*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***

*** WELCOME TO MY FRIEND'S ***
Silahkan masukkan saran setelah menelusuri blog ini,
marilah kita berdiskusi untuk meretas IDE dan
PIKIRAN dalam meningkatkan kualitas kajian dalam
bidang HUKUM, DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN

Sabtu, 15 Januari 2011

***RENUNGAN ANAK BANGSA***

 

 Untukmu Kupersembahkan : 
Bangsa dan Negara ku TERCINTA
Oleh : Agussalim Andi Gadjong 

HUKUM adalah guidens dalam mengawal perwujudan Good Governance dan Clean Government, satu sisi "GG" bisa terwujud tatkalah seluruh komponen dalam berbangsa dan bernegara bertautan dalam satu sistem untuk menjawa berjalannya : Profesionalisme aparatur dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan, sementara nilai transfaransi menjadi kebutuhan tatkala setiap kebijakan pemerintah bertautan dengan hakikat seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini penataan dan reformasi birokrasi pemerintahan dipercepat dalam permujudannya, sehingga penyelenggaraan negara dan pemerintahan akan terlaksana dalam konteks manajemen yang profesional dan akuntabel.
Untuk itu, "CG" bisa terwujud, tatkala seluruh elemen dalam pelaksanaan pemerintahan akan memberikan sumbangsih nilai akan tugas sebagai pengayom masyarakat bukan sebagai penghalang dalam menyelesaikan segala keperluan masyarakat yang membutuhkan justifikasi legalisasi  dalam administrasi pemerintahan.
Sementara disisi yang lainnya, bukan hanya hukum yang menjadi guidens, tetapi demokratisasi pemerintahan harus berjalan sampai kepada level terbawah. Demokrasi bukan untuk alat kompromistik kalangan elitis, tetapi demokrasi harus diletakkan dalam gagasan penguatan kedaulatan yang bermara pada "civil society". Hal inilah yang menjadi tantangan bagi elemen bangsa dalam pembangunan demokrasi, karena dalam persimpangan jalan terpampang pilihan akan adanya kecenderungan demokratisasi dengan muatan nilai 'OLIGARKHI" yang cenderung memaksakan penafsiran implementasi demokrasi yang kebablasan dalam realitas.
Demokrasi dan Oligarkhi hanya dibedakan dari segi substansi dan tujuan dalam penguatan kedaulatan rakyat, salah melangkah maka bukan konsepsi demokrasi yang terhidang tetapi nuansa oligarkhi pemerintahan yang akan tersajikan. Apakah kita akan menerima, adanya jebakan dalam merubah arah demokratisasi pemerintahan???? Semuanya kembali kepada bagaimana pemahaman kita dalam mengawal republik tercintah ini.
Akhirnya, konsepsi dalam penguatan "CIVIL SOCIETY"  dalam rangka membangun konsepsi NEGARA HUKUM dan konsepsi NEGARA DEMOKRASI masuk dalam perangkap pilihan yang sangat dilematis... Satu sisi akan mempertaruhkan begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan dalam mengawal kedua konsepsi ini, sementara sisi lainnya, mengenai penguatan CIVIL SOCIETY dalam mewujudkan masyarakat madani tidak dapat ditawar lagi.
Untuk itu, kepada temen-temen komunitas pengawal republik tercinta, senantiasa harus menyatukan ide, pikiran, karya dan karsa, sehingga CITA dan IDEA seperti yang diimaginasikan oleh THE FOUNDING FATHER, senantiasa akan berwujud dalam realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik masa kini maupun akan datang.
Demikian secuil pemekiran dari anak bangsa ini,semoga kedepan akan lebih bermakna, tatkala temen-temen sebagai anak bangsa lain senantiasa berkata "I CARE' tetapi bukan dengan bahasa "I DON'T CARE" dalam mengawal dan mengisi kesinambungan pembangunan nasional bangsa dan negara ini dalam tataran konsepsional yang tentunya akan bermuara dalam realitas kehidupan bangsa yang semakin kompettif di masa-masa yang akan datang....

.......HIDUPLAH NEGERIKU.......
.......JAYALAH BANGSAKU.......
.......BANGKITLAH NEGARAKU.......
.......dalam.......dalam.......dalam.......
.......DALAM PELUKAN DAN DEKAPAN.......
.......KARYA, KARSA DAN CIPTA ANAK NEGERIMU.......
.......DALAM BALUTAN.......
......."NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA".......
 
Medio, 01 Januari 2011.-
t. t. d.
Agussalim Andi Gadjong
Anak Bangsa Indonesia

Tulisan Artikel :


JUSTIFIKASI FILOSOFIS PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERGANTIAN (PERUBAHAN) KAIDAH HUKUM DASAR NEGARA
Oleh : Dr. Agussalim Andi Gadjong,SH.,MH.


Abstract

Pemerintahan Daerah di Indonesia mendapatkan justifikasi filosofis dalam cita dan idea bernegara yang digagas oleh “The Founding Father” dalam perdebatan perumusan dan penyusunan konstitusi dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Norma UUD NRI Tahun 1945 secara tekstual dalam kaidah Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B mengamanatkan figur hukum dalam pelaksanaan pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan dalam konsep bentuk dan susunan negara “Kesatuan dan Republik.
Sementara disisi lainnya, konsepsi negara kesatuan cenderung terjadinya sentralisasi, tetapi dalam konteks pelaksanaan pemerintahan di NKRI tetap mengedepankan perwujudan desentralisasi pemerintahan di daerah yang diikuti proses dan mekanisme terjadinya pendelegasian kewenangan dalam memberikan keleluasaan daerah untuk berkreasi dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam dalam memajukan pembangunan di daerahnya.
Namun, dalam proses pendelegasian kewenangan dalam mekanisme penyerahan dan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah melalui penerapan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, tidak meninggalkan aspek kesatuan dalam kerangkan negara kesatuan. Karena hakekat penguatan otonomi tidak berarti lepas dan seluas-luasnya tanpa pengawasan dan koordinasi dengan pemerintah pusat.




PENDAHULUAN
Aktualisasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak terlepas dari dinamika dalam proses perumusan dasar-dasar pendirian negara pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Perdebatan dalam perumusan bentuk dan susunan negara, terfomat dalam dikotomi “Kesatuan” atau “Federal” dan antara “Republik” atau “Kerajaan”, yang pada akhirnya lahir keputusan final untuk mendirikan negara dalam bentuk “republik” dengan susunan “kesatuan”.[1] Susunan kesatuan, memberikan wahana implementasi keragaman dalam satu ikatan negara, sementara bentuk republik, memberikan ruang implementasi konsep demokrasi dan/atau penguatan kedaulatan rakyat sampai pemerintahan di tingkat daerah.
The Foundhing Fathers NKRI, merumuskan dasar pendirian negara melalui pendekatan populistik, yang ditandai dengan pengadopsian ide-ide welfare state, dan  pendekatan nasionalistik tercermin dalam pluralistik kebangsaan yang dibingkai dalam format ”kesatuan-republik”. Bentuk republik dan susunan kesatuan dirumuskan dalam pikiran moralis dan integralistik dalam satu kesatuan dan persatuan, yang di satu sisi mengedepankan aspek penegakan keadilan dan kepentingan negara yang bersifat universalistik, dan pada sisi lainnya aspek kepentingan individu partikularistik disingkirkan. Konstruksi pemikiran demikian signifikan antara ide negara integralistik dengan slogan nasionalisme, seperti persatuan dan kesatuan yang terbingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Format susunan negara kesatuan memberikan justifikasi kehadiran gagasan desentralisasi, yang bermakna terjadinya pemencaran (pembagian) kekuasaan atau “areal division of power” melalui mekanisme pendelegasian “attributive, delegative, mandaat”, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Mekanisme ini bermuara pada konsep “scope of power” dalam wujud sejauhmana luas atau lingkup kekuasaan (obyek, jenis, besaran) yang didelegasikan, dan konsep “domain of power” dalam wujud sejauhmana jangkauan (subyek, organ, jabatan) kekuasaan yang didelegasikan.[2]
Kewenangan pemerintahan daerah yang didelegasikan, bisa meliputi kewenangan zelfwetgeving dan zelfbestuur, yang mengakomodir kepentingan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis. Namun, hakekat suatu negara kesatuan, pendelegasian kewenangan tidak bermakna lepas dari campur tangan dan kontrol pemerintah pusat, karena legal standing pemerintah daerah dalam hal ini bersifat “sub-ordinate” terhadap pemerintah pusat.[3] Daerah selalu dituntut membangun hubungan yang harmonis dengan pusat, dan apabila bertindak di luar kontrol pusat maka dapat mengancam keutuhan “nation-state”. Namun, hal tersebut bisa menjadi “pengingkaran” gagasan dasar pendirian NKRI dalam konsep “kesatuan dengan penguatan desentralisasi”. Disisi lainnya, akan “mengeliminir” konsepsi pemerintahan daerah yang desentralistik, baik dalam susunan negara kesatuan maupun negara federal (local government also was the cornerstone of the governmental system).[4]
Falsafah negara kesatuan dalam implementasinya, mengacu pada beberapa kecenderungan : Pertama, sifatnya sentralistik (concentrated-centralization), didasarkan pada pemikiran bahwa gerak kemajuan pembangunan nasional hanya akan terjadi jika pemerintah pusat memegang kendali penuh dan segala sesuatunya diatur secara terpusat. Kedua, sifatnya desentralistik (disperse-local otonomy), memberikan jalan pemberdayaan segala potensi dan daya kreasi daerah. Ketiga, negara kesatuan memegang prinsip bahwa pemegang kekuasaan tertinggi ialah central government, yang tidak diganggu oleh adanya suatu pelimpahan atau penyerahan kewenangan kepada local government.[5] Keempat, Kewenangan pemerintahan daerah mengacu asas pembagian kekuasaan yang tidak meninggalkan suatu kesatuan (eenheid) pemegang kekuasaan tertinggi, yaitu tetap di tangan pemerintah pusat.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan, melandasi pelaksanaan pemerintahan di daerah pada asas desentralisasi atau staatskundige decentralisatie[6] (desentralisasi ketatanegaraan) yang melahirkan makna otonomi, dengan substansi penyerahan kewenangan yang sifatnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Konsep ini meletakkan kedudukan pemerintahan daerah dalam posisi sebagai subyek “institusi/lembaga otonom”. Di samping itu, dikenal juga asas dekonsentrasi dengan substansi pelimpahan kewenangan dan asas medebewind dengan substansi penugasan dari pemerintah pusat, yang sifatnya untuk mengurus kewenangan pusat yang ada di daerah. Pada konsep ini daerah bukan sebagai “institusi/lembaga otonom”, tetapi hanya berfungsi sebagai penyalur atau “wakil” pemerintah pusat di daerah.

PENYUSUNAN DAN PERUMUSAN KAIDAH HUKUM DASAR NEGARA
NKRI yang diproklamasikan pada Tanggal 17 Agustus 1945, sejak awal sudah digagas untuk mendirikan suatu negara yang menganut paham “unitaris” yang mengacu pada sendi “desentralisasi”. Gagasan ini secara tersirat termaktub dalam penegasan kaidah Pasal 18 UUD 1945,[7] yang sebelum disahkan oleh Panitia Perancang UUD sebagai Panitia Kerja BPUPKI menempatkan ketentuan mengenai pemerintahan daerah dalam Pasal 17 Rancangan UUD dengan penegasan kaidah : “pembagian daerah besar dan kecil, bentuk dan susunan pemerintahan di daerah, dasar permusyawaratan daripada sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa”. Kaidah pasal ini, tidak terlepas dari paham yang didasarkan pada aspek hukum, kedaulatan, keadilan dan HAM.[8]
Gagasan desentralisasi menjadi perdebatan, sejak Hatta[9] menggulirkan dalam rapat-rapat BPUPKI dan menjadi lebih konkret dalam forum PPKI, ketika Amir dan Ratulangi yang akhirnya diamini oleh Supomo dengan mengutarakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai desentralisasi akan diatur dalam suatu UU. Perdebatan diawali oleh Dr. Amir Syarifuddin dengan menekankan pentingnya desentralisasi dan penataan susunan pemerintahan daerah di luar pulau Jawa. Sementara Ratulangi menekankan pemberian hak seluas-luasnya kepada daerah, tetapi dalam bingkai NKRI, sedangkan Supomo menekankan penyerahan urusan rumah tangga kepada daerah melalui mekanisme perundang-undangan.[10]
Pandangan ketiga orang (Amir, Ratulangi, Soepomo) peserta rapat PPKI, yang mengangkat kembali konsep pemerintahan daerah, didasari oleh pertimbangan : Pertama, ketentuan kaidah Pasal 17 dalam Rancangan UUD yang kemudian menjelma menjadi Pasal 18, tidak atau belum memberikan gambaran yang jelas dan tegas mengenai bentuk dan isi pemerintahan daerah, meskipun sudah ada anak kalimat “dengan memandang dan mengingat (i) dasar permusyawaratan dalam (daripada) sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Kedua, bertujuan untuk memperoleh jaminan mengenai bentuk dan isi pemerintahan tingkat daerah.[11]
Setelah kaidah Pasal 18 disahkan dalam UUD 1945, dapat dilihat prinsip yang terkandung di dalamnya, antara lain : (1) Kata wilayah NKRI akan dibagi dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam daerah besar dan kecil, mengandung makna penerapan prinsip desentralisasi teritorial. (2) Kata perintah kepada pembentuk UU (Presiden dan DPR) untuk mengatur desentralisasi teritorial dalam suatu UU organik, mengandung makna bahwa keberadaan daerah-daerah otonom harus dilembagakan secara formal dalam suatu aturan hukum, sebagai landasan pelaksanaan pemerintahan di daerah otonom. (3) Kata Perintah kepada pembentuk UU dalam menyusun UU tentang desentralisasi teritorial kembali dipertegas lagi dalam kata “memandang dan mengingati” dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan serta hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa.
Hak melaksanakan pemerintahan sendiri untuk mengatur dan mengurus rumah tangga mendapatkan landasan yang kuat dalam konstitusi, yang diperkuat dengan dasar persekutuan hukum teritorial atau dikenal pada Hindia Belanda sebagai watershappen yang termasuk dalam sendi desentralisasi fungsional. Dasar permusyawaratan berkaitan dengan pelaksanaan paham demokrasi secara menyeluruh, baik pemerintahan di tingkat pusat maupun pemerintahan di tingkat daerah, sebagai pengejawantahan perwujudan sendi kedaulatan rakyat yang bersinergis dalam sendi desentralisasi, di mana penjabaran desentralisasi ini memberikan wujud kewenangan daerah dalam mengurus dan mengatur pemerintahan di daerah. Paham kerakyatan[12] secara langsung mengikutsertakan rakyat melalui wadah penguatan sendi desentralisasi, yang diwujudkan dalam penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
Di samping itu, paham negara hukum tidak bisa diabaikan, karena mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam membangun pondasi dasar pelaksanaan pemerintahan. Hukum dijadikan dasar dalam mengatur dan membatasi kekuasaan negara dan dibuat atas dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Perpaduan kedua paham ini akhirnya dibingkai dalam sebutan “negara hukum demokratis” (democratische rechtstaat) sebagai pengejawantahan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diberikan landasan hukum atau hukum yang diformulasi dalam formalistik kedaulatan rakyat dalam segi penyusunan dan pembuatannya. Dengan kata lain, bahwa kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum. Perpaduan konsep negara hukum dan kedaulatan rakyat dikaitkan dengan desentralisasi di samping dekonsentrasi, maka akan ditemukan adanya pemencaran kekuasaan (spreiding van machten).

PERGANTIAN (PERUBAHAN) KAIDAH HUKUM DASAR NEGARA
            Pemberlakuan UUD RI Tahun 1945 (Periode I - Proklamasi NKRI) sebagai konstitusi negara[13], khususnya kaidah yang termaktub dalam Pasal 18, secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai pengaturan pemerintahan di daerah dengan mengedepankan aspek desentralisasi. Namun, tidak menegaskan secara tersurat mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di daerah, demikian pula sifat otonominya. Ketidakjelasan ini memungkinkan Soepomo memberikan penafsiran dalam Penjelasan UUD 1945, yang memberi ruang susunan administratif di samping yang bersifat otonom.[14] Disamping itu, membuat pembentuk UU untuk “bisa” berkreasi dalam menerbitkan aturan yang berbeda satu sama lain mengenai susunan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Penjabaran kaidah Pasal 18 UUD 1945, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Penetapan PPKI Tanggal 19 Agustus 1945[15] mengenai pembagian wilayah (daerah) pemerintahan, tetapi belum dalam rangka melaksanakan amanat desentralisasi pemerintahan di daerah. Pembentukan daerah semata-mata bertujuan untuk : Pertama, mengisi kekosongan pemerintahan yang ditinggalkan pemerintahan pendudukan Jepang. Kedua, untuk sesegera mungkin melengkapi susunan pemerintahan RI, sehingga kehadiran RI yang merdeka dan berdaulat menjadi nampak nyata sampai ke daerah. Kenyataan di lapangan, susunan pemerintahan tingkat daerah tidak hanya terbatas pada provinsi, karesidenan, kota, swapraja (kooti), tetapi susunan kawedanan, kecamatan, dan desa tetap ada dan berjalan terus.
Empat (4) bulan kemudian, pemerintah merealisasikan amanat pasal 18 UUD 1945 dengan menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945.[16] UU ini secara formal dipandang sebagai landasan hukum pertama pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia, walaupun judul UU ini mengenai Pengaturan KNID, yang menimbulkan pro-kontra dalam penafsiran sebelum dibuatkan penjelasan resmi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri, dengan menegaskan beberapa hal mendasar, antara lain : Pertama, mengantisipasi pembentukan suatu badan (lembaga) bersifat sementara waktu sebelum diadakan pemilu, yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) di daerah. Kedua, Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) bersama dengan Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya. Ketiga, Badan Executif yang dipimpin oleh kepala daerah berasal dan dipilih dari anggota KND yang berfungsi menjalankan pemerintahan sehari-hari. Keempat, Ketua Komite Nasional Indonesia yang lama dalam status yang baru menjadi Wakil Ketua Badan Executif dan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kenyataannya, dalam perkembangan KNID tidak hanya sekedar membantu, tetapi secara nyata ikut menjalankan pemeritahan di daerah.[17] Mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah NKRI mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tertanggal 16 Oktober 1945 memberikan landasan “penertiban” dengan cara mengatur kembali kedudukan KNID sesuai dengan kedudukan KNIP yang baru. Maklumat memuat unsur esensial : (1) Pembentukan BPRD dengan jalan merubah fungsi dan tugas KNID. (2) BPRD bersama–sama Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya. (3) BPRD (terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang) dipilih dari dan oleh anggota KNID sebagai “Badan Eksekutif” bersama-sama dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).
Daerah Otonom sebagai sarana persemaian otonomi dihidupkan kembali secara resmi, walaupun usaha ini terjebak oleh penetapan PPKI Tanggal 19 Agustus 1945, mengenai pembagian wilayah dan pembentukan susunan pemerintahan tingkat daerah yang dikategorikan sebagai daerah otonom. Propinsi, Kawedanan dan Kecamatan tetap semata-mata sebagai unsur dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang hanya menjadikan sebagai wilayah pemerintahan administratif. Dalam era ini, semakin kuat pada penguatan sentralisasi dan desentralisasi semakin terpinggirkan. Perpaduan politik desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai sarana untuk mengantisipasi kemungkinan daerah-daerah melepaskan diri dari (pemerintah) pusat, sehingga dapat dapat membahayakan eksistensi NKRI. Kondisi dan konstalasi politik yang demikian, tidak dapat menghindari timbulnya dualisme dan tidak terpenuhinya amanat kaidah Pasal 18 UUD 1945, yang menghendaki dikedepankannya politik desentralisasi.
Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan yang semakin kondusif, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948, yang mengatur perlunya penentuan batas-batas kewenangan daerah.[18] UU ini lahir untuk mempertegas fungsi dan kedudukan DPD dan DPRD sebagai pelaksana pemerintahan daerah, sekaligus sebagai evaluasi dari pemberlakuan UU sebelumnya, yang memberikan ketidakjelasan batas kewenangan pemerintah daerah dan tidak berpihaknya pada aspek implementasi kedaulatan rakyat.
Sementara masa pmberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 sebagai hukum dasar negara melahirkan susunan negara federal,[19] yang membawa konsekuensi atas pembagian wilayah (daerah) dalam struktur pemerintah negara federal, pemerintah negara bagian serta pemerintah daerah di bawahnya. Berdasarkan amanat yang termaktub dalam Konstitusi RIS. Pembagian kekuasan dalam pemerintahan negara federal ditentukan terlebih dahulu kekuasaan pada negara (daerah) bagian, kemudian kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah federal. Kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian.[20]
Realisasi dari amanat Konstitusi RIS, untuk mengatur hubungan pemerintah negara bagian dengan pemerintah daerah maka dikeluarkanlah Undang-Undang Negara Indonesia Timur (UU NIT) Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Negara Indonesia Timur, ditetapkan pada tanggal 15 Mei 1950. UU ini terbit empat hari sebelum tercapai persetujuan dalam mengambil langkah-langkah kembali membentuk negara kesatuan dan sengaja ditetapkan untuk menyongsong pembentukan negara kesatuan untuk menyesuaikan susunan pemerintahan daerah dalam lingkungan wilayah Indonesia Timur dengan susunan negara kesatuan.
Pada dasarnya, kaidah yang terkandung dalam aturan ini secara keseluruhan sama dengan UU No. 22 Tahun 1948, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut. (1) Susunan dan penamaan daerah dalam UU NIT No. 44 Tahun 1950 memungkinkan susunan terdiri atas 2 atau 3 tingkatan dengan nama: negara bagian, daerah bagian dan daerah anak bagian. (2) Sebutan resmi Dewan Pemerintahan Daerah adalah Dewan Pemerintah dan keanggotaannya diambil bukan dari anggota DPRD. (3) Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk, juga mempertimbangkan luasnya otonomi, keuangan, suasana politik, dan masa jabatan. Dinamika yang terjadi pada tahun 1949 sampai tahun 1956 sangat menarik dikaji karena di satu bagian wilayah Republik Indonesia sebagai bagian dari negara RIS berlaku UU No. 22 Tahun 1948 dan di sisi lain, tepatnya kawasan Negara Indonesia Timur, berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950 dengan bentuk dan susunan yang berbeda.
Sedangkan pemberlakuan UUD Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 sebagai hukum dasar negara melalui landasan hukum UU No. 7 Tahun 1950, yang ditandatangani oleh Presiden RIS pada tanggal 15 Agustus 1950 di Jakarta dan mulai berlaku pada 17 Agustus 1950. Perubahan ini disetujui seluruhnya dalam Sidang ke-I Babak ke-3 rapat ke-71 DPR RIS pada tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta, dewan yang diketuai oleh Soemardi dan sekretaris RIS oleh Sartono.[21] UUDS 1950 mengubah susunan negara federal menjadi negara kesatuan,[22] yang membawa konsekuensi makna hukum yang mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Landasan hukum pelaksanaan pemerintah daerah termaktub dalam Pasal 131 yang memuat prinsip : 1. pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom). 2. bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU. 3. daerah-daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. 4. dengan UU, dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya. Pasal 132 memuat prinsip kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan UU. Pasal 133 memuat prinsip : sambil menunggu ketentuan baru, maka peraturan yang sudah ada tetap berlaku.
Realisasi amanat Pasal 131, 132, 133 UUDS, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957. [23]  sebagai landasan hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hal ini mendesak untuk dilakukan karena di satu sisi pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1948 terbatas pada daerah tertentu (wilayah RI pada saat Indonesia berbentuk RIS) dan UU NIT No. 44 Tahun 1950 juga masih menjadi pegangan sementara di wilayah Indonesia lainnya (daerah Negara Indonesia Timur). UU No. 1 Tahun 1957 lebih menekankan aspek desentralisasi pelaksanaan pemerintahan di daerah, yang sebenarnya pernah diubah (ditambah) dengan UU No. 6 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat No. 6 Tahun 1957 (LN Tahun 1957 No. 9) tentang Perubahan UU Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 1956 sebagai Undang-Undang. Perubahan ini tidak mencabut pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1957, tetapi hanya mengubah mengenai domisili calon-calon anggota legislatif bagi DPRD swatantra.
Sementara pemberlakuan UUD RI Tahun 1945 (Periode II - Dekrit Presiden RI) sebagai hukum dasar negara,  melalui Dekrit Presiden RI yang dibingkai dalam Keppres No. 150 Tahun 1959 berisikan 3 hal pokok, yaitu : (1) pembubaran konstituante, (2) penetapan UUD 1945, dan (3) pembentukan MPRS serta pembentukan DPAS. UUD 1945 yang diberlakukan kembali sebagai hukum dasar negara menuntut dilakukannya penyesuaian sesuai amanat yang termaktub dalam kaidah Pasal 18 sebagai jiwa pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Realisasi dari amanat tersebut, maka pemerintah menerbitkan Penetapan Presiden  Republik Indonesia (Pen-Pres) Nomor 6 Tahun 1959,[24] sebagai usaha pemerintah dalam melanjutkan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dan berusaha menghilangkan dualisme pimpinan pemerintahan di daerah. Hal ini berkaitan dengan program politik pemerintah dalam melaksanakan “demokrasi terpimpin” dalam rangka kembali kepada UUD 1945.[25]
Penpres ini dikenal sebagai aturan penyempurnaan dari UU No. 1 Tahun 1957, yang dapat dilihat dalam beberapa hal : (1) Menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara fungsi otonomi dan fungsi kepamongprajaan. (2) Penyempurnaan Bentuk, susunan, kekuasaan, tugas, dan kewajiban pemerintah daerah. (3) Menghilangkan bahaya persatuan dan kesatuan serta keselamatan negara, nusa dan bangsa. (4) Menghilangkan aspek yang bisa merintangi pembangunan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. (5) Memperbesar pengendalian pusat terhadap daerah. Dualisme pemerintahan di daerah dihilangkan dengan jalan menetapkan kembali kepala daerah sebagai alat pusat dan alat daerah. Kepala daerah berdiri sendiri dan menjadi pimpinan sehari-hari penyelenggaraan pemerintahan di daerah, tidak bertanggung jawab kepada DPRD dan tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD.[26]
Pada dekade 1960-an, tuntutan revisi landasan hukum pemerintahan daerah semakin kuat, yang akhirnya dikeluarkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965.[27] UU ini semakin memperkuat kedudukan kepala daerah dengan tujuan untuk menjamin kelangsungan kesatuan negara, dimana DPRD bertangung jawab kepada kepala daerah. Di tengah pemberlakuan UU ini, terjadi perubahan yang dramatis dalam perjalanan ketatanegaraan NKRI, dengan turunnya Presiden Soekarno dari puncak kekuasaan dan pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Penjabat Presiden RI dalam Sidang Umum MPRS Tahun 1966.
Disamping pergantian pimpinan nasional, SU MPRS juga meletakkan berbagai kebijaksanaan dasar, yang diatur dalam beberapa ketetapan antara lain : (1) Kedudukan Lembaga Negara tingkat pusat dan daerah yang diatur dalam UUD 1945. (2) Peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945. (3) Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. (4) Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. (5) Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.[28]
Sembilan (9) tahun kemudian, setelah terjadi peralihan kekuasaan dari Ir. Soekarno kepada Jenderal Soeharto, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974[29] yang mengatur mengenai pemerintahan daerah otonom dan susunan pemerintahan wilayah administratif. UU ini menguatkan (dominan) asas dekonsentrasi untuk menciptakan stabilitas yang kuat dalam upaya pembangunan ekonomi. Kontrol pemerintah pusat kepada daerah semakin kuat sehingga membuat fungsi dan peranan daerah sebagai perpanjangan tangan untuk menyukseskan program-program yang dirancang pemerintah pusat. Dominasi pusat yang kuat ini secara langsung dapat menciptakan stabilitas pembangunan nasional, tetapi di lain pihak membuat ketergantungan daerah yang sangat tinggi kepada pemerintah pusat.
Tahun 1998 dinamika ketatanegaraan kembali terjadi, dengan bergulirnya reformasi yang akhirnya memaksa terjadinya peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ. Habibie. Amanat reformasi menuntut perhatian pemerintah untuk melakukan penyesuaian berbagai undang-undang organik sebagai penjabaran dari UUD. Di bawah Presiden Habibie, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999[30] yang secara langsung menjawab harapan masyarakat (daerah) dalam merevisi UU No. 5 Tahun 1974. Kelahiran UU ini diharapkan dapat mengakomodir perubahan paradigma pemerintahan, dari yang sentralistis menjadi desentralistis, mengedepankan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan dan keanekaragaman, serta dapat mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.
Kaidah UU ini mencerminkan semangat radical change dalam 5 (lima) pikiran dasar, yaitu : Pertama, sebagai upaya mewujudkan otonomi daerah dengan memberikan keleluasan kepada daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri. Kedua, penyelenggaraan otonomi yang luas di atas prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Ketiga, meningkatkan peran dan fungsi DPRD sebagai badan legislatif daerah dan badan pengawas sebagai sarana pengembangan demokrasi serta mendudukkan kesejajaran dan kemitraan antar kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Keempat, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, baik di dalam negeri maupun tantangan persaingan global yang mau tidak mau pengaruhnya akan melanda daerah. Kelima, untuk mendudukkan kembali posisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum terendah yang memiliki hak asal-usul dan otonomi asli yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Di tengah-tengah pemberlakuan UU ini, guliran konsep amandemen terhadap UUD 1945 berjalan seiring dengan semakin menguatnya krisis kepercayaan sebagian elemen masyarakat terhadap profil pimpinan nasional. Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Habibie dan parlemen melahirkan suatu kesepakatan untuk memulai proses amandemen dalam empat tahapan (mulai Tahun 1999 s/d 2002). Setelah amandemen UUD 1945 rampung dilaksanakan dan ditetapkan secara menyeluruh, maka penamaan UUD 1945 berubah menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah UUD NRI Tahun 1945 (Periode III-Amandemen UUD) ditetapkan sebagai hukum dasar negara, secara langsung turut mempengaruhi landasan pelaksanaan pemerintahan di daerah. Kaidah konstitusi yang menjiwai penyelenggaraan pemerintahan daerah berbeda pemaknaannya dengan pemberlakuan UUD sebelumnya. Perubahan dapat dilihat dalam : Pertama, pemerintah daerah yang diatur dalam kaidah Pasal 18 UUD RI Tahun 1945 masih abstrak karena hanya secara tersurat dalam kata “daerah besar dan kecil” dengan “bentuk susunan pemerintahannya”. Sementara, UUD NRI Tahun 1945 termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) lebih jelas tersurat dengan kata “daerah Provinsi, daerah kabupaten dan kota”, “mengatur dan mengurus sendiri”, “asas otonomi dan tugas pembantuan”, “memiliki DPRD”, “menjalankan otonomi seluas-luasnya”, serta “menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain”. Kedua, UUD NRI Tahun 1945 mengubah (menambah) Pasal 18 menjadi 3 pasal, yaitu dalam Pasal 18A mengenai hubungan wewenang dan keuangan dan Pasal 18B mengenai pengakuan kekhususan dan keistimewaan daerah.
Realisasi amanat kaidah Pasal 18 UUD NRI 1945 setelah diamandemen diperluas (ditambah) dengan 2 pasal, sehingga kaidah yang terkandung di dalamnya turut berubah dan harus dilakukan penyesuaian. Untuk itu, pemerintah di bawah Presiden Megawati (yang sebelumnya wakil dari Presiden Abdurahman Wahid), menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah,[31] yang menekankan supaya pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

PENUTUP
Pelaksanaan pemerintahan (di) daerah memiliki justifikasi filosofis dari hukum dasar negara, cita pendirian negara, dan hakekat pemerintahan di negara kesatuan. Aspek filosopis tercermin dalam kaidah pasal-pasal dalam batang tubuh yang lahir dari perdebatan yang alot dan menghasilkan kesepakatan mengenai hal yang harus diatur dalam hukum dasar negara, perspektif pendirian negara, pelaksanaan sistem pemerintahan, dan dasar penyelenggaraan pemerintahan pada negara kesatuan. Dari proses perdebatan pada perumusan dan penyusunan naskah hokum dasar negara, dapatlah dipahami kesepakatan yang dilahirkan dari berbagai visi, aliran, konsep pemikiran kenegaraan, serta harapan para pendiri negara untuk mendirikan negara diatas segala golongan, kelompok, agama, dan aliran.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia I, (Bandung : Angkasa, 1977).
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2007).
C. F. Strong, Modern Political Constitution, (London, Sidswick & Jaclison Limited, 1960).
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York, Russell & Russell, 1974).
James M. Banovets, Managing Local Government, Cases in Decision Making, Municipal Management, International City Management Association, 2nd, Washintong: Printed, 1994.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
K. C. Wheare, Modern Constitutions, (London, Oxford University Press, 1966).
Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Buku Kesatu, (Jakarta, Sekjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006).
Lawrence S.  Finkelstein, The Indonesiaan Federal Problem, Facific Affair, XXI/3, September 1951.
M. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta, Prapanca, 1959).
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1980).
Mohammad Hatta, Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat (1932), (Jakarta, Bulan Bintang, 1976).
Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, (Surabaya, Usaha Nasional, 1967).
R.Tresna, Bertamasya Ke-Taman Ketatanegaraan, (Bandung, Dibya, tanpa tahun).
RM. A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta, Pusat Studi HTN FH-UI), 2004.
Smith, B.C., Decentralization: The Territorial Dimension of The State, (London, Asia Publishing House, 1985).






BIO DATA PENULIS



Dr. Agussalim Andi Gadjong,SH.,MH. lahir di Watampone, Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan, pada hari Jum’at, tanggal 06 Agustus 1969. Anak ketujuh dari pasangan H. Andi Gadjong Petta Tau dan Hj. Andi Ingka Petta Kunjung. Aktif dalam kajian-kajian Ilmu Hukum, sejak duduk sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum dan menyelesaikan Sarjana Hukum (Strata I) Jurusan HTN/HAN Tahun 1990/1991, meraih Gelar Magister Ilmu Hukum (Strata II) pada Tahun 1997/1998 dengan Konsentrasi HTN/HAN. Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum dengan kekhususan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara pada Universitas Indonesia pada Tahun 2007.


[1] RM. A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta, Pusat Studi HTN FH-UI), 2004, hlm. 153. Perdebatan tentang bentuk negara diawali pada sidang BPUPKI dalam masa sidang kedua antara tanggal 10 – 17 Juli 1945, khususnya pada tanggal 10 Juli 1945 yang mengagendakan pembicaraan tentang Bentuk Negara, yang dipimpin lansung oleh Dr. Radjiman dan R. P. Soeroso. Hasil sidang menunjukkan bahwa dari 64 stem (suara) yang masuk, 55 stem memilih republik, 6 stem memilih kerajaan, dan 2 stem memilih lain-lain serta 1 stem blangko. Lihat M. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta, Prapanca, 1959), hlm. 410.
[2] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 27. Lihat Laica Marzuki, “Hukum dan Pembangunan Daerah Otonom”, Kertas Kerja, PSKMP-LPPM UNHAS, 18 Nopember 1999, Makassar, hlm. 1.
[3] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York, Russell & Russell, 1974), hlm. 283-284. Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 25. Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1980), hlm. 63-73 dan 104-105.
[4] James M. Banovets, Managing Local Government, Cases in Decision Making, Municipal Management, International City Management Association, 2nd, Washintong: Printed, 1994, hlm. 10.
[5] C. F. Strong, Modern Political Constitution, (London, Sidswick & Jaclison Limited, 1960), hlm. 80 & 100.. Lihat Smith, B.C., Decentralization: The Territorial Dimension of The State, (London, Asia Publishing House, 1985). Lihat K. C. Wheare, Modern Constitutions, (London, Oxford University Press, 1966), hlm. 14.
[6] Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Buku Kesatu, (Jakarta, Sekjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 151. Desentralisasi memang merupakan staatskundige decentralisatie bukan ambtelijke decentralisatie, seperti halnya dengan dekonsentrasi. Lihat R.Tresna, Bertamasya Ke-Taman Ketatanegaraan, (Bandung, Dibya, tanpa tahun), hlm. 31. Lihat
[7] Lawrence S.  Finkelstein, The Indonesiaan Federal Problem, Facific Affair, XXI/3, September 1951, hlm. 284.
[8] RM. A. B. Kusuma, Lahirnya…., Op. Cit., hlm. 240. Hal ini dapat dilihat dari RUUD (terdiri dari 42 pasal termasuk aturan peralihan dan aturan tambahan) yang dibahas dalam rapat besar tanggal 13 Juni 2605 oleh Panitia Perancang UUD, yang di ketuai oleh Ir. Soekarno, tetapi dalam rapat besar tanggal 14 dan 15 Juli 1945 terjadi perubahan dalam RUUD (terdiri dari 35 pasal, 6 pasal aturan peralihan ditambah aturan tambahan), mengenai materi pemerintahan daerah termaktub dalam Pasal 17. Dalam RUUD ketiga yang diajukan pada Rapat Besar Tanggal 16 Juli 1945 materi pemerintahan daerah berubah dan diatur dalam Bab VI Pasal 18.
[9] Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, (Surabaya, Usaha Nasional, 1967), hlm. 13-14. Hatta, menafsirkan kata “dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa yang tercantum dalam UUD, menyatakan bahwa hak melakukan pemerintahan sendiri bagi segenap bagian rakyat menjadi sendi kerakyatan Indonesia”.
[10] Ratulangi mengajukan pendapat “Bahwa saya tidak akan mengucapkan desentralisasi dan dekonsentrasi, tetapi pandangan supaya daerah di beberapa pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya, kehendaknya, tentu dengan memakai pikiran persetujuan bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia”. Sementara Supomo menyatakan : bahwa kalau membentuk UU tentang pemerintahan daerah pada dasarnya urusan rumah tangga harus diserahkan kepada pemerintah daerah, walaupun harus ada beberapa pengecualian.
[11] Pembicaraan Amir dan Ratulangi dan dipertegas oleh Supomo : (1) bahwa maksud pembagian daerah besar dan kecil tidak lain dari pembagian ke dalam daerah-daerah otonom; (2) bahwa isi otonomi adalah seluas-luasnya “asal saja dilakukan dengan permusyawaratan dan tidak membuat peraturan sendiri yang menentang dasar pemerintahan pusat”. Pidato Supomo di hadapan BPUPKI tanggal 31 Maret 1945 menyatakan “dalam negara Indonesia yang berdasar pengertian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri, sebagai bagian organik dari negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, semuanya tergantung daripada doelmatigheid, berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya”.
[12] Moh. Hatta, Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat (1932), (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), hlm. 124. Prinsip kerakyatan yang menjiwai penyusunan UUD 1945, diadopsi dari sendi pemerintahan desa dengan pandangan “bahwa dasar-dasar demokrasi yang terdapat dalam pergaulan asli di Indonesia kita pakai sebagai sendi politik kita. Akan tetapi, kita insaf akan pertukaran zaman, bahwa dasar-dasar yang ada dahulu itu tidak mencukupi sekarang untuk menyusun Indonesia merdeka yang berdasar demokrasi”.
[13] Kedudukan UUD Tahun 1945 sebagai konstitusi negara diputuskan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 18 Bulan 8 Tahun 2605 (1945) di Jakarta. Penjelasan Umum butir I menegaskan bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. UUD ialah hukum yang tertulis, sedang di sampingnya UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
[14] BPUPKI maupun PPKI yang merancang, menyusun, mensyahkan dan menetapkan UUD tidak pernah membuat atau memutuskan membuat memori penjelasan sebagai penjelasan resmi (penjelasan otentik) UUD. Penjelasan UUD 1945 pertama kali muncul dalam Berita Republik II 1946 Tahun II No. 7. Jadi, penjelasan UUD 1945 ada setelah UUD 1945 dijalankan bahkan telah mengalami perubahan akibat Maklumat Pemerintah Tanggal 3 Nopember 1945. Berita Republik menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 adalah lembaran resmi tempat mengumumkan UU dan Peraturan Presiden. Pemuatan dalam Berita Republik, sama sekali tidak menyebabkan penjelasan UUD 1945 menjadi mempunyai sifat dan kedudukan hukum mengikat. Alasan tidak mengikatnya penjelasan UUD 1945 tersebut, antara lain : Pertama, kembali kepada fungsi dasar memori penjelasan yang tidak mempunyai sifat dan kedudukan hukum tertentu, melainkan sekedar untuk lebih memahami arti yang termuat dalam batang tubuh peraturan; Kedua, penjelasan yang dimuat dalam Berita Republik tidak dibuat oleh badan yang menyusun dan menetapkan UUD (BPUPKI dan PPKI) dan pemuatan penjelasan dalam Berita Republik bertentangan dengan bunyi PP Nomor 1 Tahun 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa yang dimuat dalam Berita Republik adalah UU dan peraturan presiden; Ketiga, pemuatan penjelasan dalam Berita Republik merupakan suatu kekeliruan atau kesalahan dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yang secara lansung tidak menciptakan hukum.
[15] Penetapan PPKI dalam Rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 di Jakarta, yang termuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7, halaman 48, kolom 2, menetapkan pembagian wilayah pemerintah RI di daerah dalam susunan teritorial: provinsi, karesidenan, kooti (swapraja) dan kota (gemeente), yaitu : (1) untuk sementara daerah RI dibagi menjadi delapan provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan (Borneo), Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Masing-masing Provinsi di Kepalai seorang Gubernur dan dibantu KNID (provinsi); (2) provinsi dibagi menjadi karesidenan-karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen dan dibantu KNID (Karesidenan); (3) kedudukan kooti dan kota diteruskan seperti sekarang (1945).
[16] UU ini dinamakan “Undang-Undang 1945 Nomor 1 Tentang Komite Nasional Daerah”. Diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 halaman 56 kolom 1, ditetapkan di Jakarta Tanggal 23 Nopember 1945.
[17] A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia I, (Bandung : Angkasa, 1977), hlm. 246.
[18] UU ini dinamakan “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintah Daerah”. Diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun 1948 Nomor 7 halaman 56 kolom 1, yang ditetapkan di Yogyakarta pada Tanggal 10 Juli 1948.
[19] Lihat Konstitusi RIS, khususnya Pasal 1 (1) Republik Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara-hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.
[20] Lihat makna yang termaktub dalam Pasal 2 Konstitusi RIS 1949, ditegaskan bahwa RIS meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama: (a) Negara RI, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetujuan Renville Tanggal 17 Januari Tahun 1948, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan termasuk distrik federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dengan pengertian bahwa status quo asahan selatan dan labuhan ratu berhubungan dengan negara sumatera timur tetap berlaku, Negara Sumatera Selatan. (b) Satuan kenegaraan yang tegak sendiri: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat (daerah istimewa), Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur.
[21] Lihat Naskah Persetujuan Pemerintah RIS dan Pemerintah RI yang ditetapkan pada hari Jum’at, 19 Mei 1950, oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan Perdana Menteri RI A. Halim. Pergantian konstitusi pada saat itu diawali oleh persetujuan antara perwakilan pemerintah RIS dan pemerintah RI dalam sidang (pertemuan) pada hari Jum’at, 9 Mei 1950, yang melahirkan beberapa kesepakatan penting, antara lain : (1) Menyetujui melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada RI berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. (2) Menyetujui pergantian Konstitusi RIS 1949 menjadi UUDS 1950 sebagai hukum dasar negara. (3) Untuk meratifikasi persetujuan ini, maka masing-masing, pemerintah RIS mengajukan kepada DPR dan senat, sedangkan pemerintah RI mengajukan kepada BP KNIP. Lihat makna yang termaktub dalam UUDS RI 1950, Khususnya Klausul Menimbang dan Mengingat. Konstitusi ini, dijadikan dasar perubahan landasan hukum penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yang senantiasa mendengar seluruh aspirasi elemen bangsa dalam menjaga keutuhan dan kesatuan Negara RI.
[22] Lihat makna yang termaktub dalam UUDS 1950 Pasal 1 ayat (1) Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara-Hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.
[23] UU ini dinamakan “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah”. Diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, yang ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 17 Januari 1957 oleh Presiden RI Soekarno dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan diundangkan oleh Menteri Kehakiman “Soenarjo” pada Tanggal 18 Januari 1957.
[24] Penpres ini dinamakan “Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah (Disempurnakan)”. LN RI Tahun 1959 Nomor 94, ditetapkan di Bogor pada Tanggal 7 Nopember 1959 oleh Presiden RI Soekarno dengan Persetujuan (tidak jelas), dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Muda Kehakiman “Soekarjo” pada Tanggal 16 Nopember 1959. Ada juga beberapa buku menunjuk pada ditetapkan di Tanjung Pinang tanggal 7 Nopember 1959.
[25] Lihat Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali Ke UUD 1945 diputuskan dalam sidang Dewan Menteri pada Tanggal 19 Pebruari 1959 di Jakarta.
[26] Kenyataan menunjukkan, bahwa penpres ini berseberangan dengan kehendak penyempurnaan, yang dapat dilihat dalam : (1) Pengawasan pusat atas jalannya pemerintahan daerah semakin kuat dan ketat yang membuat biasnya pelaksanaan otonomi. (2) Kepala daerah sebagai alat pusat mempunyai kekuasaan untuk mempertangguhkan keputusan DPRD, apabila dipandang bertentangan GBHN, kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. (3) Kepala daerah diangkat oleh Presiden untuk Dati I dan Mendagri atas persetujuan Presiden untuk Dati II. Presiden atau Mendagri dengan persetujuan Presiden dapat mengangkat kepala daerah di luar calon yang diajukan oleh DPRD. Jadi, kewenangan daerah (DPRD) untuk menentukan pimpinan daerahnya tidak ada lagi.
[27] UU RI No. 18 Tahun 1965 dinamakan “Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah”. Diundangkan dalam LN RI Tahun 1965 Nomor 83 dan TLN RI Nomor 2778, yang ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 1 September 1965 oleh Presiden RI Soekarno dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dan diundangkan di Jakarta oleh Sekretaris Negara “Moh. Ichsan” pada Tanggal 1 September 1965.
[28] Lihat Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik IndonesiaLihat Tap No. XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Lihat Tap No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
[29] UU No.5 Tahun 1974 dinamakan ‘Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah”. Diundangkan dalam LN RI Tahun 1974 Nomor 38 dan TLN RI Nomor 3037, yang ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 23 Juli 1974 oleh Presiden RI Soeharto dengan Persetujuan (tidak jelas), dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri/Sekretaris Negara “Sudharmono, SH” pada Tanggal 23 Juli 1974. UU No. 5 Tahun 1974
[30] UU No. 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah”. Diundangkan dalam LN RI Tahun 1999 Nomor 60 dan TLN RI Nomor 3839, yang ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 07 Mei 1999 oleh Presiden RI Bachruddin Jusuf HabibieJ dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Sekretaris Negara RI “Akbar Tandjung” pada Tanggal 7 Mei 1999.
[31] UU Nomor 32  Tahun 2004 dinamakan “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”, dalam LN RI Tahun 2004 Nomor 125 dan TLN RI Nomor 4437, ditetapkan di Jakarta pada Tanggal 15 Oktober 2004 oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri dengan Persetujuan DPR, dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Sekretaris Negara RI “Bambang Kesowo” Tanggal 15 Oktober 2004.