PERAN DAN FUNGSI POLITIK HUKUM TERHADAP
REFORMASI HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh : Agussalim Andi Gadjong
A. Pengertian dan Kajian Politik Hukum
Kajian politik hukum secara teoritik menurut ilmu hukum dikenal ada dua yaitu ilmu hukum doktriner dan ilmu hukum nondoktriner. Adapun pembedaan tersebut. Pertama, kajian Ilmu hukum doktriner yaitu bahwa ilmu hukum yang akan mempengaruhi dan memberi warna terhadap gejala-gejala sosial, tetapi hukum itu sendiri tidak terpengaruh oleh gejala sosial lain. Sehingga hukum memberikan doktrin terhadap gejala-gejala sosial. Disamping gejala sosial, juga gejala ekonomi, budaya, dan politik. Kedua, Ilmu hukum nondoktriner yaitu hukum yang melakukan interdefendensi dengan gejala yang lain, tetapi hukum juga terpengaruh dengan gejala sosial sehingga saling berpengaruh (interdefendensi) antara hukum dan gejala sosial. Hukum terpengaruh oleh politk dan politik mempengaruhi hukum. Dalam pembagian tersebut menurut Muchsan, untuk Indonesia tepatnya menganut nondoktriner. Sebab kalau hukum itu pasti (tertulis) hukum itu mati karena sifatnya tertulis, sehingga tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat oleh karena itu tidak dinamis.
Antara kepastian hukum dan dinamika hukum harus dipadukan sehingga menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Salah satu contoh hukum doktrinal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dalam masyarakat ialah hukum agama karena apa yang menjadi ketentuan ia harus tunduk berdasarkan syariah. Negara hukum kita tidak berdiri di atas hukum, tetapi berdiri di atas kepentingan politik. Kenyataan ini dipahami oleh ilmuan hukum yang beraliran positivisme. Pemahaman seperti ini keliru dalam memandang hukum doktriner, sebab hukum doktriner tidaklah sama dengan hukum positif (Muchsan, 2003).
Jadi bagaimanakah pengertian politik hukum itu dalam kajian ilmu hukum nondoktriner? Bellefroid, mengemukakan bahwa politik hukum adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas bagaimana caranya untuk merubah ius constitutum menjadi ius constituendum. Pendapat Bellefroid ini didasarkan pada negara yang sedang kacau sehingga hukum harus sesuai dan dinamika masyarakatnya. Sejalan dengan pemikiran Bellefroid, Muchsan (2003), sependapat dengan mengemukakan rumusannya bahwa politik hukum adalah suatu ilmu hukum yang membahas bagaimana aparat yang berwenang dalam memlih alternatif yang tersedia untuk memproduksi karya hukum sesuai dengan cita hukum (rechtsidee) yang ada dan berlaku dalam suatu negara.
Bertitik tolak dari rumusan politik hukum tersebut, menurut Muchsan terdapat 4 (empat) elemen atau unsur-unsur, yang apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak termasuk dalam pengertian politik hukum. Jadi syarat tersebut adalah syarat kumulatif artinya salah satu elemen tidak terpenuhi tidaklah termasuk dalam pengertian politik hukum. Adapun elemen-elemen yang dimaksud adalah: (a) Adanya wewenang, (b) Harus ada alternatif yang tersedia, (c) Produk hukum yang dilahirkan apakah itu merubah atau menciptakan hukum yang ada, (d) Cita hukum (rechtsidee) yang jadi acuan.
Unsur kewenangan tersebut memang merupakan suatu hal yang penting dan stratgis untuk adanya suatu produk hukum. Dengan kata lain bahwa untuk lahirnya suatu produk hukum perlu ada kewenangan, sebab tanpa kewenagan dari lembaga yang membuatnya menyebabkan produk hukum itu tidak mengikat.
Unsur alternatif yang tersedia bagi pembuat hukum (Wetgever) harus ada dan jelas sebagai patokan yang digunakan,, apabila alternatif yang digunakan menyimpang dari asas-asas hukum maka peraturan itu kurang baik dalam arti tidak memenuhi ciri negara hukum dalam mewujudkan cita hukum (rechtsidee) yang dikehendaki oleh kehidupan negara dan masyarakat. Karena Undang-undang harus dibuat secara sadar oleh wetgever sebagai instrumen negara hukum.
Unsur produk hukum, harus responsif sesuai kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang dinamis dalam usaha ketaatan dan kesadaran hukum dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan politik yang memaksakan kehendaknya tanpa melibatkan partisifasi masyarakat luas. Unsur cita hukum, harus menjadi dasar dalam setiap produk hukum karena dengan cita hukum dapat mengarahkan hukum yang berlaku dimasa datang sesuai dengan kehendak rakyat yang dicita-citakan selaku pemilik negara.
Dengan mengacu pada rumusan politik hukum dan unsur-unsurnya yang diuraikan dan dikemukakan di atas, menunjukkan betapa pentingnya pengkajian peran dan fungsi politik hukum dalam pembentukan hukum perundang-undangan dalam suatu negara hukum termasuk Indonesia. Dalam konsep negara hukum yang menganut asas legalitas dapat dikatakan tidak ada lapangan kehidupan dan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, masyarakat dan individu yang tidak dapat menjadi jangkauan untuk diatur oleh peraturan perundang-undangan, sebab peraturan perundang-undangan menempati posisi yang strategis dalam menentukan pemerintahan menurut hukum. Masalahnya ialah sejauhmana politik hukum itu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat, sangat tergantung dari fungsi dan peran kekuatan politik hukum.
B. Peran dan Fungsi Politik Hukum
Peran dan fungsi hukum sangat dipengaruhi dan acap kali diintervensi oleh kekuatan politik. Mahfud (2000) bahwa konfigurasi politik berkembang melalui tarik–menarik antara yang demokratis dan otoritarian. Sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tarik–menarik antara yang responsif dan yang konservatif. Bagaimana pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk Hukum Indonesia?.
Adanya konstelasi bahwa otonomi hukum di Indonesia cenderung selalu lemah terutama jika ia berhadapan dengan sub sistem politik. Tegasnya, konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi politik. Konstelasi ini dapat dilihat dari fakta bahwa pelaksanaan fungsi dan penegakan hukum tidaklah berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya. Dikatakan demikian jika program pembentukan hukum dijadikan ukuran maka pembangunan struktur hukum telah berjalan dengan cukup baik dan stabil karena dari waktu ke waktu ada peningkatan produktivitas, tetapi pada sisi lain dapat dilihat juga bahwa fungsi hukum cenderung merosot karena.
E Struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik yang ditandai dengan keberhasilan pembuatan peraturan perundang-undangan berbagai bidang hukum tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung semakin lemah.
E Ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan fungsi hukum.
Asumsi dasar yang digunakan kajian ini adalah hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi tersebut berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi. Dari sudut “das sollen” bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum. Namun, dari sudut “das sein” atau empiriknya bahwa hukumlah yang dalam kenyataan ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
Di Indonesia menonjolnya fungsi instrumen hukum sebagai sarana kekuasaan politik dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya, dapat dilihat dari pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur, perundang-undangan dan birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum sebagai kondisi dari proses pembangunan melainkan juga menjadi penopang tangguh struktur politik, ekonomi, dan sosial.
Pembangunan yang dianut di Indonesia di bawah Pemerintah Orde Baru. Misalnya, telah dipilihnya stabilitas politik sebagai prasyarat bagi berhasilnya pembangunan ekonomi yang merupakan titik berat programnya. Ada indikasi Pemerintahan Kabinet Gotong Royong cenderung memilih pendekatan stabilitas politik dibanding pendekatan supremasi hukum. Dalam suatu pemerintahan negara hukum demokratis seharusnya dilakukan pendekatan hukum di atas segalanya.
Pendekatan stabilitas seperti tersebut, hukum diberi fungsi, terutama sebagai instrumen program pembangunan karena hukum bukanlah tujuan. Dengan demikian dapat dipahami jika terjadi kecenderungan bahwa hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat justifikasi bagi visi politik penguasa. Dalam kenyataannya kegiatan legsilatif memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan politik daripada hukum sehingga lembaga legislatif lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum.
C. Politik Hukum Terhadap Hukum Perundang-undangan
Pembangunan Sistem Hukum Nasional (SHN), akan selalu dihadapkan pada berbagai keadaan yang dapat mempengaruhi ruang lingkup maupun isinya. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Hartono (1991) adalah: (a) Hukum Sebagai perangkat kehidupan bermasyarakat, meliputi aspek ; ekonomi, politik, sosial, budaya maupun Hankam; (b) Pembentukan Hukum Nasional tidak bertolak dari suatu kehidupan sosial yang vacum, akan tetapi berada ditengah-tengah masyarakat yang majemuk yang tidak mungkin diabaikan; (c) Tidak terlepas dari tatanam dan kecenderungan tanggung jawab global; (d) Peranan penerapan dan penegakan hukum; (e) Politik Hukum yang ditempuh pemerintah.
Keadaan Hukum Perundang-Undangan dapat dilihat dari segi obyektif dan subyektif. Secara obyektif, karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat (Hukum terkesan tertinggal). Sedangkan,.secara subyektif – berbagai peraturan per-undang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika – tidak perspektif – Aplikator dan Dinamisator.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sistem Hukum Nasional yang disebutkan di atas adalah Politik Hukum. Bagaimana bentuk dan corak sistem hukum akan ditentukan oleh politik hukum yang ditempuh pemerintah. Politik Hukum dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional akan ditentukan oleh berbagai faktor seperti; (1). Dasar dan corak politik yang hendak dibangun, (2). Sistem ekonomi yang hendak dikembangkan; (3) Pemahaman tentang keamanan dan lain sebagainya. Disamping itu tidak pula kalah penting adalah: (1) Perkembangan masyarakat; (2) Kenyataan-kenyataan masyarakat; (3) Susunan masyarakat, termasuk; (4) Kecenderungan global. Karena itu untuk memahami politik hukum dengan baik harus diketahui dengan tepat arah perkembangan dari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara baik internal maupun eksternal. Oleh karena itu menurut Manan (1994) politik hukum tidak lain dari politik ekonomi, politik budaya, politik sosial, politik Hankam dan politik dari, politik itu sendiri. Dengan pemahaman tersebut dapat diperkirakan arah perkembangan hukum dan fungsi hukum yaitu : Aspek-aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan menentukan apakah hukum akan menjadi instrumen membangun masyarakat demokratis dan mandiri, masyarakat yang menuju kepada masyarakat dan keadilan sosial, masyarakat yang hidup dalam naungan negara hukum atau yang sebaliknya.
Demikian pula, apakah reformasi hukum perundang-undangan akan berfungsi memberi kemudahan, mendorong perubahan atau sekedar penjaga kestabilan tergantung sepenuhnya para arah perkembangan kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun hankam. Jadi, hukum dalam kaitan dengan pembangunan hukum nasional memerlukan rumusan politik hukum yang integral dan komprehensif sebagai penjabaran lebih lanjut dari hal-hal umum yang telah digariskan dalam BAPENAS. Politik hukum tersebut akan mencakup politik pembangunan hukum, politik penentuan isi hukum dan politik penerapan dan penegakan hukum. Politik hukum ini harus pula mencakup aspek-aspek sumberdaya, sistem pengelolaan dan sebagainya.
D. Politik Hukum Terhadap Kebijakan Ekonomi
Perubahan-perubahan politik perekonomian terutama yang menyangkut peranan dan kedudukan negara dalam kegiatan perekonomian. Terdapat 3 (tiga) pemikiran politik perekonomian yang dijalankan :
1. Politik Perekonomian yang etatisme
Negara menjadi pelaku pada hampir semua sektor perekonomian pembatasan konstitusi seperti di atur dalam Pasal 33 UUD 1945 – seperti usaha yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, tidak lagi diperhatikan. Negara mempengaruhi pula berbagai kegiatan perekonomian yang dijalankan masyarakat melalui berbagai bentuk wewenang pengendalian yang acapkali menjadi berlebih-lebihan.
2. Politik Perekonomian yang mengarah pada sistem ekonomi pasar
Sistem ini menghendaki masyarakat sebagai pemeran utama kegiatan perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat mendorong dan memberikan fasilitas pada kegiatan perekonomian. Politik perekonomian semacam ini sudah dapat dipastikan akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap berbagai perangkat hukum yang masih memberikan peran kepada negara dalam melakukan atau mengatur kegiatan-kegiatan perekonomian.
Kecenderungan pada ekonomi pasar inilah yang menimbulkan kritik terhadap, misalnya Undang-undang Agraria, Peraturan di bidang Perizinan, Peraturan di bidang Investasi dan lain-lain. Peraturan-peraturan ini dipandang kurang memberikan jalan yang diperlukan bagi kenyamanan sistem perekonomian yang sedang dijalankan.
3. Politik Perekonomian yang menciptakan keseimbangan
Keseimbangan semacam ini dipandang sebagai bentuk politik perekonomian yang secara konstitusional dikehendaki UUD 1945. Politik perekonomian ini secara idiologis maupun normatif hendak mengedepankan faktor “Keadilan Sosial” “Kesejahteraan Umum” dan “Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat” sebagai sendi utama sistem perekonomian yang semestinya dijalankan. Menciptakan perangkat hukum yang akan benar-benar menjamin keseimbangan peran negara dan masyarakat tidaklah mudah karena tidak menutup kemungkinan berbagai konflik antara dua bentuk kepentingan tersebut. Disinilah – misalnya timbul masalah-masalah mengenai pengembangan koperasi, pengembangan usaha kecil dan menengah dan sebagainya. Dalam membuat aturan-aturan tersebut harus tetap terjaga keseimbangan yang akan menjamin dinamika perekonomian secara sehat tanpa meninggalkan berbagai kepentingan pihak lain.
E. Politik Terhadap Sumber Daya Hukum
Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan kebijaksanaan nasional, yang tidak terlepas dari hubungan antara politik dan hukum. Alfian (1978), hubungan antara politik dan hukum berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan itu saling mempengaruhi. Namun, karena perhatian kita adalah aspek hukum dari kehidupan sebagai indikator pertumbuhan kesejahteraan rakyat maka dalam rangka menelusuri fakta yang memungkinkan tumbuhnya kekuatan hukum; politik dilihat sebagai variabel yang berpengaruh kepada hukum positif. Pusat perhatian ialah perkembangan hukum ditengah masyarakat yang dipengaruhi oleh politik. Perkembangan hukum disini dibedakan atas aspejk strukturnya, Wujud fisik, Ruang lingkup keberlakuannya, Badan-badan pelaksanaannya, Personalianya dan jabatan hukum dan aspek fungsinya, Kewenangan pejabat hukum dan Substansi hukum.
Ada tiga titik temu antara politik dan hukum di dalam kehidupan masyarakat. Pertama, pada waktu penentuan pejabat hukum, walaupun tidak semua proses penetapan pejabat hukum melibatkan politik, akan tetapi proses itu terbuka bagi keterlibatan politik. Kedua, proses pembuatan hukum itu sendiri, setiap proses pembuatan kebijaksanaan formal yang hasilnya tertuang Dalam bentuk hukum pada dasarnya adalah produk dari proses politik. Ketiga, proses pelaksanaan hukum, dimana pihak-pihak yang berkepentingan berusaha mempengaruhi pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah berbentuk hukum, sejalan dengan kepentingan dan kekuatannya. Hubungan politik dan hukum di Indonesia meliputi: (a) Hak politik dan perwujudannya; (b) Tingkah laku politik elit (penguasa) dan masyarakat sebagai realisasi hak politik; (c) Perkembangan hubungan tingkah-laku politik dengan hukum. (d) Faktor kultural dari pada struktur sebagai latar-belakang dari pola hubungan tingkah-laku politik elit dan masyarakat dengan perkembangan hukum.
Ad. a. bahwa Hak Sipil (individu) dan Politik diartikan sebagai hak yang diperoleh warga negara karena ditentukan dalam hukum seperti konstitusi dan undang-undang. Karena itu hak-hak ini lasim diperjuangkan melalui pengadilan. Berbeda dengan hak politik, hak sipil diberikan kepada setiap warga negara. Di negara demokrasi, hak sipil meliputi: Kebiasaan pribadi; Perlindungan hak milik; Perlindungan dari penahanan dan pemenjaraan secara sewenang-wenang; Hak menempuh proses pengadilan untuk mempertahankan kepentingan terhadap birokrasi pemerintahan.
Hak politik tidak diberikan kepada semua warga negara. Ada beberapa persyaratan untuk dapat menikmati hak politik, seperti : umur (dewasa), tempat tinggal, bebas dari tindakan kriminal dan sebagainya. Karena itu, hak politik sering dikatakan bukan hak dalam arti sesungguhnya. Hak politik diciptakan melalui hukum dan diberikan kepada siapa yang memenuhi persyaratan tertentu, bukan kepada setiap penduduk. Termasuk kedalam hak politik ialah hak memilih, hak berpartisipasi di dalam proses politik dan hak untuk menduduki suatu jabatan negara. Di dalam UUD 1945 perbedaan antara Hak Politik dan Hak Sipil tidak dinyatakan secara tegas. Hak Asasi disinggung secara sepintas yaitu: Pasal 27 (1) Persamaan kedudukan hukum dan pemerintahan dan ayat (2) Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; Pasal 28 tentang Kebebasan berorganisasi, berkumpul dan menyatakan pendapat; Pasal 31 tentang hak mendapatkan pendidikan.
Ad. b. Tingkah Laku Politik
Penggunaan hak politik di Indonesia dibedakan atas dua kelompok, yaitu: Pertama, hak politik yang dicerminkan oleh tingkah-laku politik massa rakyat berupa : penggunaan hak pilih dalam pemilu, keterlibatan massa di dalam organisasi politik, dan kesertaan massa dalam gerakan politik seperti demonstrasi. Kesemuanya ini diartikan sebagai partisipasi politik di satu pihak dan mobilisasi politik di lain pihak. Kedua, hak politik yang tercermin dari tingkah-laku politik penguasa, dapat dipahami melalui : tata cara memperlakukan kekuasaan seperti pola pemusatan kekuasaan (RUU Revisi UU No.22 Tahun 1999). Tata cara penggunaan dan bentuk-bentuk hubungan kekuasaan antar elit penguasa dan antara elit penguasa dengan masyarakat. Dengan demikian realisasi hak politik sebagai faktor yang melingkupi proses atau kehidupan hukum masyarakat, merupakan sumber daya hukum yang diperhadapkan kepada sistem hukum yang memungkinkan hukum berkembang secara utuh.
Ad. c. Politik Hukum dan Aspek Kelembagaan
Perkembangan Politik Hukum dengan Perkembangan Hukum dalam aspek kelembagaan diamati melalui bentuk (watak) dan corak legalitas hukum. Pertama, Aspek formal dan aspek material;. Kedua, Dasar penggunaannya yang terdiri dari kekuatan (force) dan legitimasi. Ketiga, Manfaatnya bagi masyarakat yaitu berupa ketertiban dan keadilan. Ketiga indikator perkembangan hukum secara substansi tersebut dapat terkombinasi secara bervariasi sesuai dengan kondisi dari proses pembuatan hukum dan proses hukum itu sendiri. Sekalipun demikian terdapat kecenderungan kombinasi yang lebih banyak ditentukan oleh penekanan tujuan hukum berupa manfaatnya bagi kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh proses tingkah-laku politik. Misalnya, proses pembuatan suatu produk hukum seringkali berjalan dalam waktu lama (mengalami kesulitan), begitu pula perancangan dan proses pengesahannya dan persetujuannya di DPR/DPRD untuk peraturan perundang-undangan tingkat daerah.
Ad. d. Etik Politik dan Kekuatan Hukum
Secara kultur, partisipasi politik sebagai sumber daya hukum ditentukan oleh kaitan antara etik, moral dan norma dengan tingkah-laku politik di satu pihak dan oleh penguasaan akan tata cara atau prosedur politik yang disebut juga sebagai teknologi politik pada pihak lain. Teknologi politik berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan para pelaku politik tentang tata cara ataupun prosedur hubungan politik. Prosedur dan tata cara politik tersebut, dapat bersifat formal yaitu yang sudah diatur dalam hukum positif. Disamping itu terdapat pula prosedur dan tata cara yang tidak formal atau hanya disepakati secara terus-menerus sehingga sudah menjadi tradisi, kultur dan mungkin pula sudah diterima selaku konvensi.
Kekuasaan dan pengetahuan menyebabkan tumbuhnya tingkah laku politik elit (penguasa) yang lebih mendorong berkembangnya proses politik “jalan pintas” dimana hasil atau tujuan lebih diutamakan ketimbang proses itu sendiri. Lemahnya kekuasaan masyarakat tidak membantu elit kekuasaan untuk menelusuri prosedur. Akibatnya hukum sebagai ketentuan dari prosedur kurang mendapat kekuatan untuk berkembang. Karena dalam proses pembuatan hukum dan begitu pula pemanfaatannya, di mana masyarakat tidak mempunyai jalur dan aktivitas yang ampuh untuk memasukkan kepentingannya ke dalam pertimbangan, maka konstribusi mereka di dalam bidang hukum belum berkembang. Hal itu kurang menumbuhkan tanggung jawab terhadap produk dan proses hukum, sehingga mereka (masyarakat) kurang percaya dan selanjutnya tidak berupaya untuk mendukungnya.
F. Kebijaksanaan Politik Perundang-undangan
Politik perundang-undangan merupakan sebagian dari politik hukum. Karena itu segala dasar, kebijaksanaan Politik Hukum berlaku bagi politik perundang-undangan. Politik perundang-undangan berkenaan dengan pembangunan Materi Hukum yaitu ; Pertama, Pembentukan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan. Kedua, Penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dengan sistem hukum nasional.
Pembentukan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan diarahkan pada produk-produk hukum baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Jadi ada dua bidang utama sasaran pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu :erkenaan dengan tugas umum pemerintahan. Pertama, berkenaan dengan pembangunan nasional. Kedua, peraturan perundang-undangan mengenai tugas umum pemerintahan adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur atau menyangkut penyelenggaraan tugas wewenang pemerintahan negara di bidang Ketatanegaraan; Administrasi Negara dan Politik.
Peraturan Perundang-undangan mengenai pembangunan nasional adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang dapat memberikan dukungan pada pembangunan nasional. Politik perundang-undangan dalam GBHN 1999 – 2004 menggariskan, titik berat pembangunan tetap pada bidang ekonomi, maka sudah semestinya politik perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan nasional juga dititikberatkan pada peraturan perundang-undangan dibidang ekonomi.Titik berat pada bidang ekonomi, tidak mengandung arti peraturan perundang-undangan dibidang pembangunan lainnya dapat diabaikan. Sebagai satu sistem, peraturan perundang-undangan terkait satu sama lain.
Mengenai penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dengan sistem hukum nasional adalah berkenaan dengan peraturan perundang-undangan dari masyarakat kolonial yang hingga saat ini masih berlaku. Pengkajian inventarisasi tersebut oleh Artijo (1986) meliputi; (a) Inventarisasi undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang tersusun dan terbentuk untuk kurun waktu tertentu; (b) Melakukan evaluasi internal dan eksternal atas berbagai undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain. Pengkajian internal adalah pengkajian konsistensi ke sistem desain antar berbagai peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengkajian eksternal adalah pengkajian relevansi dengan sasaran pembangunan hukum khususnya dan pembangunan pada umumnya.
G. Kebijaksanaan Politik Terhadap Kekuatan Hukum
Hartono (1991) ada empat pengaruh politik terhadap kekuatan hukum yaitu:
1. Pertama, adalah jelas bahwa politik mempunyai dampak terhadap hukum. Kedua aspek kehidupan (politik dan hukum) tersebut terlihat dari kenyataan bahwa hukum merupakan produk dari proses politik tampa perlu membedakan apakah proses tersebut diolah para pemeran politik yang mempunyai kekuatan berimbang atau dijalankan melalui dominasi suatu pihak. Selain itu, hubungan politik dengan hukum diperlihatkan pula oleh proses pembentukan lembaga-lembaga hukum, penetapan personalia hukum dan proses hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya, sesuai dengan keadaan, politik berpotensi untuk mempengaruhi hukum dalam setiap titik kehidupan hukum.
2. Kedua, dalam setiap titik pertemuan politik dengan hukum tersebut terdapat dua kemugkinan dampak (pengaruh) politik terhadap hukum, yaitu memberikan peluang bagi pertumbuhan hukum atau mempengaruhinya secara negatif baik dalam bentuk menghambat pertumbuhannya maupun memperlemah kekuatannya.
3. Ketiga, perjalanan kehidupan politik bangsa Indonesia ditandai oleh peningkatan kesenjangan peranan politik elit (penguasa) dengan masyarakat dan golongan menengah sekalipun semuanya berjalan semakin searah. Gejala itu ditunjukkan oleh percepatan perkembangan mobilisasi politik ketimbang pertumbuhan partisipasi politik. Dalam waktu yang sama tercatat pula perkembangan hukum yang menunjukkan adanya kesenjangan di antara pertumbuhan struktur dengan fungsinya. Artinya, dalam perjalanan kehidupan hukum struktur hukum memperlihatkan kemajuan yang relatif cepat sedangkan fungsi-fungsinya tertinggal.
4. Keempat, positif tidaknya pengaruh politik terhadap hukum ditentukan oleh kombinasi di antara pemeran politik, pola tingkah-laku politik mereka dan unsur hukum itu sendiri. Adapun kemungkinan-kemungkinan terseut adalah sebagai berikut :
a. Baik dalam kehidupan politik yang ditandai oleh mobilisasi maupun yang diwarnai oleh kombinasi yang berkembang diantara mobilisasi dengan partisipasi, struktur hukum memperoleh peluang untuk berkembang. Perhatikanlah pertumbuhan wujud fisik hukum (produk perundang-undangan), lembaga-lembaga hukum dan personalia hukum yang terjadi, di era reformasi sekalipun kehidupan politik mengalami pasang-surut.
b. Mobilisasi politik merupakan ciri utama tingkah-laku politik, tampaknya fungsi hukum dalam artian kewenangan hakim, polisi, jaksa (Kasus Elsa Syarif, penangkapan Jafar Umar Talib dan lain-lain) dan substansi hukum secara materil tidak menunjukkan pertumbuhan yang memadai. Sebabnya, terletak pada ketiadaan atau tidak efektifnya mekanisme sosial politik bagi pengaitan etik dengan politik, pemerataan penguasaan sumberdaya politik dan pemerataan sosial ekonomi.
c. Perilaku politik masyarakat yang lebih terwujud dalam bentuk partisipasi ketimbang mobilisasi, berpeluang cukup besar sebagai pendorong perkembangan fungsi-fungsi hukum.
d. Ada indikasi bahwa perilaku politik apapun bermanfaat bagi perkembangan struktur hukum, disamping adanya pertanda bahwa partisipasi sebagai wujud prilaku politik mendorong pertumbuhannya fungsi hukum, maka cukup beralasan untuk mengatakan bahwa dalam hal keyakinan akan stabilitas politik sebagai pilihan diantara partisipasi dan mobilisasi belum tergoyahkan, jalan yang aman untuk mengembangkan sumbangan politik bagi pertumbuhan hukum ialah dengan membangun keseimbangan prilaku politik melalui mobilisasi dengan partisipasi.
H. Penutup
Pertanyaan yang perlu dijawab berkenaan dengan reformasi politik hukum perundang-undangan ialah : Apa kontribusi perangkat perundang-undangan kita dalam perekayasaan mencapai masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Pertanyaan tersebut menjadi relevan dikemukakan bila kita melihat/mengkaji hukum dan perundang-undangan itu sebagai “etalasi” dan tidak juga sebagai norma yang berada di ruang kosong. Tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu mengada dan berintraksi di tengah dinamika kehidupan masyarakat dengan tetap berada dalam suatu lingkup masalah pembangunan hukum. Beberapa pandangan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan di atas :
Hartono (1991), memberikan gambaran bahwa faktor yang akan menentukan Politik Hukum nasional itu tidaklah semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum praktisi atau teoritisi belaka, tapi ikut ditentukan oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain negara serta perkembangan hukum internasional. Sunaryati memberi contoh, hukum tanah setelah diberlakukannya UUPA, ada kaidah hukum adat yang secara diametral bertentangan dengan hukum (nasional) yang tertulis, disamping adanya kaidah hukum (nasional) yang tertulis dan berakar pada hukum adat, atau bahkan memperkuat hukum dat, menyebabkan mengapa dalam proses pembinaan hukum dewasa ini kadang-kadang terasa ada pertentangan antara hukum adat dan hukum baru.
Arbi Sanit (1993) juga melihat bahwa hubungan positif antara politik dengan hukum adalah unsur yang penting didalam pembangunan ini. Program stabilitas politik, ekonomi dan sebagainya akan diuntungkan oleh kejelasan hubungan politik dengan hukum. Karena hakikat hidup kemasyarakatan, termasuk politik dan hukum, tercakup dalam dua unsur, yaitu kultur dan struktur kehidupan itu sendiri. Mengenai korelasi antara masyarakat dengan sumber daya hukum, yaitu karena dalam proses pembuatan hukum dan begitu pula pemanfaatannya, dimana masyarakat tidak mempunyai jalur dan aktivitas yang ampuh untuk memasukkan kepentingannya kedalam pertimbangan, maka kontribusi mereka (masyarakat) di dalam bidang hukum belum berkembang. Hal ini kurang menumbuhkan tanggung jawab terhadap produk dan proses hukum.
Jika yang dimaksudkan dengan reformasi pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh kelompok sosial dalam suatu masyarakat yang berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk dikonseptualisasikan diimplementasikan, dilembagakan dalam suatu proses politik, lalu bagaimana politik pembinaan hukum nasional. Peran kelompok sosial di luar sektor pemerintahan. Meskipun tidak mempunyai akses langsung ke pusat kekuasaan politik tapi merupakan kelompok sosial yang paling menentukan tegaknya hukum. Sedangkan dalam menentukan arah perkembangan dan pembinaan hukum nasional kelompok sosial itu kurang menentukan. T. Mulya Lubis (1993), mengemukakan bahwa politik hukum tidak boleh berhenti pada pemenuhan kebutuhan hukum seperti bantuan hukum “fair trial” yang tidak akan banyak maknanya jika pranata-pranata hukum yang melaksanakannya tidak memiliki kebebasan. Bahkan menurutnya, politik hukum haruslah mampu memusatkan program legislatifnya ke arah pemenuhan kebutuhan hukum yang dalam beberapa hal bisa muncul hak-hak baru. Perdebatan mengenai perubahan sosial acap kali dikaitkan dengan peranan huku, karena banyak kalangan berpendapat bahwa hukum justru tidak suka atau anti kepada perubahan sosial, dengan selalu mengatakan bahwa hukum itu pada dasarnya konservatif dan hanya bicara mengenai “status quo”. Dalam beberapa hal hukum malah memperlihatkan sifatnya yang menindas dalam opsesinya terhadap “security and order”. Hal ini terasa bila hukum itu berada di golongan pemerintah yang tidak demokratis atau fasif. Salah satu refomasi politik hukum yang penting buat perubahan sosial adalah politik yang mempercepat hapusnya “represive laws” dan terciptanya lebih banyak “faciktative laws”. Politik hukum yang berpihak pada perubahan sosial haruslah mampu memusatkan program legislatifnya ke arah pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat
DAFTAR BACAAN
Alfian, 1978, “Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Politik” Gramedia, Jakarta,
Alkostar, Artidjo, - Amin, M. Sholeh, (editor), 1986, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Press, Jakarta.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
Latief, Abdul, 1997, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia (Suatu Kajian Hukum Normatif), UMITOHA, Semarang – Makassar.
Mahfud, MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta.
___________, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
___________, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, UII Press, Yogyakarta.
___________, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Rineka
Cipta, Jakarta.
Manan, Bagir, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH- UII Press, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar