes, berusaha melepaskan filsafat dari teologi dengan sistim emansipasi, karena dipandang adanya kekacaubalauan antara filsafat dan teologi., yang akhirnya akan menimbulkan keruwetan bagi setiap orang dalam memahami filsafat disatu sisi dan teologi disisi yang lainnya. Sistem emansipasi ini berusaha melepaskan kajian filsafat dari setiap unsur teokrasi, namun tidak menentang aspek teologi dalam kehidupan manusia. Lihat dalam D.F. Scheltens, Op. Cit., hlm. 67. Lihat juga dalam  Theo Huijbers, Op. Cit., hlm. 69. Descartes mengembangkan metode berpikir secara tepat dalam bukunya : “Discours de la methode” Tahun 1637 yang diartikan sebagai “Ulasan mengenai Metoda”.
[44]Filsafat Descartes mempengaruhi dua aliran filsafat, yaitu Filsafat Rasionalisme dan Filsafat Empirisme. Aliran filsafat ini, mendasarkan pada pikiran dan pengalaman manusia sebagai sumber segala pengetahuan, dan apa yang sungguh-sungguh ditentukan realitasnya secara rasional, dapat diterima kebenarannya. Penganut Rasionalisme diantaranya : Pufendorf, Thomasius, Spinoza, Leibniz, Wolf  serta di Perancis dipelopori oleh Montesqiu, Voltaire, Rousseau dan penganut Empirisme di Inggris, diantaranya : Locke, Berkeley, Hume. Lihat dalam Theo Huijbers, Op. Cit.,  hlm. 69.  Lihat juga dalam  D.F. Scheltens, Op. Cit.,  hlm. 28.
[45]Melalui jalan meragukan semua kebenaran, Descartes sampai pada keyakinan bahwa terdapat satu hal  yang tidak mungkin diragukan oleh manusia, yakni kesadarannya sendiri (cogito), sehingga dapat dipastikan bahwa juga adanya subjek yang berpikir (ergo sum). Sehingga dalam kesimpulannya, Descartes mengemukakan bahwa seluruh realitas mencakup dua cara yang saling berlawanan, yaitu subjek terdapat di dalam kesadaran manusia : roh atau pikiran dengan objek diluar kesadaran manusia : materi atau kuantitas mansuia. Lihat dalam Theo Huijbers, Op. Cit., hlm. 69. Lihat juga dalam A. Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 28. Menurut Pufendorf,  Fisik (diluar manusia) itu meliputi segala sesuatu yang real dan moral (di dalam diri manusia) segala sesuatu yang seharusnya ada dan tidak terdapat dalam realitas. Jadi manusia sebagai makhluk rasional, pasti dapat menyimpulkan apa yang baik dan apa yang buruk. Lihat juga dalam D.F. Scheltens, Op. Cit., hlm. 29.
[46]Skeptisisme yang dimaksudkan oleh Descartes tidak sama dengan pandangan Locke sebagai penganut empirisme yang kemudian diteruskan oleh David Hume. Menurut Locke, bahwa Skeptisisme dalam pemikiran hukum dapat menghancurkan prinsip kausalitas sebagai prinsip keperluan hidup, yang dibedakan dari pengamatan yang biasa mengenai rangkaian-rangkaian tertentu dari alam. Lihat dalam W. Friedmann, Op. Cit., , hlm. 144.
[47]Arry Mth. Soekowathy, Op. Cit., hlm. 72-75. Lihat juga dalam D.F. Scheltens, Op. Cit., hlm. 32. Lihat juga dalam W. Friedmann, Op. Cit., hlm. 145. Bahwa pemikiran hukum modern bukan hanya untuk mengenali manusia dalam hidup yang monoton, tetapi  sudah dielaborasi dari stigma hukum kontenporer kearah menyelidiki hubungan fakta-fakta sosial hukum dengan negara, masyarakat secara keseluruhan serta hubungan antara bangsa-bangsa sebagai cikal terciptanya Hukum Internasional.
[48]D.F. Scheltens, Op. Cit., hlm. 41.
[49]Kant sebagai seorang Rasionalis, menganggap bahwa pengetahuan itu hanya dimungkinkan oleh daya kemampuan subyek melalui bentuk-bentuk a-priori. Prinsip-prinsipnya dirinci dalam imperatif hipotetis (yang memerintahkan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bertindak) sedangkan imperatif kategoris (yang memerintahkan kita melakukan perbuatan tertentu, tanpa adanya hubungan dengan tujuan yang lain). Lihat  A. Gunawan Setiardja, Op. Cit., hlm. 31. Lihat juga  D.F. Op. Cit., hlm. 47.
[50]Menurut Kant, bahwa gejala hukum modern dapat didekati dalam dua jalan , yaitu jalan empiris dengan meneliti apa dalam kenyataan mengenai isi tatanan hukum dinegara-negara secara konkrit, pada waktu tertentu dan kawasan tertentu, dan jalan metafisik dengan meneliti prinsip-prinsip hukum pada umumnya yang berlaku secara universal. Lihat dalam Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta : Bina Aksara, 1988), hlm. 40-41. Lihat juga dalam D.F. Scheltens, Op. Cit., hlm. 67. Lihat juga dalam A. Gunawan Setiardja, Op. Cit.,  hlm. 32.
[51] Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Op. Cit.,  hlm. 13.
[52] D.F. Scheltens, Op. Cit., hlm. 67.
[53] Utrecht & Moh.Saleh Jindang,  Op. Cit., hlm. 17.
[54] Menurut Kant, bahwa manusia tidak mampu mengetahui realitas material selain melalui ilmu pengetahuan. Lihat dalam Theo Huijebrs, Op. Cit.,  hlm. 106.
[55] D.F. Scheltens, Op. Cit.,  hlm. 21. Lihat juga dalam Theo Huijebrs,  Op. Cit., 124. Filsafat idealisme dalam konsep pengembangannya, menghargai akal (rasio) dan jati diri manusia sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan. Disamping itu, filsafat idealisme menjadi salah satu peletak dasar dalam menjembatani lahirnya aturan hukum yang nyata, konkrit dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek pembuktiannya.
[56]J.J.H. Bruggink Op. Cit.,  hlm. 194.
[57]Karl Popper adalah seorang filsuf Austria, terkenal dengan bukunya yang terbit Tahun 1934 “Logik der Forschung” serta dalam terjemahan Bahasa Inggris Tahun 1959 : “ The Logic of Scientific Discovery”. Ajaran Rasionalisme Kritikal  dimaksudkan sebagai jawaban untuk menyelesaikan masalah yang dilemparkan oleh penganut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal, sebagai aliran yang berkembang dalam Doktrin Ajaran Positivisme Hukum. Lihat dalam J.J.H. Bruggink Op. Cit., hlm. 194.
[58]J.J.H. Bruggink Op. Cit.,  hlm. 195. Dalam tradisi ajaran ilmu, deduksi adalah cara kerja yang digunakan orang dari dalil-dalil umum untuk menyimpulkan hal yang khusus. Cara berpikir deduktif, cocok dalam tradisi alam berpikir Aliran Rasionalisme. Sementara induksi adalah sebagai cara kerja yang digunakan dengan memulai dari dalil-dalil khusus untuk mencapai dalil-dalil umum.
[59]J.J.H. Bruggink Op. Cit.,  hlm. 197. Lihat juga dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 2000), hlm. 13-15. Bahwa Hipotetis yang dikemukakan dalam mengamati fenomena yang terjadi di dasarkan pada fakta-fakta deduksi, sehingga bisa melahirkan suatu kesimpulan yang dapat dibuktikan, seperti yang terdapat dalam cerita ROBINSON CRUSOE dalam petualangannya.

Tidak ada komentar: